PROLOG

535 34 39
                                    

“AHHH!!!”

Jeritan itu berasal dari sebelah kamar Aksha. Gadis yang biasanya tidur ibarat orang mati ini akhirnya kehilangan rasa kantuknya setelah mendengar suara ribut-ribut dari luar. Sesudah meminum segelas air putih, ia keluar dari kamar kosnya untuk memantau keadaan.

Sandia dan Ulfa tampak berantakan, tak seperti biasanya. Dua gadis sekamar itu tak pernah keluar kamar tanpa ukiran alis, penampilan mereka berbeda jauh dengan saat ini. Pasti ada yang tidak beres.

“Apa saja yang hilang?” tanya Kak Veria, salah satu penghuni kos tertua.

“Laptopku, Kak,” jawab Sandia sambil terisak.

“HP sama dompetku juga, Kak,” sahut Ulfa. “Padahal baru kemarin mamaku ngirim duit.”

Aksha baru pindah tiga bulan lalu ke indekos ini, namun sudah lebih dari lima kali ia menyaksikan penghuni kos di sini menjadi korban pencurian. Tetangga kamar depan, kiri, dan sekarang kamar kanan sudah menjadi korbannya. Tetapi, setiap ada kejadian seperti ini, pemilik kos selalu lepas tangan. Seolah-olah keamanan dan kenyamanan penghuni kos miliknya bukan menjadi tanggung jawabnya.

Tekad Aksha sudah bulat untuk berangkat dari kos ini. Meskipun tempat ini merupakan indekos paling dekat dengan kampusnya, terpeleset sedikit langsung sampai ke gerbang kampus, ia ingin pindah secepatnya. Jangan sampai ia menjadi korban pencurian dulu, baru ia pindah. Lebih baik menjauhi malapetaka.

Seminggu berlalu.

Aksha membuka pintu kamar kos barunya. Akhirnya, sesudah proses pencarian tempat tinggal baru yang dibantu oleh temannya, Faurish, Aksha menemukan indekos dengan fasilitas lebih baik di Jalan Kenangan. Dengan biaya Rp 400.000,- per bulan, Aksha bebas memakai air maupun listrik sesering yang ia mau. Berbeda dengan tempat kos sebelumnya, tagihan listrik melebihi penggunaan yang dijanjikan setiap bulannya akan diminta biaya tambahan.

Jarak tempuh antara kos-kosan ini dengan kampus Aksha memakan waktu hanya sekitar 15 menit dengan sepeda motor jika tidak macet. Rumah indekos ini juga diperhatikan dengan baik oleh pemiliknya, Pak Ikhsan dan Kak Kalya, sepasang suami istri yang umurnya terpaut hampir 20 tahun. Tempat ini menerima penghuni laki-laki maupun perempuan, alasan ini jugalah yang membuat Faurish menyarankan Aksha untuk pindah ke sini agar ia tidak merasa sungkan jika ingin mengunjungi Aksha.

Bangunan ini terdiri dari empat lantai. Setiap lantai memiliki dua lorong, yang masing-masing lorong memiliki enam kamar yang sudah memiliki kamar mandi tanpa kloset di dalamnya. Toilet umum yang memiliki kloset ada tiga bilik berhadapan dengan dapur umum di setiap lorong. Karena Aksha pindah di saat pertengahan semester, semua kamar lantai 1 sampai lantai 3 terisi penuh. Ia jadinya ditempatkan di kamar nomor terakhir, di lantai 4, di ujung lorong, bersebelahan dengan dapur umum.

***

Aksha membuka kedua matanya. Entah pukul berapa saat ini. Kedua tangannya meraba-raba area di sekitar bantal dan tilamnya. Semenit berlalu, baru ia mengingat kemarin malam sebelum ia tertidur, ia mengisi daya dan gawainya ia letakkan di dekat penanak nasi. Namun, benda itu tak ada di sana.

Hampir dua menit, Aksha tak berhasil menemukan gawainya. Ia lalu bangkit membolak-balik bantal dan guling, bahkan ia mengibarkan seprai alas tidurnya tadi malam. Tetapi, lagi-lagi hasilnya nihil.

Air matanya hampir merembes saat ini. Aksha tak peduli sekarang jam berapa, yang lebih penting saat ini adalah ia ingin menghubungi orang tuanya.

Gadis berambut lurus sepunggung ini memutuskan untuk keluar kamar dan mencari bantuan. Jangan-jangan, kamarnya dibobol oleh maling. Sial, ia pindah untuk menghindari pencuri, tetapi baru satu hari tidur di sini ia sudah menjadi korban.

“Hai,” sapa Aksha kepada dua gadis tetangga barunya. Ia berusaha menetralkan ekspresi panik di wajahnya. “Gue Aksha, penghuni baru kamar ini.”

“Oh, hai. Gue Davni. Ini adek gue, Elyani.” Kedua saudari ini bergantian menjabat tangan Aksha.

“Muka lo kenapa kelihatan panik begitu?” tanya Elyani.

“HP gue hilang.” Napas Aksha tersengal. “Gue boleh pinjam HP kalian, enggak? Gue mau nelpon nyokap gue. Kalau misalnya HP gue enggak ketemu juga hari ini, kayaknya gue harus beli HP baru.”

“Nih.” Davni menyodorkan gawainya yang semula sedang ia pakai untuk bermain game.

“Thanks, Dav.”

Panggilan bersambut. Aksha menceritakan gawainya yang hilang. Mengenai kepindahannya, orang tuanya sudah tahu dari minggu lalu semenjak Sandia dan Ulfa menjadi korban pencurian di tempat Aksha kos sebelumnya, dan pastinya orang tuanya setuju karena memikirkan keselamatan putri mereka satu-satunya.

“Makasih ya, Dav, El.” Aksha mengembalikan ponsel Davni.

“Lo cari-cari aja dulu, Sha. Siapa tahu bisa ketemu,” saran Elyani.

Tadi Aksha sempat melihat jam di gawai Davni. Sekarang pasti sekitar pukul 9.05 WIB. Jadi, Aksha memutuskan untuk mandi saja di kamar mandi yang ada di kamarnya. Selesai mandi nanti, ia akan keluar mencari makanan. Mudah-mudahan saja masih ada yang jualan sarapan jam segini.

Seusai mandi, Aksha mengeringkan rambutnya sembari rebahan di tilam. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di punggung Aksha. Ia bangkit dan sedikit terkejut melihat benda tersebut. Yang mengganjal punggungnya dari tadi adalah gawainya yang hilang. Benda berbentuk persegi panjang itu terletak dengan posisi layar menghadap bumi. Aksha memeriksa baterainya masih 99%. Tak berpikir lama, ia langsung menghubungi orang tuanya untuk memberitahukan bahwa gawainya sudah kembali.

***

Aksha baru saja selesai makan siang. Memang sudah menjadi kebiasaan, setiap ada makanan berat yang masuk mengisi lambungnya, pencernaannya pasti selalu bekerja dengan baik. Perutnya terasa melilit tak tertahankan. Ia lari ke toilet umum untuk membuang sampah kehidupan.

Selang beberapa menit kemudian di dalam salah satu bilik toilet, Aksha mendengar suara orang berbicara dari arah dapur. Suara mereka terdengar jelas, karena Aksha berada di bilik tengah yang berhadapan langsung dengan wastafel dapur.

“Eh, kayaknya ada penghuni baru di kamar sebelah ini,” kata orang pertama. Suara perempuan.

“Udah lama loh kamar ini kosong,” sahut orang kedua. Suara laki-laki.

“Kudengar-dengar dari kakak-kakak di sini, kan, katanya kamar sebelah ini agak-agak seram gitulah,” orang ketiga menimpali. Suara perempuan lagi, tetapi berbeda dengan suara yang pertama.

“Kita lihat aja sampai berapa lama penghuninya tahan ngekos di kamar ini.”

Aksha keluar di saat ia mendengar langkah-langkah kaki yang menjauh hingga suara mereka mengobrol tidak kedengaran lagi. Mereka sedang menceritakan dirinya? Memangnya ... apa yang salah dengan kamarnya?

👻👻👻

Let me introduce our main heroine, Aksha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Let me introduce our main heroine, Aksha.

KAMAR 21Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang