Morning sickness

8.3K 432 7
                                    

Arumi kembali ke dalam kamarnya dengan langkah gontai. Sejenak ia mendudukkan diri di atas ranjang miliknya. Berusaha memikirkan bagaimana nasibnya ke depan, karena saat ini ia tidak lagi sendiri tetapi sudah ada kehidupan lain di dalam perutnya, yaitu calon bayinya.

Sedikit pun tak pernah terbesit di fikirannya untuk menggugurkan darah dagingnya. Ia bertekat akan membesarkan calon bayinya walau tanpa seorang suami.

Meminta pertanggung jawaban dari ayah bayi yang dikandung-nya jelas tidak mungkin karena pria itu telah beristri.

"Sekarang aku harus bagaimana Tuhan?" gumamnya lirih.

"Arum!" Suara Nadia terdengar memanggil.

Arumi bergegas menghampiri majikan yang telah memanggilnya tadi, dengan sedikit berlari bahkan ia telah lupa bahwa saat ini dirinya tengah berbadan dua.

"Iya Bu."

"Rum tolong ambilkan barang-barang saya di mobil. Masukkan semua ke dalam kamar!" titah Nadia saat baru saja masuk ke dalam rumah.

"Baik Bu!" Baru saja gadis itu akan melangkah menuju di mana mobil sang majikan telah terparkir. Suara Nadia kembali menyentak-

"Rum tunggu, kamu sakit? Kenapa wajahmu kelihatan pucat sekali?" tanya Nadia secara tiba-tiba, seraya menatap intens pembantunya itu.

"Tidak Bu. Mungkin karena saya kurang tidur, beberapa hari ini saya terkena insomnia," jawab Arumi memberi alasan.

"Jangan dibiasakan insomnia begitu. Tidak bagus untuk kesehatanmu kalau keseringan begadang." Nasehat wanita anggun itu.

"Iya Bu saya mengerti. Terima kasih atas perhatiannya."

"Iya sama-sama. Segera selesaikan tugas mu, setelah itu kau bisa istirahat."

"Baik Bu."

Baik sekali Ibu Nadia kepada ku. Bagaimana jika nanti dia tahu kalau aku sedang mengandung anak dari suaminya. Apa dia akan mengusirku dari rumah ini, batin Arumi.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam saat Arumi menata makanan di atas meja makan untuk makam malam sang majikan.

"Rum, ini tak buatin wedang ronde biar badanmu anget. Tuh lihat wajahmu pucat begitu," ucap Bi Tun dengan logat jawanya yang medok.

Wanita paruh baya itu terlihat membawa cangkir di tangannya. Dan mendekat ke arah Arumi berada.

"Oalah Bi nggak usah repot-repot Arum bisa bikin sendiri kalau Arumi mau."

"Ngerepotin opo seh, Nduk? Nek kamu capek mbok yo istirahat dulu."

"Nanggung Bi, bentar lagi selesai cuma nyiapin makan malam Bapak dan Ibu. Arum masih kuat."

"Yo wes lah nduk. Bibi pergi ke dapur dulu yo. Wedange jo lali di ombe!"

"Iya Bi."

Selepas kepergian Bi Tun ke dapur. Nadia datang untuk makan malam karena perutnya sudah merontah minta segera diisi.

"Masak apa Rum?" tanya Nadia setelah berhasil mendudukan dirinya di salah satu kursi meja makan.

"Oh ini Bu, ada sop iga pesanan Ibu tadi siang," jawab Arumi sopan.

"Ah iya sampai lupa tadi siang kan aku minta dimasakin sop iga. Wah pasti enak ini, tapi sayang Mas Raka nggak bisa makan malam di rumah," gumam Nadia.

Jadi malam ini Pak Raka tidak makan malam di rumah pantas saja sampai sekarang masih belum pulang. Hiz apa sih, kenapa aku jadi kepikiran Pak Raka. Arumi membatin.

Memang akhir-akhir ini Arumi sering memikirkan Ayah dari bayinya itu secara tiba-tiba. Entah mengapa Arumi juga tidak tahu alasannya, mungkin bawaan bayi yang sedang merindukan Ayah kandungnya. Walaupun Arumi selalu menepis pikiran itu dan membuangnya jauh-jauh.

"Rum itu wedang ronde siapa?" Suara Nadia menyadarkan Arumi dari lamunannya.

"Eh milik saya Bu. Ibu Nadia mau?" tawar Arumi.

"Enggak ah, nggak mau banyak makan ntar gendut," tolak Nadia.

Arumi heran kenapa majikannya itu selalu mengatur pola makannya jika sudah memasuki jam 7 malam. Padahal menurutnya tubuh majikannya itu sudah sangat bagus dan porposional seperti model-model luar Negeri. Malam ini saja ia makan malam hanya dengan sop iga tanpa nasi. Mana kenyang pikir Arumi.

"Rum tolong nyalain TV-nya. Saya mau nonton berita katanya ada bencana longsor di luar daerah," titah sang majikan.

"Baik Bu." Arumi pun segera mengambil remot TV dan menyalakannya.

Nadia mengakhiri makan malamnya dan beranjak dari meja makan untuk duduk di sofa agar bisa nyaman saat menonton berita seperti keinginannya.

Saat ini Nadia tengah menyaksikan berita kriminal tentang pelecehan gadis di bawah umur oleh majikannya sendiri.

"Ih ngeri banget orang jaman sekarang. Masa pembantunya sendiri di perkosa dasar tidak bermoral," cercah Nadia.

Tubuh Arumi mendadak panas dingin mendengar ocehan Nadia saat mengomentari berita yang dilihatnya di TV itu. Dengan tangan gemetar ia melanjutkan kegiatannya membereskan meja bekas makan sang majikan. Namun saat akan menuju ke dapur langkahnya terhenti saat sang majikan kembali berkata-

"Rum, kamu sebagai anak gadis hati-hati menjaga kehormatan kamu ya. Jangan mudah tergoda dengan laki-laki apalagi pria beristri," ujar Nadia menasehati.

Kata-kata Nadia tadi seakan menyentil hati Arumi yang sekarang telah mengandung benih dari pria yang sudah beristri dan itu adalah majikannya sendiri.

"Ehm iya Bu." Sekuat tenaga Arumi menahan air matanya agar tidak menetes. Buru-buru ia meninggalkan tempat itu untuk menuju ke dapur.

"Bu Nadia sudah makan Rum?" tanya Bi Tun.

"Eh kenapa wajahmu tambah pucat begitu, Nduk?" Suara Bi Tun kembali menginterupsi melihat wajah Arumi pucat pasi dengan mata dan hidung memerah di hadapannya. Sedangkan Arumi tidak bisa berkata-kata untuk menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu.

"E-enggak papa Bi. Arum izin istirahat di kamar dulu ya Bi. Badan Arumi nggak enak banget," ucap Arumi lirih.

"Yo wes rono istirahat. Biar Bibi yang nyuci piring kotornya."

"Makasih banyak ya Bi. Arum pergi dulu," pamit Arumi.

Setelah berhasil merebahkan tubuhnya di ranjang single size miliknya. Air mata Arumi tak berhenti menetes karena ucapan sang majikan tadi selalu terngiang di telinganya.

Hatinya mencelos saat mendengar nasehat sederhana yang keluar dari bibir wanita cantik itu. Kata-kata itu melukai harga dirinya. Tapi dengan kondisinya saat ini masih kah ia mempunyai harga diri sebagai seorang wanita. Karena harga berharga satu-satunya telah terenggut paksa.

*****

Sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela kamar Arumi hingga menerpah kulit halusnya. Rasanya ia malas sekali untuk bangun dari tidurnya karena tubuhnya yang dirasa lemas dan tak bertenaga.

Arumi pun terpaksa membuka mata saat merasakan gejolak di dalam perutnya.

Dengan langkah lebar dan sedikit berlari, ia menuju wastafel untuk mengeluarkan semua isi di dalam perutnya. Namun, tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya hanya cairan berwarna kuning dengan rasa pahit yang menyiksa.

"Huekk ... huekk ...!"

Setelah memuntahkan cairan berwarna kuning tadi. Kini tubuh Arumi menjadi semakin terasa lemas dari sebelumnya, hingga tubuhnya merosot ke lantai. Kepalanya terasa pening seakan dihantam bongkahan batu besar.

Sampai ia mendengar seseorang menggedor pintu kamarnya dengan tidak sabaran.

Dor ... dor ... dor...!

"Arumi apa yang terjadi? Kenapa kau muntah-muntah. Apa kau sakit?!"


Anak Dalam Sengketa (Pindah Ke Dreame/Innovel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang