2. Tengkorak Bermata Merah

21 5 1
                                    


Happy Reading

"Sebenernya ini tempat apa si? Gue mimpi kali ya? Coba cubit gue Zel." Valo memerintahkan Ranzel untuk mencubitnya.

Ranzel yang sedang menatap api di depannya langsung mencubit lengan Valo dengan kuat. Membuat si empunya mendesis kesakitan.

"Sssh, gausah kuat-kuat juga kali,"

"Kalo ga kuat gabakal terasa kalo itu cubitan," ucap Ranzel santai.

Hening, semua fokus pada api unggun yang menyala dengan panasnya yang menghangatkan. Hutan ini sangat dingin lengkap dengan gelapnya yang pekat. Beruntung ponsel dan barang-barang mereka terbawa.

"Ce..." panggil Tata mengalihkan fokus Cece.

"Iya Ta? Kedinginan?" Anak itu menggeleng namun raut wajahnya sangat murung.

"Kamu kenapa, hm?"

"Gapapa, cuma takut aja kalo nanti Hara gak ketemu dan mereka juga ikutan ilang."

Semua yang ada disana langsung melihat Tata dengan berbagai ekspresi. Mencerna apa maksud dari perkataan anak itu barusan.

"AH! kagak usah ngadi-ngadi dah lu. Inget, kata-kata adalah doa. Lu pengen mereka ilang beneran?" Seperti biasa, Ranzel dengan tatapan sinis dan tak sukanya langsung berucap seakan-akan kalimat yang di ucapkan Tata tadi akan benar-benar terjadi.

"Ya gak usah dianggep serius juga kali. Heran banget gue. Berdoa aja semoga mereka gak kenapa-kenapa." Djeyya mencoba menengahi sebelum Ranzel meneruskan kalimat pedas dan memicu keributan.

"Ck, dahlah."

***

"Lo kenapa Ngga?" Dengan alis yang tertaut heran Arkan menatap Derangga dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan senter ponselnya. Begitu ia melihat kaki kiri Derangga, ia terkejut bukan main. Untuk kali ini mungkin hanya Arkan yang peduli karena kebetulan mereka berjalan di belakang.

Derangga yang masih kesakitan ikut melihat kemana arah pandang Arkan. Terlihat ada kepala tengkorak dengan gigi tajamnya yang menancap di atas mata kakinya.

Selain mereka berdua, yang lain memilih abai akan teriakan kesakitan Derangga. Entah karena tidak dengar atau pura-pura tidak mendengar. Mereka tetap berjalan hingga tak menyadari jika Arkan dan Derangga kian menjarak dengan mereka.

Arkan merasa ada yang aneh dari tempat mereka berdiri sekarang. Ia pun mengarahkan ponselnya ke jalan yang mereka tapaki sekarang. Tengkorak itu ternyata tak hanya yang menggigit Derangga saja. Di dekat mereka berdiri, ada ratusan kepala tengkorak dengan berbagai ukuran yang siap menggigit apapun. Derangga spontan menendang angin berupaya melepaskan kepala tengkorak yang menggigitnya. Kemudian mereka berdua saling bertukar pandang hingga akhirnya.

"Lari cok! Lari!"

"Cepetan! OASU!"

"ANJENG MANA BANYAK BANGET"

"Oy Asu! Kaki gue sakit bantuin jancok!"

Arkan langsung berhenti sejenak kemudian membantu Derangga untuk lari sebisanya. Mereka lari sekencang-kencangnya sambil sesekali melihat kebelakang. Ratusan kepala tengkorak itu kini memiliki mata merah menyala. Sebagian menggelinding bagai bola dan sebagian lagi melayang mengejar mereka dengan kecepatan yang tidak wajar.

Strange Forest (The mystery of a forest)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang