5.Rutinitas

18 1 3
                                    

Ini istirahat. Nao berjalan menyusuri lorong sekolah. Satu tangannya memainkan tongkat dan tangan lainnya menjinjing tas kecil. Apa lagi isinya kalau bukan bekal?

Langkahnya berhenti tepat di sebelah pintu kelas yang sudah sunyi. Tadinya sih Nao mau masuk, tapi diurungkan setelah dia mendengar suara seorang pria yang sedang berbicara dengan Lara.

"Ra, gimana kalo kita nonton sabtu sore abis pulang sekolah? Kakak traktir deh." Ah itu suara Kak Dika. Ayahnya Kak Dika itu salah satu investor besar di sekolah.

"Boleh aja, sih." Bukan Lara namanya kalau enggak suka traktiran. "Tapi Lara tanyain dulu ya sama mamah, nanti Lara kabarin deh."

"Oke deh. Terus sekarang Lara mau ke kantin?" Kakak itu kembali bertanya.

"Iya, Kakak mau bareng?"

"Ra!" Belum sempat Kakak itu menjawab, Nao sudah muncul dari balik pintu. Pria itu berjalan mendekat dan meraih tangan Lara. "Kak Dika, pinjem Lara bentar ya. Ini penting banget, bye!"

Nao menarik Lara semakin jauh dari kelas dan berhenti tepat di perempatan lorong sekolah. "Emm, sekarang bawa gue ke rooftop," ucap Nao membuat Lara menoleh kaget.

Gadis itu melotot. "Astaga Nao! Apa pun masalah lo, plis deh jangan bunuh diri. Kasian bokap lo kalo sampe-"

"Heh! Sembarangan kalo ngomo-"

"Bentar deh, kok lo tau gue di kelas sama Kak Dika?" selidik Lara menyipitkan matanya, menatap kacamata gelap yang Nao pakai.

Nao menelan ludahnya.

"Gue... gue gak sengaja denger doang tadi," ucap pria jangkung itu berbohong. Jelas-jelas dia nguping.

"Buruan anterin ke rooftop."

Lara hanya memutar bola matanya malas, meraih tangan Nao dan membawa pria itu ke tempat yang dia mau.

Tanpa Lara sadari, senyum Nao terukir jelas sejak gadis itu menggenggam tangannya.

***

"Yey, sampe!" ucap Lara lalu menghembuskan nafasnya lelah. Segera gadis itu duduk sembarang di lantai.

Lara menatap Nao yang kebingungan. Ah iya, hampir saja Lara lupa dengan masalah penglihatan Nao. Gadis itu menepuk dahinya pelan. Dia berdiri kembali.

Lara berdeham pelan. "Ehem. Jadi, sekarang apa?"

Nao menoleh. "Bawa ke tempat dingin dulu, kek."

Lagi. Berapa banyak lagi permintaan Nao padanya? Untung Lara anaknya cantik dan penyabar, ditambah dia juga pembimbing Nao untuk saat ini.

Lara kembali meraih tangan Nao, menariknya pelan ke bawah atap yang teduh. Mereka duduk.

Lara memperhatikan gerakan Nao. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil yang dibawanya. Ah, itu. Jangan bilang minta suap lagi?!

"Suapin, hehe," ucap Nao sambil menyodorkan kotak makanannya.

Yang benar saja. Waktu itu Lara hanya berbaik hati, masa sekarang mau disuapin lagi?

"Gak!" tolak Lara mentah-mentah.

Nao manyun, ekspresinya mulai dibuat-buat. Siapa tau aja kan Lara bakal luluh.

"Jelek lo begitu," celetuk Lara meledek.

"Dosa banget lo sama gue."

"Elo yang dosa banget, hum!" Lara mengembungkan pipinya. "Harusnya lo bilang kalo mau makan bareng, kan guenya ga enak sama Kak Dika!"

Nao terkekeh. "Bilang aja tadi lo pengen ditraktir, kan?" tanya Nao meledek.

"IHHH NAO SOK TAU BANGETTT!" pekik Lara menahan kemerahan di pipinya sambil mencubit perut Nao bercanda. Lagian siapa yang enggak suka ditraktir coba? Wajar kan kalo Lara ngerasa enggak enak karena gagal dapet traktiran?

"Hahahahah udah ih ampun, ampunnnnn," kekeh Nao menahan geli. "Tapi Ra, lo serius mau jalan sama kak Dika hari sabtu?" tanya Nao sambil menaruh wadah bekalnya di depan Lara.

"Hah? Lo nguping banget ya tadi?"

Nao kicep, lupa bahwa itu adalah percakapan di awal yang dia dengar.

"Eh? Mana ada gue nguping, emang suaranya kedengeran sampe ujung Lorong, kok!" ucap Nao berbohong.

"Bohong! gak mungkin sejauh itu Naooo. Besok-besok belajar lagi kalo mau bohong deh," kata Lara sambil memutar bola matanya malas. "Kalo dibolehin mamah nanti, yaa gue mau-mau aja lah. Kak Dika juga orangnya baik kan, kenapa enggak?"

Nao berdecak sebal. "Semoga gak dibolehin deh."

"Dih, males deh sama Nao," ucap Lara, lalu gadis itu menghembuskan nafasnya. "Yaudah, sini gue suap. Gue juga abis ini mau beli makan deh."

"Samaan aja. Itu ada dua porsi kok, gue juga bawa dua sendok. Jaga-jaga takut lo jijik bekas gue," ucap Nao sambil mengukir senyum yang terlihat menyebalkan di mata Lara.

"Ih, enggak selebay itu kali. Santai aja gue mah," bantah Lara pada Nao. Gadis itu mulai melakukan pekerjaannya, menyuapi Nao. Tanpa mereka sadari, pekerjaan Lara yang satu ini terjadi setiap hari.

***

Bel berbunyi, menandakan jam sekolah telah usai. Murid-murid berjalan ke halaman, sebagian ada yang mengambil kendaraan di parkiran dan sebagian lainnya menunggu jemputan. Lara yang hendak mencari kendaraan umum terhenti saat sebuah kendaraan beroda dua berhenti tepat di depannya.

"Hai Lara!" sapa Kak Dika dengan senyum yang dapat membuat sebagian siswi sekolah meleleh karenanya.

"Eh, ha-hai Kak," balas Lara kikuk.

"Bareng yuk Ra, gue anterin."

"Enggak usah Kak gapapa, aku gak mau ngerepotin," tolak Lara dengan sopan.

"Gapapa Ra, kamu enggak ngerepotin. Buruan naik gih," ajak Kak Dika kembali dan akhirnya Lara pun menurutinya.

Lara segera naik ke motor dengan tersenyum senang, dia berpikir bahwa hari ini tidak perlu menggunakan uang jajannya untuk ongkos pulang. Pikiran yang bertolak belakang dengan banyak tatapan sinis dari berbagai pasang mata siswi yang ada di sana.

"Liat tuh si Lara!"

"Caper abiessss."

"Gue pengen di posisi Lara plissssss."

"Sadar anjir, lo ga secantik Lara!"

"Fak ga bakal gue biarin Lara sama Dika jadian!"

"Awas aja si miskin mulai belagu!"

"Weh parah lo sialan hahahahah."

Kira-kira begitulah umpatan-umpatan yang terdengar dari para siswi yang memiliki penyakit hati.

Nao yang ternyata ada di belakang mereka berdeham, membuat semua atensi teralihkan padanya. "Ngapain liat-liat? Bubar sana!" usir Nao dengan ekspresi wajahnya yang datar, membubarkan beberapa rombongan yang baru saja menggibahi Lara diam-diam.

***

Nao sampai rumahnya, kini pria tampan itu berbaring di kasurnya yang nyaman. Matanya terpejam, lelah terbuka seharian. Lagi pula, pandangannya tak kunjung membaik.

Sepintas pikiran baru saja lewat dalam benaknya, mengukir senyum merekah dari bibirnya.

Lara...

Batinnya dalam hati mengucap nama Lara. Nao memegang dadanya, merasakan detakan jantung yang cepat.

"Sial! Sial! Sial! Gue malu banget sialan! Fak, fakkkkkk!" rutuk Nao bertubi-tubi. Rupanya dia teringat kejadian 'nguping' tadi siang, dan yang lebih memalukan lagi adalah Lara menyadari kalau dia berbohong.

Lagi pula Nao sudah tidak punya alasan lain untuk berbohong. Tapi lebih malu lagi kalau Nao ngaku ya, kan?

***

Huahhhhh! Akhirnya setelah sekian purnama aku Kembali gaisssss!

Maafkan author pemalas ini yakkkk huhu *(emot nangis sekebon)

Plis pliss tinggalin jejak vote dan komen kalian biar aku semangat lanjut HAHAHAHAH

Love you all! sarange!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REALOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang