Jeon Jungkook pulang ke rumah dengan darah di sudut bibir yang hampir mengering dan lebam-lebam biru keunguan di sekitar wajahnya.
Seragam sekolah putihnya penuh dengan serdak jalanan yang abu-abu, satu kancingnya terlepas dari kemeja, sikunya tergores disana-sini, keringat yang tadinya membanjiri seluruh tubuhnya sudah kering—menguap bersama panas matahari.
Sekarang ia hanya bisa berdiri stagnan di depan pintu rumahnya sendiri. Mata bulatnya yang berpendar lelah menatap sepasang selop putih yang warnanya kian memudar—ibunya sudah pulang. Seharusnya Jungkook pulang lebih cepat. Seharusnya ia tidak perlu tanggapi kata-kata perundung sialan yang sok jago dan berani-beraninya memukuli Jungkook sendirian sedangkan mereka berjumlah lima dengan badan yang jauh lebih tinggi darinya sehingga ia bisa pulang lebih cepat dari ibunya.
Jungkook tidak mau membuat ibunya sedih karena ia berkelahi. Dan buruknya lagi, ia kalah mempertahankan harga diri. Pulang dengan keadaan mengenaskan seperti kucing kecil yang baru saja disiram air selokan oleh pemilik toko ikan kemudian ketakutan mencari perlindungan. Sudah cukup ibunya bersedih dan menangis sesenggukan dalam diam ketika jam dinding menunjukkan pukul nol. Sudah cukup ibunya meneteskan air mata ketika seseorang yang mereka sayangi telah pergi karena sebuah penghakiman yang tidak tau diri. Sudah cukup ibunya tersenyum manis dengan mata yang sembab sedangkan ia hanya bisa menahan diri untuk tidak bertanya atau bahkan berbicara sepatah katapun pada ibunya.
Jeon Jungkook benci menjadi lemah, tapi ia lebih benci ketika melihat ibunya yang berjuang sendirian.
Tidak memikirkan apa-apa lagi, Jungkook buru-buru membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. Aroma kimchi jjigae yang hampir matang memenuhi indra penciumannya. Ibu yang sedang berdiri di depan kompor tidak mungkin tidak menyadari kalau pintu depan tertutup dengan bunyi bedebum lumayan keras—menandakan seseorang baru saja masuk, yang tentu saja itu adalah Jungkook. Sebab hanya mereka berdua yang ada disini sekarang. Jungkook hanya melepas kaus kakinya asal dan berjalan cepat ke kamarnya. Tidak memedulikan sang ibu yang kini sedang menoleh menatap ke arahnya dan tersenyum kecil. Perihal kaus kaki yang tergeletak serampangan, ibunya tak ambil pusing. Bisa dibereskan setelah makan siang atau bahkan makan malam nanti.
"Jungkookie, ganti seragammu dan kita makan siang bersama," suara ibu yang manis memenuhi rungunya. Jungkook tidak suka. Tidak suka melihat ibunya yang pura-pura bahagia padahal ia tahu rasa sakit yang dirasakan ibunya luar biasa. Jungkook diam saja. Tidak menggubris ibunya sama sekali dan terus berjalan menuju kamarnya dengan kepala yang menunduk—menyembunyikan wajah agar lebam-lebam dan bekas darah perkelahian di belakang sekolah tadi tidak terlihat oleh ibunya.
Jungkook buru-buru membersihkan sisa-sisa debu yang masih menempel sekaligus membasuh semua luka yang terlihat setelah ia meletakkan ransel dan melepas seragamnya. Beruntung kamarnya dekat dengan toilet, jadi ibunya tidak bisa mengajaknya bicara lagi atau hanya sekedar memperlihatkan senyumnya. Ia membasahi sikunya kasar sambil menahan tangis. Ia benci menjadi Jungkook yang menyedihkan seperti ini. Ia benci melihat ibunya yang larut dalam perasaan bersalah dan berhenti memperjuangkan kebenaran yang dimilikinya. Ia benci kenapa ia dan ibunya harus kehilangan ayah dengan cara yang sama sekali tidak adil. Dengan cara yang sama sekali tidak manusiawi. Dengan serangan dan amukan massa yang berebut menuduh ayahnya, bahkan main hakim sendiri sehingga tidak ada yang bisa dilakukan ayahnya selain berusaha bertahan sampai pada titik terakhirnya.
Membayangkan wajah ayahnya yang kesakitan dan tidak bisa apa-apa saat tubuhnya diringkus sampai menghembuskan napas terakhir hanya membuat Jungkook semakin sedih. Ia benci harus mengeluarkan air mata. Ayahnya tidak pantas untuk ditangisi. Ayahnya butuh keadilan, bukan penghakiman. Yang seharusnya menangis bukan ia dan ibunya, tapi orang-orang yang seenaknya menghakimi ayahnya. Jungkook tidak pernah merasa pantas untuk menangisi ayahnya. Karena Jungkook tahu ayahnya tidak bersalah. Ayahnya tidak pernah salah. Ayahnya adalah seorang malaikat sekaligus pahlawan baginya dan ibu. Jungkook yakin. Karena kalau ayahnya memang bersalah dan pantas untuk mati setelah dihakimi massa, ibunya tidak akan sampai sedih atau menyembunyikan rasa sakitnya sendiri dengan senyum manis palsu yang selalu ia jumpai di setiap detiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagian-Bagian yang Tak Tersentuh Nalar
Fanfictionkumpulan oneshoot bangtan yang ditulis sesuai mood :)