Ular Besi ini Tidak Pernah Punya Lintasan

24 3 20
                                    

"Kau bisa turun kalau bingung, nona." Laki-laki di sampingmu itu tampak tidak nyaman dengan gerak-gerikmu yang terus-terusan menoleh ke arah sekitar—memerhatikan seluruh penumpang yang bungkam, akhirnya mulai bersuara. "Kau bisa turun dari sini kalau masih tidak tahu posisi pemberhentian terakhir kereta ini."

Kamu mendelik ke arahnya, memerhatikan laki-laki yang melirikmu tajam. Sepertinya ia bisa mendengar umpatan yang samar-samar keluar dari kedua belah labium pucatmu—menggigil kedinginan karena suhu dari mesin pendingin kereta yang makin menurun.

"Memangnya kenapa kalau aku tidak tahu posisi pemberhentian terakhir kereta?" Kamu menduduki salah satu kursi kosong di dekatmu. "Kau pikir aku anak yang kabur dari rumah dan tidak tahu harus pergi kemana?" tukasmu galak sambil memerhatikan penampilan laki-laki itu dari atas sampai bawah—kemeja putih lengan panjang, rompi rajut cokelat terang agak kekuningan, dan celana bahan warna moka. Sepatu fantofelnya mengilat, warna hitam.

"Biar kuberitahu, Clara," ucapnya mengabaikan kata-katamu tadi. "Kereta ini tidak punya lintasan. Pemberhentian terakhir masih sangat jauh, sebab mereka semua sudah bukan lagi bagian dari dunia," sambungnya lagi sambil mengarahkan dagu lancipnya ke arah penumpang yang bungkam.

"Kau tahu namaku?" Tanyamu lagi, ia mengangguk lantas terkekeh pelan. Kemudian ikut duduk mendekat di sebelahmu, "kita semua saling mengenal disini."

"Kau lihat bapak tua itu? Dia sangat kasihan karena anaknya sendiri yang membuatnya naik kereta ini dengan cara yang kejam," lanjutnya lagi setelah telunjuk panjangnya menunjuk seorang laki-laki tua yang duduk membungkuk dan menggenggam tongkat. "Kasus pembunuhan di sudut kota sebulan yang lalu," bisiknya di samping telingamu. Kamu mengangguk, mengingat satu kasus yang kamu tonton di televisi sampai ibumu merinding ketakutan sambil menyumpahi pelakunya.

"Dan di gerbong sana," kepalanya terangkat tinggi ke arah gerbong di belakang. "Ada dua anak kembar yang terlibat kecelakaan besar. Masih aku ingat saat mereka kemari, mereka tertawa-tawa berpelukan."

Kamu diam. Setelah mendengar semua penjelasan laki-laki di sampingmu ini kamu masih saja kebingungan. "Berarti kereta ini, bukan untuk manusia?" tanyamu disusul anggukan santai laki-laki yang namanya saja belum kamu ketahui. "Sudah kubilang. Ular besi ini—kereta ini, tidak pernah sekalipun punya lintasan. Kereta ini mengawang—terbang, dan pemberhentian terakhir sudah bukan lagi di stasiun dunia manusia. Tapi yang lain."

"Jadi, maksudmu aku sudah—"

"Belum. Kau belum mati. Sebelum kereta ini sampai pada pemberhentian terakhir, kau belum bisa disebut mati." Laki-laki itu menyandarkan pungkurnya dan tertawa. Lagi-lagi kata-katanya membuatmu terdiam dan buru-buru berpikir, apa yang sebenarnya terjadi padamu sampai-sampai bisa kemari dan bergabung dengan penumpang yang tidak jelas keterangannya.

"Lantas, aku kemari karena apa?" tanyamu padanya. Ia kembali menoleh—menatap matamu yang berbinar kebingungan. Ia terseyum, lantas terkekeh pelan—mulutnya membentuk sebuah senyuman kotak yang sedikit membuatmu merinding.

"Kalau kau tidak tahu alasan apa yang membuatmu naik ular besi ini, berarti kau harus kembali. Turun dan keluarlah dari sini, temui orang-orang yang menangisimu saat ini," jawabnya.

"Keluargamu terlibat kecelakaan tabrak lari saat dalam perjalanan menuju pasar malam tiga hari lalu. Keluargamu baik-baik saja, mereka hanya sedikit terluka di beberapa bagian tubuh. Tapi untunglah kasus ini sudah diproses oleh pihak yang berwajib. Dan dari yang kudengar, sepertinya mereka sudah berhasil menemukan pelakunya." Jelas laki-laki itu. Kepalanya mendongak, matanya berkedip-kedip pelan ketika menatap langit-langit kereta.

Kemudian ia kembali menatapmu, "Tapi kau masih saja terbaring di ruang rawatmu. Koma. Sebab tenaga medis sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya harapan dan doa yang bisa diandalkan. Keluargamu baik-baik saja secara fisik. Tapi secara jiwa dan mental, mereka sungguh terluka. Orang tuamu diam-diam berbisik dalam tangisannya, mengatakan bahwa lebih baik mereka yang terbaring koma dan tak sadarkan diri. Kalau bisa bertukar posisi atau memutar balikkan waktu, ayah ibumu berharap lebih baik mereka saja yang terluka. Bukan dirimu. Ataupun adik perempuanmu. Karena tidak ada satupun orang tua di dunia yang mau kehilangan anaknya. Mereka nyaris kehilangan harapan dan harta pusaka terindahnya setelah melihatmu tak kunjung bangun dari tidur panjangmu." Laki-laki itu masih menatapmu dalam, garis rahangnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam tidak lagi membuatmu takut.

Perlahan, sudut bibirnya diangkat sedikit ke atas, menatapmu yang kini sedang menunduk dan menahan air mata. Kamu menyesal, bukannya turun dari kereta ini, kamu malah duduk diam dan memendam rasa bingung—bahkan bertingkah sombong dan jahat kepada laki-laki ini, laki-laki yang membantumu mengetahui semuanya tentang kereta. Tangan laki-laki yang ada di depanmu itu tiba-tiba bergerak dan menyentuh dagumu, mengangkat wajahmu yang menunduk—kemudian kedua matanya menyiratkan banyak hal, seakan ingin mencari sesuatu yang terselip diantara air matamu yang membentuk dinding kristal tipis di pelupuk bawah.

"Ibumu, adik perempuanmu, ayahmu. Mereka semua menunggumu membuka mata dengan menangisimu, Clara. Sekarang bukanlah waktu yang tepat bagimu untuk naik kereta ini. Turunlah. Matamu yang terbuka akan memberikan secercah kebahagiaan bagi mereka semua," Laki-laki itu tersenyum tulus di depan wajahmu, membuatmu semakin berkaca-kaca dan nyaris menjatuhkan air mata.

"Kembalilah sebelum menyesal," ucap laki-laki itu lagi. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah sapu tangan. "Jangan kembali dengan wajah sedih seperti itu. Aku yakin, keluargamu pasti sangat sayang padamu," disodorkannya sapu tangan itu padamu dan kamu bisa melihat lengan kemejanya yang tersingkap—memperlihatkan pergelangan tangannya yang menunjukkan bekas-bekas luka sayatan panjang yang hampir mengering sepenuhnya—menindih satu sama lain.

"Jangan tanya alasanku naik kereta ini." Ucapnya yang kemudian disusul tertawa lebar. "Kalau dipikir-pikir saat itu aku tolol sekali melakukan hal ini, tapi tidak apa. Aku tidak pernah menyesal. Setidaknya aku bisa pergi dari keluargaku yang jahat."

"Jadi, jangan pernah sia-siakan kasih sayang keluargamu yang melimpah, Clara. Oke?" Ia tersenyum kecil. Kamu mengangguk dan berdiri—mendekat ke salah satu pintu keluar. Dan perlahan-lahan, kereta ini mulai mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti.

Ketika pintu mendesing terbuka, kamu bisa melihat cahaya silau yang membuatmu menyipitkan mata. Lantas kamu menoleh dan menatap laki-laki yang masih saja menunggumu untuk segera menjauh dari kereta itu. Wajahnya yang diterpa kesilauan menjadi bersinar—mata hazelnya yang cerah dan hidungnya yang tinggi membuatmu tersenyum. "Bisa beritahu siapa namamu?" tanyamu cukup kencang setelah melangkahkan lima tapak menjauh darinya.

"Vincent!" serunya tak kalah riang. "Namaku Vincent, dan senang bertemu denganmu, Clara!"

Setelah itu, kamu benar-benar ditelan oleh cahaya silau dan sayup-sayup mendengar tangisan bahagia dan ucapan syukur yang memenuhi rungu. 

end🚂


say hello to Vincent✌🏻✌🏻

say hello to Vincent✌🏻✌🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

eh, kok hello sih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

eh, kok hello sih. Kan harusnya bye-bye :)

*harusnya ini cerpen udah diikutin lomba, tapi menurutku masih ada banyak yang kurang jadinya kurevisi. hehehe, semoga sukaaa❤️❤️

Bagian-Bagian yang Tak Tersentuh NalarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang