Sang surya belum menampakkan dirinya, namun sudah terdengar suara kompor dinyalakan di dapur rumah sederhana pinggiran Kota Apel, yang jua terkenal dengan wisata serta udara dinginnya.
Seorang gadis berkutat dengan kuali dan sudipnya. Siap membuat hidangan pagi ini. Kalea Nuri namanya, dia sibuk menyiapkan lauk-pauk untuk sarapan semua penghuni rumah. Tak lupa, dia juga memasakkan bubur untuk si bungsu Arsa yang belum bisa diberi makanan bertekstur terlalu keras.
Kalea tinggal bersama ibu dan ke empat adiknya. Intan, Si kembar Ahira dan Adira, lalu yang terkecil Arsa. Mereka semua tidak memiliki darah yang sama satu sama lainnya. Mau itu Kalea dan Intan atau Intan dengan si kembar begitupun dengan si bungsu. Setiap anak memiliki asal-usul yang berbeda.
Walaupun begitu tidak ada yang diistimewakan. Semuanya sama. Itulah yang diucapkan pemilik rumah, yang mereka sebut ibu. Ibu bilang, walau mereka tak memiliki genetika yang sama, mereka tetap mendapatkan cinta dan kasih sayang yang penuh darinya.
"Nduk!"
Panggilan itu lantas membuat si pemilik nama menghentikan aktivitasnya dan balas berteriak. "Nggeh, Bu?"
Tidak ada sahutan untuk beberapa saat sebelum seorang wanita paruh baya berjilbab merah marun mendatanginya. "Ohh kamu sedang cuci piring. Ibu kira kamu tidak ada kerjaan loh."
"Kenapa Bu? Ibu butuh bantuan Lea?"
"Nggak jadilah. Kamu lanjutkan cuci piringnya, saja."
Kalea yang mendapatkan respon seperti itu kembali menghentikan kegiatannya dan menatap ibunya. "Ndak apa-apa loh, Bu. Iki udah tinggal basuh aja. Beres deh."
Ibunya diam sesaat seakan menimbang-nimbang keputusan. "Yasudah Nduk, Ibu minta tolong urusi adik-adikmu, ya? Ibu dan Intan harus cepat-cepat pergi ke pasar."
Kalea mengangguk tanpa penolakan.
Melihat itu ibunya tersenyum dan segera pergi dari sana.
Beberapa menit kemudian, gadis itu menyekakan tangannya pada celana guna mengeringkannya. Dia memindahkan lauk-pauk yang tadi dibuatnya ke dalam mangkuk dan piring, serta menyiapkan bubur untuk Arsa. "Beres." Gumamnya, puas.
Kalea segera keluar dari sana dan langsung menuju kamar ibunya untuk mengurusi adiknya.
Satu-satunya anak yang harus dia urus tentu saja si mungil Arsa, bayi yang membawa kegembiraan bagi penghuni rumah ini.
Umurnya baru 8 bulan jika dihitung dari saat ibu membawanya ke rumah. Ibu kandung si bayi meninggalkannya di depan toko yang sudah tak terpakai, tanpa meninggalkan secuil petunjuk pun. Beruntunglah saat itu ibu berjalan melewati toko tersebut dan mendengar tangisan Arsa–si bayi merah yang masih lengkap dengan tali pusarnya-sebelum hujan turun. Jika tidak entah apa yang akan terjadi.
Kalea selalu ingin bertanya pada mereka yang membuang dan menelantarkan anaknya. Pertanyaannya sederhana, 'kenapa?' Itu saja.
Dengan telaten dan cekatan, bayi mungil itu sudah terlihat tampan.
Selesai dengan Arsa, Kalea menggendong bayi itu dan masuk ke kamar lainnya yang ditempati si kembar.
"Mbak Lea?" sapaan terdengar lebih dulu dari dalam.
"Kalian sudah siap? Mbak pikir, yo masih leyeh-leyeh tadi."
Dua anak perempuan berseragam merah putih itu menatap sebal Kalea. "Hira sama Dira nggak ada waktu untuk leyeh-leyeh. Bangun tidur pun kalau sempat pasti langsung belajar, sambil menunggu bagian mandi. Kami kan pengen lulus ujian juga masuk SMP negeri." Jelas Adira.
"Bagus, bagus. Kalau gitu sana sarapan, terus tunggu Mbak biar bisa berangkat bareng."
"Mbak Lea?" Panggil Ahira, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Tuhan
ChickLitTenang dan damai, itulah kehidupan seorang Gamma Hamal Lintang Megantara. Lalu semuanya berubah setelah kehadiran wanita yang ditolongnya, Kalea Nuri. Bagai bencana alam yang datang tanpa bisa diprediksi, sang ibu yang biasanya acuh tak acuh terhada...