Also Have Different Way

1 1 0
                                    

Shena memperhatikan hujan yang tetap mengguyur jalanan. Di depannya, jalan nampak ksosong, sepi, dan sunyi. Seakan tak ada lagi orang-orang di tempat itu. Bahkan toko-toko yang ada di sekitar situ pun sudah tak lagi buka, semuanya hanya tinggal jalanan gelap kosong yang hanya disinari cahaya kuning lampu jalan.

Shena tak ingat berapa lama waktu yang dimakan untuk berjalan dari rumah ke toko buku. Dia pun sedikit tak ingat pukul berapa dia keluar dari rumah. Shena bahkan tak sedikit pun menoleh melihat jam sebelumnya.

Shena merapatkan kedua telapak tangannya. Karena hujan, suhu di sekitarnya menjadi semakin dingin. Air hujan pun terasa seperti tumpahan air es. Membuat jemari Shena bergemetar karena sempat terkena tumpahannya.

Tiba-tiba Shena teringat sesuatu. Shena menoleh sedikit ke sampingnya. Gadis di sebelahnya itu kelihatan memeluk tubuhnya sendiri. Pakaian hitam gadis itu tampak pendek, bahkan lengan bajunya nampak hanya menutupi kedua ujung bahunya.

Dia pasti kedinginan sekali, bathin Shena.

***

Sean memperhatikan kosong ke kedua sepatu merah terangnya. Sepatu itu tetap dihiasi hitam. Sepatu yang biasa ia kenakan saat keluar rumah karena ringan dan nyaman.

Sean tak pernah menyesali keluar malam hari dengan dress manisnya. Dress itu memang tampak manis ia kenakan. Namun untuk pertama kalinya, Sean merasa pakaiannya itu menyebalkan.

"Si ... sial," gumam Sean kecil. "A ... aku jadi ... menggigil."

Sean hanya dapat duduk memeluk kedua lututnya. Rok gaunnya yang di atas lutut itu juga cukup membuat kakinya nyeri kedinginan. Dinginnya air hujan malam itu benar-benar menusuk sampai tulangnya.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat tersampir di bahu Sean. Menutupi sampai punggungnya. Sean menoleh. Gadis di sebelahnya itu memperhatikannya dengan pandangan khawatir.

"Ka ... kamu gak apa-apa?" tanya gadis itu.

Sean terdiam sejenak. Dia tak dapat berkata apapun. Hanya membisu.

"Kamu ... kehujanan, ya?" gadis itu bertanya lagi. Atau lebih tepatnya menebak.

Sean meraih kedua ujung jaket dibahunya dengan kedua tangannya. Dia merapatkan jaket itu, mengahangatkan tubuhnya. Sean lalu kembali menatap gadis berbaju biru itu.

"Si ... siapa namamu?" tanya Sean dengan gemetar. Namun dia mantap menanyakannya.

***

"Namaku ... Shena," jawab Shena. Dia duduk bersimpuh, melipat kedua kakinya.

"Ter ... terima kasih, ya ... Shena," Sean berkata sambil tersenyum kecil. "Kamu baik banget," imbuh Sean.

"Uhm ... makasih," balas Shena dengan wajah memerah. Dia tak tersenyum, namun tetap malu-malu.

Sean tertawa kecil melihat gelagatnya. "Kamu lucu, deh," komentar Sean.

Shena terdiam sesaat. Untuknya, baru pertama kalinya ada orang lain selain Arevo yang berkata seperti itu padanya.

"Oh, iya," kata Sean lagi. "Namaku Sean. Senang mengenalmu."

"Ah! I ... iya," balas Shena kembali gugup. Dia memang kadang gugup saat berada di dekat orang lain selain sepupunya, Arevo.

"Rumah kamu di sekitar sini, ya?" tanya Sean.

"Ng ... iya. Tapi masih agak jauh dari sini."

"Oh, begitu. Aku juga. Makanya aku neduh dulu." Sean mendongak sejenak, memandang hujan di langit. "Malam ini dingin banget."

Twins or AnotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang