Pagi buta. Miss Vilencia tiba-tiba terjaga. Perlahan, dia bangun. Entah kenapa, perasaannya tak begitu nyaman. Entah kecewa masih membekas di hatinya, atau sedih yang lebih melekat. Miss Vilencia seolah tak dapat membedakannya.
Tiba-tiba dia teringat keponakan kecilnya. Perempuan kecil yang kemarin malam baru saja melewati hari yang buruk.
Miss Vilencia memegangi kepalanya. Rasanya apa yang dia lakukan beberapa jam lalu masih begitu jelas di ingatannya. Dia memang sering melakukannya, namun baru kali itu dia berani melakukannya pada kakak iparnya sendiri. Jelas, Miss Vilencia sendiri pun tak dapat melupakannya.
Miss Vilencia mulai menurunkan kakinya. Dia lalu berdiri dan berjalan keluar kamar. Rumah masih sepi di pagi buta seperti ini. Terlebih penghuni di rumah yang cukup besar ini hanya dirinya sendiri. Oh, tidak juga, dia mulai malam ini juga perlu merawat keponakan kecilnya.
Dituruninya anak-anak tangga dengan perlahan. Sambil berjalan turun, Miss Vilencia mulai berpikir untuk membuat makanan atau makan sesuatu. Walau masih terlalu pagi untuk makan, namun ia tak tahu harus melakukan apa di pagi buta ini.
Saat melangkah mendekati dapur, Miss Vilencia merasa semakin tak enak hati. Beberapa langkah kemudian, terdengar suara isakan. Namun hanya isakan, tak ada suara tangisnya. Miss Vilencia memandang seluruh dapurnya, seakan dia mencari sesuatu. Tak ada apapun yang aneh dengan keadaan dapurnya, hanya keadaan sebuah pintu di dapur itu yang nampak sedikit terbuka. Miss Vilencia mendekatinya.
Jantungnya berdebar-debar. Suara isakan itu terdengar semakin jelas.
Pintu dapur Miss Vilencia mengarah ke samping rumah. Di sisi samping rumahnya adalah gang kecil. Gang itu tak tembus ke depan rumah karena terdapat dinding yang juga menempel dengan dinding luar rumahnya dan dinding tembok pagar rumah tetangganya.
Dalam hati, Miss Vilencia merasa mengenali suara itu. keponakannya. Dia yakin pasti itu adalah isak dari keponakan kecilnya.
Miss Vilencia membuka lebih lebar pintu itu dan melangkah ke depan ambang pintunya. "Sean?"
Miss Vilencia sontak terkejut dalam hati. Dia menahan nafas. Gadis kecil di samping rumahnya sedang berjongkok. Gaun tidurnya tak berganti. Di tangannya terdapat pisau dapurnya, dan di depannya terbaring seekor kucing dengan isi perut yang berserakan. Hampir semua organ kucing itu sudah teracak-acak dan berceceran di luar tubuhnya, teriris-iris dan terpotong kecil. Sean sendiri sedang menusuk-tusuk pelan hati kucing itu.
Sean berbalik. Wajahnya masih sembab, namun sorot di matanya begitu mencengkam. Miss Vilencia semakin terkejut melihatnya.
"Tante, aku juga mau bunuh Ayah."
***
Miss Vilencia kini terdiam. Baru dia sadari dia ternyata berhenti berlari. Miss Vilencia pun kembali berlari.
"Lagi-lagi ... ingatan itu ... muncul," gumam Miss Vilencia dengan sedikit geram.
Rasanya, malam ini, Miss Vilencia banyak teringat tentang kejadian itu. dia memang sulit untuk dapat melupakannya. Ingatan itu terlalu membekas dalam hati dan memori kepalanya.
Pertama kalinya, saat itulah Sean berubah begitu berbeda.
Hati Sean beku, dingin. Sean begitu pendendam. Sean tak suka dipandang rendah. Sean begitu benci diperlakukan manis, lalu disakiti. Sean pun tak pernah mempercayai siapapun. Dan Sean hidup atas prinsipnya sendiri.
Miss Vilencia tahu itu. dia yang menjaga dan merawat Sean hingga sebesar ini. Dia tahu pasti hati Sean. Dan Miss Vilencia bergidik saat menyadari empat kata akan Sean: dia pembunuh berdarah dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins or Another
Teen FictionNaskah asal dari buku pertama Project Rewrite: Beautiful Lost Stars.