Wanita paruh baya itu menatap gadis yang tengah duduk di hadapannya dengan penuh selidik. Bagaimana tidak, tadi ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri gadis itu keluar dari ruang kerja sang majikan dengan derai air mata. Sedangkan wanita paruh baya itu tahu, ruangan itu tidak bisa dimasuki oleh sembarangan orang tanpa seizin sang pemilik.
"Sekarang apa yang akan kau jelaskan kepada Bibi. Kenapa tiba-tiba kau keluar dari ruangan Pak Raka pake acara nangis-nangis segala?" tanya Bi Tun dengan penuh selidik. Wanita paruh baya itupun terlihat memicingkan matanya.
Di sinilah mereka saat ini. Dua manusia beda generasi itu duduk berhadapan di atas kursi meja makan yang terketak di dapur.
Butuh waktu beberapa saat bagi Arumi untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari wanita yang biasa dipanggil Bi Tun itu. Arumi tampak menyesap teh hangat untuk mengusir kegugupannya. Teh yang barusaja diseduhkan wanita paruh baya itu sebelum mereka saling duduk berhadapan seperti saat ini.
"Rumm!" Suara wanita paruh baya itu terdengar lebih lembut dari beberapa saat yang lalu.
Hanya detik jam dinding yang kini terdengar memecah suasana hening yang tercipta karena Arumi masih belum juga membuka suaranya. Sedangkan wanita paruh baya itu masih setia duduk tenang di tempatnya menanti jawaban yang diinginkannya.
Suara hembusan nafas Arumi terdengar sesaat sebelum gadis itu mulai berbicara.
"Emh ...!"
Bi Tun yang sedari tadi sudah menunggu penjelasan dari perempuan muda itu terlihat membenahi posisi duduknya bersiap untuk mendengarkan apapun yang akan keluar dari bibir mungil Arumi.
"Bi, sebenarnya-" Gadis itu menjeda kalimatnya sejenak. "Sebenarnya tadi Arumi diminta Pak Raka untuk membersihkan ruang kerjanya. Karena Pak Raka merasa ruangan itu kotor akibat kertas-kertas yang berserakan di sana."
Ya, Arumi memilih berbohong karena tidak mungkin baginya untuk berterus terang kepada wanita paruh baya itu mengenai kejadian satu bulan yang lalu. Karena itulah alasan satu-satunya yang membuatnya berada di dalam ruang kerja sang majikan beberapa waktu lalu.
Namun gestur dan gelagat yang ditunjukan wanita paruh baya itu seakan mengatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan penjelasan yang diberikan Arumi saat ini.
"Bibi tidak percaya sama Arum?" tanya Arumi berusaha memastikan.
"Dan mengenai kenapa Arum menangis tadi. Itu karena Arum tidak sengaja melihat foto keluarga pak Raka yang terlihat begitu harmonis. Arumi jadi teringat orang tua Arumi yang telah tiada makanya Arum menangis. Maaf kalau Arumi sudah membuat Bibi khawatir."
Hembusan nafas lega terdengar dari wanita bernama Tunima itu. Seakan ia telah menerima penjelasan Arumi dengan baik. Terlihat juga kelegaan di raut wajah keriputnya.
"Bibi percaya sama kamu, Rum. Tapi Bibi merasa aneh saja, kenapa pak Raka tidak meminta kepada pekerja yang biasa membersihkan ruang kerjanya."
"Karena tadi tidak ada orang lain selain Arumi, Bi. Jadi pak Raka nyuruh Arum yang mengerjakannya," jelas Arumi agar lebih meyakinkan.
"Oalah, sekarang Bibi lega Rum. Setelah dengar penjelasanmu tadi. Tapi kamu ingat ya Nduk, jangan sekali-kali masuk ke dalam ruangan itu lagi tanpa persetujuan pemiliknya. Kamu sendiri tahu kan Rum bagaimana karakter majikan kita selama ini?"
"Iya Bi, Arum mengerti. Arum juga tidak akan berani masuk ke ruangan itu kalo nggak disuruh. Jangan kan masuk, mendekat aja Arum takut, Bi."
"Bagus kalau begitu, Nduk. Bibi cuma tidak mau kamu mendapat masalah."
"Iya Bi makasih telah baik dan perhatian selama ini sama Arum. Arum merasa punya orang tua lagi," ucap Arumi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Arumi lantas beranjak dari duduknya dan berhambur memeluk wanita paruh baya itu. Ia meluapkan segala sakitnya dalam dekapan orang yang telah dianggapnya ibu itu.
Maafin Arumi Bi. Karena sudah berbohong, tapi Arumi tidak punya pilihan lain. Arumi tidak mau menyusahkan Bibi dengan masalah yang Arumi alami. Arumi juga tidak mau menghancurkan rumah tangga orang yang sudah berbaik hati memberi Arumi pekerjaan. Pak Raka benar aku harus sadar di mana posisi ku sebenarnya.
"Sudah-sudah kok jadi sedih-sedihan kayak gini sih kita. Oh ya Rum, gimana keadaan kamu? Kalo masih tidak enak badan biar Bibi yang antar kamu ke dokter," tawar wanita paruh baya itu sembari mengusap lembut punggung Arumi yang masih erat memeluknya.
"Arumi sudah nggak apa-apa Bi. Nggak usah ke dokter. Terima kasih, terima kasih sudah sangat baik dengan Arumi selama ini," ucap Arumi tulus.
"Iya Nduk, kamu sudah Bibi anggap seperti anak Bibi sendiri jadi kamu tidak usah berterima kasih seperti ini." Wanita paruh baya itupun tak kuasa membendung air matanya karena terbawa oleh suasana.
Sore harinya Arumi dan Bi Tun disibukan dengan kegiatan mereka sehari-hari di dalam rumah besar Herlambang. Bukan hanya mereka berdua saja tetapi pegawai lain juga melakukan hal yang sama sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Saat Arumi membersihkan halaman belakang rumah besar tersebut, tidak sengaja ekor matanya melihat beberapa buah mangga yang bergelantungan di pohon yang tak jauh dari posisi gadis itu berada saat ini. Tepatnya di rumah sebelah, milik tetangganya yang memang memiliki beberapa pohon mangga di halamannya. Karena pohon itu sangat tinggi maka Arumi bisa melihat buahnya dari luar pagar seperti saat ini.
Hingga buah yang terasa sangat masam jika masih mentah itu membuat Arumi meneteskan air liur.
"Lihat apa sih kamu, Rum. Serius sekali?" Suara seseorang mengagetkan Arumi. Ternyata Pak Tohir sang tukang kebun yang menegurnya saat ini.
"Oh Pak Tohir, ini Pak Arumi sedang liatin buah mangga milik Bu Irma kayaknya enak banget kalo dibikin rujak."
Pria yang bernama Tohir itupun segera mengalihkan pengelihatannya ke arah halaman tetangga di mana pohon berbuah lebat itu berada.
"Kau mau Rum?!"
Cepat-cepat Arumi menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Tingkah laku Arumi yang refleks itupun membuat pria tua itu terkekeh geli.
"Itu mah gampang, nanti Bapak akan mintakan buah mangganya sama Bu Irma. Bu Irma orangnya baik kok selalu nawarin buah mangganya sama kita. Berhubung Bapak tidak terlalu suka dengan mangga jadi Bapak nggak pernah mau. Tapi nanti Bapak akan ambilkan buat kamu."
Mendengar ucapan Pak Tohir membuat mata Arumi berbinar bahagia. Entah kenapa hanya sebuah mangga saja membuat gadis itu sebahagia ini. Apa ini yang disebut dengan ngidam?
"Wah kalau begitu, makasih Pak. Arumi tinggal ke dalam dulu ya, mau bantu pekerjaan Bi Tun di dapur."
"Silahkan Rum!"
Sebelum Arumi memasuki pintu penghubung dapur. Gadis itu kembali menoleh ke arah Pak Tohir berada dan berkata-
"Jangan lupa mangganya ya Pak!"
Sedangkan orang yang diajak bicara cuma mengangkat kedua jempolnya sebagai jawaban, diiringi senyum manis gadis itu sebelum benar-benar masuk ke dalam rumah.
"Rum-rum seperti orang ngidam saja kamu, Nduk. Kepingin makan mangga muda sampe sebegitunya." gumam pria tua itu dengan perasaan ngilu membayangkan rasa masam dari buah berwarna hijau itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Dalam Sengketa (Pindah Ke Dreame/Innovel)
RomansHamil dengan suami majikan, membuat Arumi terpaksa harus menyerahkan anak yang dikandungnya kepada istri sah Ayah kandung bayinya. Walaupun ini bukan sepenuhnya kesalahan Arumi karena malam itu ia telah diperkosa dengan sangat keji. Dapatkah Arumi m...