BAGIAN 1

174 10 0
                                    

1
Di luar hujan masih seperti tadi. Rintik-rintik. Sesekali diiringi desau angin kencang yang merontokkan dan menerbangkan dedaunan. Senja baru saja berlalu. Dan malam mulai merayap pelan-pelan. Dalam keadaan begini orang-orang enggan keluar. Mereka lebih senang berlindung di balik selimut di atas pembaringan.
Sebuah pondok yang berdiri di pinggiran Desa Sabrang Lor tampak semakin kuyup oleh hunjaman titik-titik air. Atapnya yang dari rumbia menciptakan butir-butir air yang kemudian bergantian jatuh ke bumi. Di dalam pondok, suatu suara aneh membangkitkan gairah terdengar bagai tak peduli dengan keadaan di luar. Suara rintihan yang diselingi erangan nikmat, meningkahi suara desau angin. Bahkan sesekali terdengar desahan napas garang, bagai kuda tengah berpacu ke atas bukit.
"Aaahhh...!" Desahan bernada penuh kepuasan terdengar.
Entah apa yang terjadi di dalam pondok. Bahkan seekor serangga yang kebetulan melihat enggan menceritakannya, karena malu. Rintik hujan di luar membuat suara-suara di dalam terdengar semakin samar. Dan ketika hujan mulai reda, suara-suara aneh itu pun terhenti pula. Hening sejenak.
"Kau tak menyesal, Ambar...?" Terdengar suara lirih memecahkan keheningan. Suara yang menuntut penegasan atas jawaban yang akan diberikan.
"Tidak, Kakang Kuntadewa...," sahut suara lain, mendayu-dayu. Suara seorang wanita.
"Kita akan kawin. Aku akan meminangmu tidak lama lagi!" lanjut suara yang agak berat, suara yang dipanggil Kuntadewa.
Sementara gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Dan sesaat tidak ada jawaban yang diberikan selain tertunduk dengan wajah lesu.
"Kenapa, Ambar? Kau tidak suka bila aku meminangmu?" tanya Kuntadewa dengan kening berkerut.
"Bukan itu, Kang...!" sanggah Ambar, lesu.
"Lalu apa?" desak Kuntadewa.
"Ayah...!"
Kuntadewa yang masih berusia dua puluh empat tahun menarik napas. Kepalanya menengadah ke langit-langit pondok dengan wajah pilu. Kemudian kembali dipandangnya wajah gadis pujaannya.
"Ya. Ayahmu tidak merestui. Bahkan sangat membenciku. Dalam kebahagiaan tadi, aku sempat melupakannya." Mereka berdua terdiam beberapa saat.
"Sudahlah. Pakai bajumu dulu. Nanti kalau ada yang lihat, bisa gawat kita," ujar Kuntadewa.
"Bagaimana kalau kita kawin lari saja, Kang?" usul Ambar sambil mengenakan pakaiannya.
Pemuda berwajah tampan ini tercekat. Kembali dipandangnya gadis itu dengan mata tak berkedip.
"Kenapa, Kang? Kau tidak setuju?" tanya Ambar, langsung menghentikan pekerjaan memakai bajunya.
"Kau bersungguh-sungguh, Ambar?!" tukas Kuntadewa.
"Aduh, Kakang Kuntadewa! Apakah Kakang masih meragukan cintaku padamu?"
"Tidak, Ambar. Sedikit pun tidak. Hanya saja..., aku ini memang tolol dan tidak terpikir ke arah itu."
"Jadi Kakang setuju?"
Kuntadewa mengangguk, membuat wajah Ambar berseri.
"Kalau begitu, buat apa lama-lama, Kang? Lebih baik sekarang saja!"
"Iya, iya!"
"Ayo Kang!" ajak gadis itu seraya bangkit berdiri sambil cepat-cepat membenahi bajunya lagi dengan wajah kian berseri-seri.
Wajah Kuntadewa pun ikut berseri. Buru-buru pemuda itu bangkit sambil merapikan bajunya. Bergegas mereka keluar. Namun baru saja hendak membuka pintu, mendadak Kuntadewa ingat sesuatu. Dia terdiam di belakang pintu dengan wajah bimbang.
"Kenapa, Kang?" tanya Ambar, bingung.
"Anjani...," gumam pemuda itu lirih.
Ambar terdiam mendengar nama itu.
"Aku khawatir akan keselamatannya. Walung Turangga berusaha mencari kesempatan untuk memperdayainya...," lanjut Kuntadewa.
"Hm, begini saja. Kakang pergi lebih dulu, sementara aku akan menyusul bersama Anjani. Bagaimana?" usul Ambar.
"Mana bisa begitu? Mestinya kau yang pergi dulu. Dan nanti, kami menyusul. Tunggulah di bawah pohon mangga yang ada di simpang jalan," sergah Kuntadewa.
"Kakang! Kalau kau yang pergi bersama Anjani, maka yang lain akan curiga. Dan disangka kalian mau melarikan diri. Tapi kalau kami yang keluar, mereka tidak akan menyangka begitu. Aku bisa punya alasan. Misalnya karena takut tidur sendiri. Maka, kuminta Anjani menemani. Nah, pergilah Kakang lebih dulu!" tegas Ambar.
Kuntadewa terdiam dan belum juga bergerak.
"Ayolah, Kakang! Apalagi yang dipikirkan? Percayakan keselamatan Anjani padaku! Bukankah ini demi kita juga? Ayo.... Jangan buang-buang waktu lagi!" desak Ambar.
"Baiklah...." Meski dengan perasaan berat, akhirnya Kuntadewa setuju juga.
Bersama-sama mereka melangkah keluar dari pondok. Namun baru melangkah sekitar lima tindak, mendadak beberapa sosok tubuh telah mengepung. Dari depan, samping kiri, kanan, serta dari belakang. Salah seorang menyalakan obor. Dan yang lain pun menyusul. Kini mereka tahu siapa orang-orang itu.
"Walung Turangga...!" desis Kuntadewa kaget.
"Mau ke mana kalian? Mau coba-coba melarikan diri, he?!" dengus pemuda kekar berambut keriting yang pertama kali menghidupkan obor. Pemuda itu memakai rompi hitam dengan gagang golok terselip di pinggang Kumisnya tipis dan panjang, sehingga bergerak-gerak ketika berbicara. Dialah yang bernama Walung Turangga.
"Itu tidak benar...!"
"Tutup mulutmu, Kuntadewa!" Kuntadewa coba membela diri, tapi langsung dibentak oleh Walung Turangga. "Kau melakukan banyak kesalahan, Kuntadewa. Dan kesalahan yang terbesar adalah apa yang kau lakukan saat ini!" lanjut Walung Turangga.
"Kakang Walung Turangga! Apa-apaan kau ini?! Jangan seenaknya menyalahkan orang. Kau kira apa yang kami kerjakan di sini?!" tukas Ambar, sengit.
"Jangan dikira kami semua bodoh, he?! Apa yang terjadi di dalam pondok antara laki-laki dan perempuan pada saat gerimis seperti ini?! Kalian kira bisa mengelabui kami, he?! Tangkap mereka!"
"Hup! Yeaaa...!"
Ambar dan Kuntadewa mundur ke belakang, merapat ke pintu pondok. Untuk sesaat Kuntadewa jadi bingung. Kalau tidak melawan, mereka pasti akan meringkus dan mungkin menghajar atas perintah Walung Turangga. Tapi kalau melawan, berarti mesti berhadapan dengan saudara-saudara seperguruannya. Keadaannya terjepit. Kalau Guru tahu, dia akan lebih disalahkan. Apalagi berani melawan mereka.
"Kakang! Kita harus melawan mereka!" bisik Ambar.
"Tapi...."
"Kau ingin mereka menangkap lalu menyiksamu lagi seperti yang sudah-sudah?!" potong Ambar.
"Tentu saja tidak."
"Nah! Kalau begitu, lawan mereka!"
Kuntadewa tidak sempat menjawab karena beberapa orang telah coba meringkus Ambar. Tapi gadis itu melawan dengan sengit. Dan ketika beberapa orang lagi berniat meringkusnya, hati Kuntadewa tergerak. Dan secepat kilat tubuhnya berkelebat seraya menangkis dan balas menghajar.
Plak! Duk!
"Akh!" Seorang pengeroyok berhasil dijatuhkan. Dan itu membuat yang lain menjadi marah.
"Kurang ajar! Kau berani melawan, Kuntadewa?!" hardik Walung Turangga, geram.
"Terpaksa. Kalian hendak menangkap kami...."
"Kurang ajar! Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan meringkusmu!" dengus Walung Turangga.
Pemuda kekar berambut keritis itu segera melesat. Langsung dikirimkannya tendangan kilat ke arah Kuntadewa. NamunKuntadewa segera berusaha menangkis dengan mengibaskan tangan kanannya.
Plak!
"Ohh...!" Tubuh Kuntadewa bergetar. Dia merasakan kalau tenaga dalam Walung Turangga amat kuat. Cepat pemuda ini melompat ke belakang.
Walung Turangga terus mengejar seraya melepas tendangan, menyambar ke batok kepala. Kuntadewa merunduk. Namun Walung Turangga menggunakan serangan yang luput untuk berputar sambil melepaskan hantaman ke dada.
Buk!
"Aaakh!" Kuntadewa mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam pukulan telak. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan mulut meringis. Namun baru saja dia hendak bersiap lagi, beberapa orang telah meluruk maju dengan hantaman bertubi-tubi.
"Kau tak bisa ke mana-mana!"
Buk! Buk!
"Aaakh...!" Jerit kesakitan dari mulut Kuntadewa langsung memecah keheningan malam. Tubuhnya terhuyung ke sana kemari. Sekali terjajar ke satu arah, satu-dua pukulan atau tendangan mendarat di tubuh.
"Hentikan! Hentikan penyiksaan itu...! Hentikan...!" jerit Ambar, tak tahan melihat kekasihnya jadi bulan-bulanan. Gadis itu berusaha mencegah tindakan brutal itu. Tapi beberapa tangan kokoh telah mencegahnya.
"Jangan ikut campur urusan ini!" hardik salah seorang.
"Kalian biadab! Terkutuk! Hentikan penyiksaan ini...!"
Tapi siapa yang peduli dengan jeritan wanita itu? Malah tindakannya disambut gelak tawa serta keluh kesakitan yang diderita Kuntadewa. Kuntadewa terengah-engah ketika para pengeroyok melepaskannya. Wajahnya berlumuran darah. Dan dari mulutnya masih meleleh cairan darah segar. Isi dada dan perutnya seperti remuk menerima pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
"Ohh...!"
"Kau rasakan bagaimana akibatnya bila berani mengganggu calon istriku!" desis Walung Turangga, dingin.
Tapi Kuntadewa tak lagi mampu menyahut selain mengerang kesakitan. Walung Turangga kembali melepas tendangan ke pantat Kuntadewa.
Plak!
"Seret dia ke hutan! Biar kawanan serigala berpesta-pora dengan tubuh busuknya itu!" perintah Walung Turangga.
"Beres!"
Lima orang segera bergerak menyeret tubuh Kuntadewa. Dan sebentar saja mereka lenyap diiringi jerit tangis Ambar.
"Tidak! Tidaaak...! Kalian tidak boleh berbuat begitu! Kakang Kuntadewa...!"
"Pegang dia kuat-kuat!"
"Jangan khawatir, Walung! Dia tidak akan bisa lepas!" sahut seorang kawannya.
"Hmm!" Walung Turangga tersenyum seraya mendekati gadis itu.
"Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Apalagi kepada anak bedebah itu!" desisnya.
"Aku akan melaporkan semua ini pada ayahmu!" balas Ambar sengit.
"Hehehe...! Kau tidak akan melapor pada siapa-siapa!" sahut pemuda itu, yakin. Kemudian Walung Turangga menoleh ke arah kawan-kawannya.
"Bawa dia!"
"Beres!" Mereka langsung menyeret gadis itu ke satu arah, di pinggiran hutan.
"Walung keparat! Lepaskan! Lepaskaaan...!" teriak Ambar, berusaha meronta-ronta.
"Hahaha...!"
Percuma saja Ambar berteriak-teriak, karena hanya membuat Walung Turangga semakin girang saja. Meski begitu, Ambar tak patah semangat. Dia berontak untuk melepaskan diri.
"Lebih baik kau tidak melawan, Ambar. Sia-sia saja. Kau tidak bisa lepas dariku!" Walung Turangga memperingatkan.
"Terkutuk kau, Walung! Kalau ayahku tahu, kau akan binasa meski sembunyi di lubang jarum sekalipun!" maki Ambar.
"Tapi sayangnya, ayahmu tidak akan tahu. Jadi aku tak perlu bersembunyi," sahut Walung Turangga, enteng.
"Setan!"
"Hahaha...!"
Mereka telah tiba di sebuah pondok lain yang agak jauh dari padepokan. Letaknya pun dekat dengan hutan. Ke dalam pondok itu Ambar dibawa masuk. Di dalam pondok terdapat sebuah dipan agak lebar yang pada masing-masing sudutnya terdapat tonggak besi setinggi satu jengkal.
"Ikat dia di situ!" perintah Walung Turangga.
"Jangan lupa bagian kami, Walung!" sahut seorang kawannya sambil cengar-cengir dan mengikat sebelah tangan gadis itu ke tonggak.
"Jangan khawatir. Kalian akan mendapat giliran. Tapi aku dulu yang pertama!" sahut Walung Turangga santai saja.
"Dan aku dapat giliran terakhir?!" teriak seseorang yang bertubuh kecil dan kurus. Suaranya bernada tak senang, karena mendapat giliran terakhir. Memang, untuk segala urusan seperti ini dia selalu dapat giliran paling buncit. Dan kebanyakan tidak enak!
"Jadi maumu yang pertama? Menggantikan Walung, begitu?!" ejek yang lain.
"Yaah, paling tidak ketiga atau keempat...."
"Hahaha...!" Orang-orang itu hanya tertawa, membuat pemuda bertubuh kecil itu jadi kesal sendiri.
"Sudahlah! Jangan mimpi. Lebih baik berjaga-jaga di luar. Siapa tahu bertemu kuntilanak yang naksir padamu. Kau bisa menggarapnya pertama kali!" sahut salah seorang.
Pemuda bertubuh kecil itu mendongkol, tapi tak berani lagi buka mulut. Bersama yang lain dia keluar, setelah Walung Turangga memberi isyarat. Dalam ruangan kini tinggal Walung Turangga dan Ambar. Wajah gadis itu tampak pucat menyiratkan ketakutan. Namun sorot matanya beringas. Meski kedua tangan dan kakinya terikat di atas dipan tapi dia berusaha melepaskan diri. Walaupun..., sia-sia!
"Sekarang kau tahu, bukan? Tidak ada yang bisa kau perbuat lagi, selain meladeni keinginanku...," kata pemuda itu disertai seringai lebar. Jakunnya pun turun naik. Seperti tak kuasa menahan liurnya.
"Apa maumu, Walung?"
"Kau tentu tahu nantinya!" sahut pemuda itu, enteng.
Diam-diam Ambar bergidik ngeri melihat seringai Walung Turangga yang seperti harimau kelaparan melihat korbannya. Apalagi ketika pemuda itu mendekat, lalu membelai-belai wajahnya.
"Hm, wajah cantik...," desah Walung Turangga.
"Lepaskan tanganku, Walung! Aku jijik melihatmu!" bentak Ambar.
"Kalau begitu tidak usah melihat, tapi rasakan saja," sahut pemuda itu. Dan tangannya semakin nakal bermain di leher gadis ini, lalu terus ke bawah. Dan..., menetap untuk beberapa saat!
"Keparat terkutuk! Lepaskan tanganmu! Lepaskan tanganmu. Keparat! Lepaskaaan...!" teriak Ambar garang. Tubuhnya bergetar laksana ribuan lintah menempel di kulitnya. Tapi pemuda yang tengah kerasukan nafsu iblis itu mana mau melepaskannya begitu saja? Teriakan Ambar malah membuatnya semakin bergairah.
"Hehehe...! Dalam keadaan begini kau semakin cantik saja, Sayang."
"Iblis terkutuk! Aku bersumpah akan mencincangmu menjadi serpihan kecil! Terkutuk! Bangsat! Hentikan perbuatan busukmu!" teriak Ambar berulang-ulang. Walung Turangga hanya terkekeh dan membuka pakaiannya satu persatu. Matanya tak lepas memandang tubuh gadis yang tergolek menantang.
"Sekarang giliranmu...."
"Lepaskan tanganmu, Iblis Terkutuk!" maki Ambar ketika tangan pemuda itu yang lincah mulai mempreteli pakaiannya satu persatu.
"Kau tahu, tak ada gunanya berteriak. Lebih baik, pasrah saja. Simpan tenagamu untuk lima belas orang lagi."
"Terkutuk kau, Walung!"
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku mesti mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan jangan mimpi untuk balas dendam padaku. Karena, setelah ini kau hanya tinggal nama!"
"Belum tentu!"
"Heh?!"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang, membuat Walung Turangga terkesiap. Dan belum juga keterkejutannya hilang....
"Hiih!"
Jrot!
"Aaakh...!" Tepat ketika Walung Turangga menoleh, sebuah hantaman tangan mendarat di wajahnya.
Brosss...!
Walung Turangga terpental menghantam dinding pondok hingga jebol. Dari hidungnya mengucur darah segar. Pandangan matanya berkunang-kunang. Namun dengan membawa kemarahan, dia berusaha menguatkan diri. Dan secepatnya pemuda berompi hitam itu bangkit seraya menerobos ke dalam.
"Bedebah! Siapa yang mau berani mampus mencampuri urusanku?!"
"Aku! Belum puas hidungmu patah? Aku bisa mematahkan lehermu!"

***

188. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang