"Oh, jadi lo nantangin gue," ujar Aldo sambil melangkah lebih dekat ke arah Arvan dengan tangan yang sudah terkepal sempurna.
Baru saja Aldo ingin melayangkan pukulan ke arah Arvan, seseorang berberteriak dari belakang. Hal itu membuat semua orang yang berada di tempat itu termasuk Aldo berhenti seketika dan berbalik melihat siapa yang berteriak.
Para siswa yang berada di belakang bergeser agar orang tersebut bisa lewat dan maju ke hadapan Aldo dan juga Arvan yang kini tengah tersudutkan.
“Aisya!” gumam Aldo mengerutkan keningnya.
“Do! Lo nggak malu apa diliatin sama anak-anak! Kelakuan lo ini seperti anak kecil! “ bentak seseorang tersebut yang bernama Aisya.
Namanya Aisya Nafeeza Bintara dia merupakan perempuan yang juga populer di sekolah tersebut karena selain orang tuanya orang yang begitu terpandang, ia juga merupakan salah satu siswa yang cerdas dalam hal akademik. Selain itu, ia mempunyai sifat yang lemah lembut dan sering membantu sesama. Karena tergabung dalam OSIS, ia sering mengusulkan untuk mengadakan baksos bagi orang-orang tidak mampu. Wajahnya yang cantik di balut dengan hijab dan selalu ceria membuat siapa pun segan dengannya.
“Jangan lo ikut campur masalah gue. Mending lo urus saja sana para orang-orang miskin yang sering lo lakuin,” ujar Aldo.
Perkataan Aldo tersebut sontak membuat sebagian para siswa terkekeh.
Begitulah, Aisya memang sering dibilang seperti itu saking seringnya ia mengadakan kegiatan seperti bakti sosial itu. Ia sudah terbiasa akan hal itu. Malahan ia bangga dengan pencapaiannya sekarang walaupun banyak orang yang menganggapnya kegiatan yang dia lakukan tidak asik dan seru seperti kegiatan yang sering di usulkan oleh teman-temannya yang lain.
“Lepasin, atau gue lapor kepsek! Dan untuk semua saya minta untuk bubar, karena ini bukan sirkus!” ancam Aisya dengan wajah serius.
Seketika Aldo menatap tajam ke arah perempuan itu. Kemudian ia berbalik menatap ke arah Arvan.
“Kali ini lo selamat!” ujarnya dengan penuh penekanan dan tatapan yang penuh peringatan.
Ia lalu berbalik mengambil tasnya yang terjatuh dan segera pergi dari tempat. Ia berjalan di depan Arvan dan menyenggol bahu Arvan keras hingga Arvan mundur beberapa langkah ke belakang.
Dan para teman-teman Aldo pun mengikutinya dari belakang. Kepergian Aldo membuat para siswa lainnya juga ikut bubar. Dan sebagian ada yang berteriak nggak jelas akibat tidak bisa menyaksikan pertengkaran yang sedikit lagi terjadi.
Setelah kepergian semua siswa, Aisya perlahan mendekat ke arah Arvan.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanya Aisya.
Mendengar pertanyaan seseorang yang telah menolongnya itu membuat Arvan menatap intens perempuan di depannya itu. Dan satu kata yang ada di benak Arvan “Cantik”. Namun ia menepis jauh-jauh pikiran itu. Dia menolongnya hanya karna kasian tidak lebih.
“Iya. Makasih mbak,” jawab Arvan sedikit gugup.
Karena tidak terbiasa dengan panggilan itu, Aisya tersenyum.
Melihat itu, seketika hati Arvan menjadi tenang. Dan tanpa sadar ia juga ikut tersenyum. “Massyaallah senyumnya. Sadar Van” batinnya menempis jauh-jauh pikirannya.
“Panggil saja Aisya. Oh ya, nama kamu?” tanyanya.
“Arvan. Nama saya Arvan,” jawabnya dengan tersenyum lembut ke arah perempuan berhijab itu.
Ting...ting...ting
Bunyi bel sekolah Aisya berbunyi. Dan mengharuskannya untuk segera masuk. Apalagi ini adalah hari pertama mereka masuk setelah libur semester.
“Kayanya saya harus masuk duluan deh. Assalamualaikum!” ujarnya sambil berlari kecil memasuki sekolah itu.
“Waalaikummusallam!” jawabnya sambil melihat Aisya memasuki gerbang sekolah.
Setelah kepergian Aisya, Arvan langsung sadar kalau ia akan ke tempat pak Yanto.
Ia melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. Pukul 9, ia harus segera berangkat. Untungnya ia sudah berada di daerah yang sangat mudah menjumpai angkutan umum.
Tidak sampai satu menit ia menunggu, ia sudah berada di dalam angkutan umum.
“Kiri bang!” teriaknya pada sopir angkot.
Setelah berhenti, ia membayar dan langsung menuju ke tempat pak Yanto. Setibanya, ia melihat pak Yanto sedang menyapu-nyapu koran yang ada di sana.
“Assalamualaikum pak!” ujar Arvan dengan was-was. Ia khawatir pak Yanto akan mengomelinya karena terlambat. Perjanjian mereka kemarin ia akan datang pukul 8. Namun kenyataannya sekerang udah pukul 9 lewat. Ia terlambat kurang lebih 1 jam.
“Waalaikummusallam!” jawab pak Yanto melirik Arvan sebentar kemudian melanjutkan lagi pekerjaannya.
Melihat tingkah pak Yanto, Arvan yakin betul kalau laki-laki paruh baya itu marah dengannya.
“Kamu masih mau niat kerja atau tidak,” ujar pak Yanto membuka suara dan dengan posisi yang membelakangi Arvan.
“Masih pak. Maaf tadi Arvan ada sedikit masalah di jalan,” jawab Arvan.
“Itu bukan urusan saya ya. Yang saya tau, kamu itu seharusnya udah di sini satu jam yang lalu”
“Iya pak. Saya benar-benar minta maaf pak. Sebagai penebus kesalahan saya, gaji saya boleh di potong pak”
Mendengar hal itu, pak Yanto langsung menghentikan kegiatannya lalu berbalik ke arah Arvan.
“Kalau saya motong gaji kamu, kalian mau makan apa hari ini he. Gaji kamu itu hanya cukup untuk makan satu orang. Lah, kalian kan tiga orang. Untuk hari ini saya maafkan. Tapi ingat jangan diulangin lagi. Orang sukses itu harus bertanggung jawab dengan apa yang diucapkannya,” ujar pak Yanto memberi nasihat.
Sebenarnya pak Yanto adalah orang yang baik. Ia sering membantu keluarga Arvan jika ada masalah. Ia juga sering memberikan nasihat berupa masukan-masukan untuk memotivasi Arvan agar tidak menyerah dengan keadaan. Ia marah karena ia ingin mengajari Arvan tentang pentingnya dan berharganya waktu.
“Baik pak! Makasih banyak! Saya janji nggak akan ngulangin lagi,” jawab Arvan sambil tersenyum lembut.
“Yaudah, ini koran yang akan kamu jual hari ini,” ujar pak Yanto sambil memberikan koran yang jumlahnya lumayan banyak untuk Arvan jual.
“Baik pak!” sambil menerima koran tersebut.
Karena tidak ada kendaraan, Arvan menjual koran tersebut dengan berjalan kaki. Dan juga lokasi tempat ia menjual sebenarnya dekat dengan tempat pak Yanto. Namun karena banyak yang menjual koran juga di tempat tersebut, maka Arvan memutuskan untuk mencari tempat lain yaitu di di kota sebelah. Ia hanya naik satu kali angkutan umum dari tempat itu. Dan alhamdulillah selama ia berjualan di sana, koran yang ia jual tidak butuh waktu lama laku terjual.
Ia menjajahkan koran tersebut di tokoh-tokoh dan juga di lampu merah.
Tak butuh waktu lama, ia sudah sampai di tempat tersebut. Dan langsung saja ia menuju ke tempat biasanya.
“Hay Van! Tumben kamu terlambat,” ujar Andre.
Andre adalah salah satu teman Arvan yang berjualan di tempat itu. Sama dengan Arvan, Andre juga berjualan koran. Namun ia lebih lama berjualan dari pada Arvan.
“Ada sedikit masalah tadi pas saya ngantar Amora di sekolah Ndre”
“Masalah apa?”
“Nggak, hanya masalah kecil saja”
“Oh gitu, yaudah sana. Udah lampu merah tuh. Saya mau istrahat dulu,” ujar Andre sambil mendudukan dirinya di trotoar jalan.
“Ok, sip!” jawab Arvan sambil berjalan ke arah lampu merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inbreeding Wheels
Teen FictionSebuah cerita tentang bagaiman seorang kakak membahagiakan adik dan keluarga satu-satunya dalam hidupnya. Orang tua mereka meninggalkan mereka begitu saja tanpa rasa bersalah. Dari kecil, keduanya sudah mengalami penderitaan yang begitu berat. B...