BAGIAN 3

97 9 0
                                    

Agaknya bukan cuma Ki Angwatama saja yang kecut nyalinya. Demikian empat muridnya. Mereka tidak menyangka kalau Kuntadewa memiliki kesaktian begitu hebat.
"Kau..., kau.... apa hubunganmu dengan Ki Bagus Perkasa?!" seru Ki Angwatama sambil mundur perlahan-lahan.
"Dia orangtuaku," sahut Kuntadewa mantap.
"Hmm! Pantas. Tapi..., kenapa kau mendendam padaku, Kuntadewa? Aku tidak tahu-menahu tentang kematian orangtuamu," kilah Ki Angwatama.
"Aku tak peduli. Kau memperlakukan aku dan adikku seperti budak di Padepokan Karang Gelam, Angwatama! Padahal perhiasan-perhiasan ibuku cukup untuk membiayai hidup kami di padepokan sampai kami dewasa dan mampu mandiri. Dan terakhir, perlakuan Walung Turangga padaku! Huh! Tidak akan pernah kumaafkan! Sayang dia sudah mampus, kalau tidak akan kucincang tubuhnya menjadi sobekan-sobekan kecil. Tapi untuk menutupi kekecewaanku maka kau harus mati! Kau harus menanggung dosa-dosanya!" desis Kuntadewa.
"Tidak! Kau tidak bisa menyamakannya denganku!" sergah Ki Angwatama, yang ternyata adalah Ketua Padepokan Karang Gelam.
"Dia anakmu! Dan kau amat menyayanginya serta mendukung segala perbuatannya baik salah maupun benar! Dengarkan, wahai anjing tua busuk! Bersama murid-murid lain. Walung Turangga menghajarku sampai nyaris mati. Lalu bagai seekor anjing buduk aku diseret ke hutan dan dibiarkan dalam keadaan hidup dan mati. Siapakah yang mempunyai watak seperti itu selain binatang?! Dan kau, ayah dan anak sama saja! Bersiaplah untuk mati!"
Begitu kata-katanya habis, secepat kilat Kuntadewa melompat ke arah Ketua Padepokan Karang Gelam dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar.
"Graungrrr...!" Raungan pemuda itu laksana seekor harimau kelaparan yang haus darah. Bahkan laki-laki tua yang juga guru Kuntadewa sendiri sampai bergetar hatinya. Dan nyalinya semakin ciut saja.
Wut! Bet!
Dengan mengerahkan segala kemampuan, Ki Angwatama berusaha menghindar serangan-serangan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa saat kemudian, keadaannya sudah terdesak hebat. Tidak sampai tujuh jurus!
"Hiih!" Ketika cakar Kuntadewa hendak merobek tenggorokan, Ki Angwatama nekat menangkis dengan tangan kiri.
Tak!
"Uts!" Bahkan laki-laki tua itu berhasil mengelakkan sambaran cakar yang satu lagi dengan menggeser tubuhnya ke samping.
Namun hal itu harus dibayar mahal, sebab mendadak Kuntadewa memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kaki kanan. Bukan telapaknya yang mengancam tetapi kuku-kuku kakinya yang runcing bagai mata pedang. Sehingga....
Bret!
"Aaakh...!" Ki Angwatama menjerit kesakitan ketika kuku-kuku itu merobek perutnya. Kedua tangannya langsung mendekap perut sambil terhuyung-huyung. Sementara dari sela-sela jarinya menetes deras cairan darah.
"Graungrrr...!" Kuntadewa tidak berhenti sampai di situ. Langsung diterkamnya Ketua Padepokan Karang Gelam ini dengan cakar-cakarnya yang runcing.
Bruk...! Bret! Bret!
"Aaa...!"
Tanpa belas kasihan tubuh tua yang telah terjatuh di tanah itu dicabik-cabik cakar Kuntadewa sampai tak berbentuk lagi. Ki Angwatama memekik setinggi langit. Tapi hanya sesaat, sebelum tenggorokannya putus dirobek cakar muridnya sendiri.

***

Wajah Ambar tampak suram dan kusut. Sejak tadi gadis ini berdiam diri. Sementara Ratmi di sebelahnya justru kebalikannya. Wajahnya selalu riang, sehingga kecantikannya seperti bersinar. Apalagi dengan pakaian merah ketat yang dikenakannya saat ini. Beberapa pemuda yang berpapasan mendecah kagum. Dan tak jarang yang tergerak mulutnya untuk menggoda. Dan sejauh itu hanya sesekali gadis ini menimpalinya.
"Lihatlah, Ambar! Hari ini terasa indah kalau kita berusaha menikmatinya!" ujar Ratmi yang periang.
Yang diajak bicara menoleh sekilas, lalu tersenyum pahit. Dan kembali matanya lurus menatap ke depan.
"Apalagi yang kau pikirkan? Laki-laki di dunia ini tidak hanya satu. Dengan wajah cantik. Orangtuamu kaya-raya. Kau bisa mendapatkan pemuda yang lebih tampan lebih dari sepuluh orang dalam sekejap!" desah Ratmi.
"Aku tidak bisa melupakan Kakang Kuntadewa...," desah Ambar.
"Begitu cintanyakah kau padanya?"
"Mungkin dia tidak akan selamat di tangan mereka...," gumam Ambar tak mempedulikan pertanyaan kawan seperjalanannya.
"Kenapa tidak kembali saja ke padepokan dan meminta pertanggungjawaban gurumu? Kalau dia macam-macam, biar kuhajar orang tua itu!" tukas Ratmi, memberi usulan.
"Tidak! Ki Angwatama tidak akan peduli!"
"Huh! Guru seperti apa itu? Mestinya dia bersikap bijaksana meski kepada putra sendiri! Tanganku gatal dan ingin menghajar orang seperti itu!" dengus Ratmi, geram.
"Kau mungkin saja hebat. Tapi beliau tidak sendiri. Muridnya banyak. Dan dia bisa berbuat apa saja."
"Kau bermaksud melaporkan kejadian ini pada orangtuamu?"
"Entahlah. Ayahku terlalu akrab dengannya. Beliau sangat mempercayainya. Maka tidak heran kalau aku dijodohkan dengan Walung Turangga. Padahal aku sama sekali tidak menyukainya."
"Kenapa tidak keluar saja dari padepokan itu?"
"Tidak bisa. Mereka mengawasiku siang dan malam. Sepertinya aku ini tawanan."
"Hm, kasihan sekali...!"
Ambar tersenyum getir.
"Eh! Ngomong-ngomong, masih jauhkah rumahmu?" tanya Ratmi.
"Kira-kira setengah hari perjalanan lagi dari sini," sahut Ambar, menduga-duga.
"Lumayan jauh juga. Alangkah baiknya kita mampir sebentar di kedai. Kebetulan perutku mulai menggeliat minta diisi."
"Baiklah..."
Pengunjung kedai kelihatan sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sehingga Ambar dan Ratmi yang duduk di dekat pintu masuk leluasa mengedarkan pandangan.
"Ah! Ternyata dia!" seru Ratmi dengan wajah berseri. Pandangan gadis itu tak berkedip memandang sesosok tubuh memakai baju rompi putih yang tengah membelakanginya.
"Ada apa?" tanya Ambar.
"Kau tunggu sebentar di sini!" sahut Ratmi seraya bangkit, langsung menghampiri sosok berompi putih itu. Langkah Ratmi kelihatan girang. Dan senyumnya terkembang ketika mendekati sosok berompi putih.
"Kakang Rangga!" teriak gadis ini seraya menepuk pundak orang yang dituju. Niat Ratmi jelas untuk membuat kaget. Tapi ketika orang itu menoleh, justru gadis ini yang dibuat kaget.
"Oh! Maaf, kukira Kisanak kawanku...!" seru Ratmi ketika melihat seraut wajah penuh bekas luka, yang dikira Rangga.
Orang itu menyeringai lebar, memperlihatkan sederetan gigi-giginya yang hitam dan kuning.
"Hehehe...! Tidak apa, Nisanak! Aku pun bersedia menggantikannya!" kata orang ini.
Ratmi buru-buru hendak berlalu, tapi langkahnya terhenti karena pergelangan tangan kirinya dicekal pemuda itu.
"Mau ke mana? Jangan buru-buru! Kebetulan aku makan sendirian. Kau bisa menemaniku!"
"Maaf, Kisanak. Aku bersama kawanku. Lagi pula, aku tak berniat duduk bersamamu!" sahut gadis itu kesal.
"Tapi aku berminat!" tukas laki-laki itu seraya menyentakkan tangan gadis ini.
Set!
"Hup! Kurang ajar!" Ratmi terpaksa melompat melewati meja kalau tak ingin terjerembab.
Tapi tangan kiri orang itu seketika memapas lutut bagian dalam hingga tertekuk. Lalu telapak tangan laki-laki itu bergerak cepat, menekan perutnya hingga terhempas ke bawah, tepat di atas kursi.
Gabruk!
"Diamlah di situ. Dan temani aku makan!" ujar laki-laki itu, kasar dengan seringai memuakkan.
"Tak sudi!" hardik Ratmi seraya melayangkan kepalan tangan kiri ke wajah laki-laki bertampang kasar ini.
Laki-laki itu menggeser sedikit, sehingga kepalannya luput dari sasaran. Sebaliknya tangannya cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu. Meski berusaha berontak, tapi Ratmi merasakan genggaman lelaki itu seperti catut baja. Dengan kesal kepalannya yang satu lagi dilayangkan.
Tap!
Namun nasibnya sama saja. Laki-laki itu menangkap dan menyatukannya dengan tangan yang satu lagi. Sehingga kedua pergelangan tangan gadis itu dicengkeram dengan satu tangan.
"Keparat! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku. Monyet buduk! Lepaskan!" maki Ratmi.
"Hahaha...!" Tapi orang itu hanya tertawa kegirangan. Namun....
"Kisanak, tolong kau lepaskan dia!" Mendadak terdengar seruan bernada perintah. Dan seketika laki-laki itu merasakan pundaknya seperti ditepuk.
Plak!
"Hei?!"
Tepukan barusan ternyata bukan sembarangan. Karena laki-laki yang mencengkeram tangan Ratmi merasa pundaknya bagai diganduli beban yang beratnya lebih dari delapan puluh kati. Dan mau tak mau, terpaksa cekalannya pada Ratmi dilepaskan. Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ratmi. Sebelah kakinya mendadak melesat ke perut laki-laki itu.
Des!
"Aaakh...!"
Gubrakkk!
Karuan saja laki-laki bertampang seram ini terjungkal roboh, menghajar beberapa buah meja dan kursi. Tapi secepat kilat dia bangkit dengan pandangan tajam.
"Kakang Rangga...! Ah! Kau rupanya!" seru Ratmi ketika melihat siapa yang telah menolongnya.
Tanpa canggung-canggung gadis itu memeluk pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggung. Dan itu membuat pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti jadi jengah.
"Ratmi.... Apa-apaan kau ini? He, malu dilihat orang!"
"Apa? Oh, iya! Maaf..., maaf!" Gadis itu melepaskan pelukannya dengan wajah tersipu-sipu. Dia jadi jengah sendiri ketika beberapa pasang mata memperhatikan. Apalagi Ambar yang telah berdiri di dekatnya juga ikut tersenyum. Untuk sesaat wajahnya yang berubah merah dadu dipalingkan. Tapi untung saja hal itu tak berlangsung lama, ketika....
"Hmm! Rupanya kau sudah menemukan orang yang dicari. Dan kekasihmu ini ditendang begitu saja."
"Tutup mulutmu! Sudah untung aku tidak menghajarmu sampai babak belur!" bentak Ratmi, seperti mendapat pelampiasan mendengar sindiran barusan.
"Kau? Hehehe...!" laki-laki itu terkekeh, meremehkan.
"He, kau kira aku tak bisa menghajarmu?!" bentak Ratmi lagi, makin garang.
"Percuma saja. Bahkan kekasihmu yang baru ini pun belum tentu bisa menghajarku!"
"Bangsat rendah! Rupanya kau tak kenal siapa dia, hingga berani gegabah!"
"Kalong Wetan tidak pernah gegabah, Anak Manis," sahut laki-laki itu tersenyum-senyum.
"Kakang! Kenapa tidak kau hajar saja dia? Orang itu telah menganggap enteng padamu!" desak Ratmi, begitu menatap Rangga.
"Itu tidak jadi masalah bagiku. Biarlah dia bicara apa saja. Sebaiknya tidak usah diladeni. Mari kita makan," ajak Rangga, malah tidak mempedulikan laki-laki yang merendahkannya.
"Nah! Dengar, kan? Dia takut setelah mendengar namaku?!" celetuk laki-laki yang ternyata berjuluk si Kalong Wetan.
"Kakang! Orang ini betul-betul menyebalkan. Kau tidak boleh mendiamkannya!" sentak Ratmi.
Kali ini Rangga menoleh dan memandang si Kalong Wetan dengan tersenyum manis.
"Kisanak! Aku tidak ingin mencari keributan di sini. Lagi pula ilmu silatku tidak seberapa. Jadi tak mungkin aku bisa menang bila menghadapimu," kata Rangga merendah.
Mendengar itu si Kalong Wetan malah semakin penasaran. Ketika pundaknya ditekan tadi, jelas dia merasakan tenaga dalam yang hebat sekali. Dan sekarang pemuda itu seenaknya saja mau mengalah dan mengatakan dirinya berilmu rendah. Kekesalan itu agaknya dirasakan pula oleh Ratmi. Dia tahu kalau Rangga berilmu tinggi. Tapi menghadapi orang seperti si Kalong Wetan ini, malah merendah.
"Kakang, kenapa kau ini?! Bangsat rendah ini jelas-jelas menantangmu, tapi kau malah mengalah. Di mana kehebatan namamu yang menjulang tinggi itu? Bahkan ayahku sendiri pun segan setelah kuberitahu tentang dirimu!" kejar Ratmi.
"Huh! Kekasihmu itu hanya punya nama kosong untuk menakut-nakuti orang!" dengus si Kalong Wetan.
Rangga menoleh dan memandang tajam. Raut wajahnya seketika memancarkan perbawa menggetarkan. Kali ini hatinya mulai terbakar oleh omongan si Kalong Wetan yang sepertinya terus membuka tantangan walau tak secara langsung.
"Kisanak! Kedai ini terasa sempit oleh kehadiran kita. Kalau tidak keberatan, tolong ajari aku barang satu atau dua jurus ilmu silatmu yang hebat itu di luar sana!" kata Rangga dingin. Dan tanpa berkata apa-apa lagi Rangga melangkah keluar, diikuti Ratmi dan Ambar.
Beda halnya dengan si Kalong Wetan. Tubuhnya langsung mencelat ke luar, menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dia lebih dulu tiba.
"Silakan, Kisanak," ujar Rangga, tenang.
"Baiklah. Akan kuajarkan padamu, bagaimana caranya menjatuhkan lawan secepatnya!" dengus si Kalong Wetan. Dan seketika laki-laki itu melompat menyerang dengan kepalan tangan kanan lurus menghantam dada.
"Yeaaat!"
Ternyata gerak itu hanya tipuan. Karena ketika hampir dekat, si Kalong Wetan merubah serangan. Kali ini, kaki kirinya yang menyodok ke perut. Rangga mengegos ke samping seraya menepis dengan tangan kiri.
Plak!
Namun secepat itu, si Kalong Wetan berbalik, kaki kanannya dikibaskan menyambar ke leher. Secepatnya Pendekar Rajawali Sakti menunduk, hingga tendangan si Kalong Wetan menghantam angin. Lalu sebelah kaki Rangga mengait sebelah kaki laki-laki itu.
Plak!
"Uhh...!" Sebelah kaki si Kalong Wetan tertekuk, tapi tidak membuatnya jatuh. Sebaliknya laki-laki itu mencelat ke atas. Dan tiba-tiba tubuhnya menukik tajam, menyambar Pendekar Rajawali Sakti lewat tendangan kilat.

***

188. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang