Suara hiru pikuk kendaraan yang menyambutnya, membuat Jennie tidak bisa menahan senyum. Bibirnya tertarik begitu lepas ke atas.
Di dalam pikirannya sudah banyak rencana yang tersusun, salah satunya adalah menyambut dan memeluk erat adiknya itu hingga kesulitan bernafas. Perasaannya sudah bahagia bahkan hanya dengan membayangkannya.
.
.Jennie menggerutu pelan, tatkala awan keabuan mulai mendominasi langit. Jalanan masih padat dan ia tak yakin rencananya nanti untuk menyambut adiknya itu akan berhasil.
Sesampainya, hal pertama yang menyambut Jennie di rumah lamanya adalah hembusan angin yang cukup kuat serta perasaan aneh sempat yang merayapinya. Tapi segera ia tepis, melihat lampu rumah yang tidak menyala Jennie yakin sedang tidak ada orang di rumahnya tersebut.
Jadi segera ia mencari kunci yang mungkin sengaja diselipkan. Benar saja kunci tersebut berada dibalik pot batu yang cukup besar di dekat pintu utama. Tak ingin kedinginan karna hujan masih terus turun, Jennie buru-buru mebuka pintunya.
Takjub, matanya jelalatan manatap isi rumahnya yang sama sekali tak ada perubahan setelah beberapa tahun berlalu. Rumahnya masih sama, menyimpan kehangatan di kala ia menjajalkan kakinya di sana.
Hanya saja, matanya menatap sedih pada foto keluarganta dahulu yang terpampang besar sudah tak ia temukan di tempatnya semula.
.
.Setelah membersihkan diri, Jennie mulai menyibukkan diri di dapur, perutnya lapar dan ia yakin adiknya juga pasti sama nanti.
Namun kegiatannya berhenti ketika melihat isi kulkasnya yang kosong melompong, dan Jennie baru sadar jika kulkas tersebut bahkan tidak menyala.
Tak ingin ambil pusing karna juga sudah kelaparan, Jennie akhirnya memutuskan untuk keluar dengan payung menemaninya. Membeli makanan instan untuk malam ini, besok baru ia akan belanja.
.
."Apa terjadi sesuatu?" Jennie menggumam pelan, matanya tak lepas menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8.20, dan adik yang sudah dirindukannya itu sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya.
"Apa aku sebaiknya menyusulnya?" Sedetik berikutnya ia menggerutu, Jennie tidak tau apa-apa sama sekali mengenai adiknya itu, mau mencari kemana ia?
Akhirnya ia hanya bisa berdiri gelisah, rasa khawatir yang teramat menghantuinya.
Tak tahan terus berdiam diri, Jennie memutuskan akan mencari di dekat rumahnya terlebih duhulu. Ia sudah siap dengan jaket tebalnya untuk mengahalau dinginnya angin malam.
Belum sampai tangannya membuka pintu, pintu rumahnya tersebut lebih dahulu terbuka dari luar, membuat Jennie mundur beberapa langkah.
Keduanya saling tatap. Lebih tepatnya Jennie yang menatap tak percaya pada sosok di depannya tersebut.
"Lisa?"
Jennie melangkah mendekat, menghampiri sosok gadis yang masih mematung dengan tubuh yang basah kuyup dan terdapat bercak darah pada baju kuning yang ia kenakan.
Tanpa menunggu jawaban, tangis Jennie pecah sembari merengkuh tubuh kurus adiknya. Meski tubuh adiknya tersebut terasa dingin namun hatinya sungguh menghangat.
Pasokan udara yang tadi mukai menipis dikarnakan gundah kini mulai terisi kembali. Meski sempat merasa kecewa ketika pelukannya tadi sama sekali tak berbalas.
.
."Kau tak ingin mengatakan apapun padaku?"
Sebuah gelengan ia dapatkan sebagai balasan tanyanya.
Hembusan nafasnya terasa berat lagi, apakah adiknya tersebut sedang menghukumnya? Sejak tadi tak sepatah katapun adiknya itu lontarkan padanya.
"Kau tak merindukanku sama sekali?"
Keduanya kembali bersitatap, adiknya itu terlihat sangat tenang untuk ukuran seseorang yang akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama. Perasaan Jennie semakin sedih.
Tak menjawab, adiknya itu tersebut justru beranjak meninggalkan Jennie yang kini mematung, menyisakan jejak air dari adiknya tersebut.
"Lisa, kau sudah tidur?"
Jennie menghela nafas lelah, adiknya tersebut benar-benar tak menganggap kehadirannya.
Hatinya sakit diperlakukan seperti ini, perasaannya hancur, air matanya mulai menganak sungai di pipinya yang berisi.
Akhirnya ia menangis dalam diam, ditemankan rintik hujan yang belum berhenti.
.
.Tbc 🙂