BAGIAN 4

95 8 0
                                    

Rangga kembali mengegos sedikit ke samping, hingga tendangan itu luput. Lalu secepatnya dibalasnya serangan itu dengan tendangan lurus ke perut. Kalong Wetan melompat ke belakang, tapi Rangga terus memburunya dengan tendangan beruntun. Maka terpaksa laki-laki itu menangkis.
Plak!
Baru saja terjadi benturan, secepat kilat pula kaki Rangga yang sebelah lagi menghantam dada tanpa bisa dielakkan.
Desss...!
"Aaakh...!" Kalong Wetan mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sebelah tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.
"Hm! Kurasa pelajaran yang kau berikan hari ini cukuplah, Kisanak," kata Pendekar Rajawali Sakti datar, seraya hendak meninggalkan tempat itu.
"Aku belum kalah, Kisanak!" dengus si Kalong Wetan geram, membuat Rangga mengurungkan niatnya.
"Kalah? Sepertinya kita tidak bertarung sungguh-sungguh? Bukankah aku hanya sekadar mendapatkan pelajaran darimu?" sahut Rangga, dengan kening berkerut.
"Jangan bersilat lidah, Kisanak! Terima seranganku ini!" desis si Kalong Wetan semakin geram.
Begitu habis kata-katanya, si Kalong Wetan mengembangkan kedua tangannya ke kiri dan kanan sejajar pundak. Sebelah kakinya ditekuk dan lututnya sejajar perut. Kemudian kedua tangannya bergerak saling menyilang dengan cepat, lalu meluruk maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut!
"Hmm!"
Gerakan laki-laki berwajah angker ini cukup beragam dan sulit diterka. Namun Rangga meladeninya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Meski terus menghindar, tapi saat itu justru Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengetahui kelemahan-kelemahan jurus si Kalong Wetan.
Plak! Plak!
Beberapa kali kedua tangan mereka saling berbenturan. Demikian pula kedua kaki. Dan Rangga merasakan tenaga dalam laki-laki itu bertambah dua kali lipat dari semula.
"Hm! Dengan jurusnya ini dia berusaha menekanku!" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Dugaan Rangga agaknya sedikit meleset. Sebab si Kalong Wetan tidak sekadar ingin menekannya, tapi juga hendak menjatuhkannya. Dan kalau perlu menghajarnya habis-habisan sampai babak belur. Mungkin juga sampai mati! Itu terlihat dari serangan-serangan yang cepat dan terus dibarengi pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Heaaat...!"
Rangga melompat ke belakang untuk mulai menyiapkan jurus menyerang. Sementara si Kalong Wetan menyangka pemuda itu mencari kesempatan untuk lolos dari tekanannya. Maka secepat kilat dia lompat mengejar dengan sebuah tendangan lurus.
Plak!
Rangga menepis tendangan itu dengan tangan kiri. Dan bersamaan dengan itu tubuhnya yang membungkuk berputar. Langsung dilepaskannya satu hantaman ke perut. Si Kalong Wetan terkejut. Cepat dia melompat ke atas sehingga hantaman itu luput. Namun dengan bertumpu pada tangan di tanah, Rangga melepas tendangan bertubi-tubi lewat kedua kakinya yang terangkat tinggi-tinggi.
Begkh! Des!
"Aaakh...!"
Dua tendangan berturut-turut menghantam telak perut si Kalong Wetan. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa langkah.
"Uhh...!" Dengan wajah meringis menahan rasa sakit, si Kalong Wetan bangkit dan menatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Belum pernah si Kalong Wetan dipermalukan begini sebelumnya!" tanya laki-laki itu penuh tekanan.
"Makanya kalau mau bertingkah lihat-lihat dulu!" dengus Ratmi. "Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti? Ah! Pantas saja aku tidak mampu mengalahkanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tidak merasa malu dijatuhkan olehmu. Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan padaku," desah si Kalong Wetan seraya menjura hormat.
"Kau pun hebat, Kalong Wetan.... Tidak perlu merendah!" kilah Rangga, tak ingin membuat si Kalong Wetan kehilangan muka.
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti! Aku telah mempermalukan diriku sendiri. Kuharap kau tidak mendendam dan menyudahi urusan ini."
"Hm! Aku tidak mendendam, Kalong Wetan! Kalau kau bermaksud menyudahinya, maka itulah yang terbaik."
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku mohon diri dulu. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi!" lanjut si Kalong Wetan, bergegas meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu!" teriak Ratmi, mencegah.
"Sudahlah, Ratmi. Tidak perlu diperpanjang urusan tadi," lerai Rangga.
"Kau tidak merasakan bagaimana rasanya dihina, bukan?! Nah, aku merasakannya, Kakang! Dia tak boleh pergi begitu saja!" tukas Ratmi.
"Kalau kau terus begini, maka urusan tidak akan selesai."
"Aku tidak peduli!"
"Hm! Ternyata kau masih keras kepala. Kalau begitu terserah kau saja. Aku akan melanjutkan perjalanan," kata Rangga pendek, seraya menghampiri Dewa Bayu yang tertambat di depan kedai.
"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau?!" teriak Ratmi.
"Aku tidak mau ikut campur urusanmu yang bukan-bukan. Kalau kau mau mengejarnya, silakan saja. Selesaikan sampai tuntas. Dan aku tidak akan melarangnya," sahut Rangga enteng.
"Hhh...!" Ratmi menggerutu kesal. Bukan saja kesal karena merasa dipermainkan, tapi juga kesal karena harus ditinggal Rangga. Padahal telah beberapa lama pemuda itu dicari-carinya. Dan baru hari ini mujur bisa ketemu. Lagi pula kalau mengejar si Kalong Wetan, belum tentu sakit hatinya bisa terbalaskan. Padahal dia ingin sekali menghajar laki-laki itu sampai memohon-mohon minta ampunannya. Maka betapa mendongkol hatinya mendengar jawaban Rangga yang tidak mendukung niatnya.
"Aku ikut...!" kata Ratmi ketus.
"Kau tengah berjalan bersama kawanmu. Tidak baik kalau ditinggalkan sendiri," sahut Rangga.
"Eh, tidak apa! Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula perjalananku tidak seberapa jauh lagi!" timpal Ambar cepat.
Melihat sikap Ratmi pada pemuda penolongnya itu, Ambar menduga kalau ada apa-apa di antara mereka. Apalagi dengan permintaan Ratmi barusan. Maka kehadirannya hanya akan mengganggu ketenangan mereka berdua. Lagi pula ada hal tertentu yang membuatnya ingin sendiri. Yaitu kehilangan orang yang dicintainya. Ratmi tidak menghiburnya selama di perjalanan. Makanya untuk beberapa lama dia ingin sendiri. Merenungi kemalangannya.
"Mana bisa begitu? Kalian bepergian berdua. Maka sampai ke tujuan pun harus berdua," tukas Rangga.
"Tidak mengapa. Lagi pula aku lebih senang jalan sendiri," sahut Ambar.
"Benarkah? Kau tidak keberatan kalau kutinggal, bukan?" tambah Ratmi.
"Tidak, Ratmi. Tidak apa-apa. Silakan. Aku akan jalan sendiri saja," sahut Ambar. Gadis ini lalu memberi hormat sebelum berlalu dari tempat ini.
"Hm! Dia jadi tidak melanjutkan makannya," gumam Rangga.
"Ambar memang tidak lapar. Yang lapar justru aku. Dalam keadaan begitu, dia akan tahan lapar selama beberapa hari. Mungkin juga sebulan. Atau bahkan lebih!" jelas Ratmi, seraya menaiki kudanya.
"Memang ada apa?" tanya Rangga seraya menggebah kudanya pelan, diikuti Ratmi.
"Kekasihnya dianiaya orang. Entah di mana sekarang. Mungkin sudah mati," sahut Ratmi seenaknya.
"Kenapa?"
"Entah. Mungkin karena cemburu!"
"Hm."
"Ke mana saja Kakang selama ini? Sulit betul mencari orang terkenal!"
"Kau mencari-cariku? Hm, sayang sekali. Kalau kutahu tentu akan kudatangi sejak kemarin-kemarin!" sahut Rangga sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana keadaan orangtuamu? Apakah mereka sudah rujuk lagi?"
"Aku tidak tahu. Terakhir bertemu, mereka masih bertengkar. Aku kesal melihat kelakuan mereka. Sudah tua-tua tidak juga akur!"
"Lalu ke mana kawanmu yang..., pendek itu?"
"Entahlah. Sejak itu aku belum bertemu dengannya. Mungkin dia kembali ke tempat ayahku...."
Rangga mengangguk pelan, lalu menoleh pada gadis itu. Bibirnya lantas tersenyum manis.
"Kenapa? Bersyukur atas kemalangan yang menimpaku?" tanya Ratmi, tak senang.
"Bukan," sahut Rangga pendek.
"Lalu kenapa senyam-senyum?"
"Ya! Kenapa, ya?" Rangga pura-pura mengalihkan perhatian dengan garuk-garuk kepala.
"Aku sendiri bingung. Terakhir bertemu kau masih galak. Dan sekarang tahu-tahu kau memelukku. Gejala apa ini?"
"Huh! Siapa sudi memelukmu?!" semprot Ratmi dengan wajah jengah.
"Lho? Yang di kedai tadi itu apa namanya?"
"Aku tak merasa memelukmu!"
"O, kalau begitu kau pasti memeluk si Kalong Wetan! Kelihatannya dia tergila-gila padamu. Dan kurasa kau pun sama."
"Kakang Rangga! Apa-apaan kau ini?!"
Rangga terkekeh. Dan lari kuda Dewa Bayu dipercepat, ketika gadis itu mengejarnya dengan muka gemas. "Kalau kena kuhajar kau!" ancam Ratmi.
"Dari dulu kau memang selalu banyak mulut!" ejek Rangga.
"Brengsek! Heaaa...!" Gadis itu menggebah kudanya kencang-kencang. Lalu ditunjukkannya kemahiran berkuda. Tubuhnya dimiringkan, lalu dipungut beberapa buah kerikil sambil berkuda. Secepat kilat dikeluarkannya senjata anehnya yang kerap kali terselip di pinggang. Sebuah ketapel!
Siuuut! Siuuttt! Bet!
"Uhh! Dasar gadis liar...!" umpat Rangga dongkol melihat beberapa buah kerikil melesat mengejar punggung dan batok kepala. Rangga mengegos ke samping hingga kerikil-kerikil itu terus menghantam angin.
Tapi gadis itu tidak putus asa. Dalam kejar-kejaran itu beberapa kali dipungutnya kerikil. Dan lantas dibidik buruannya. Namun sejauh itu Rangga berhasil menghindar. Hal ini tentu saja membuat gadis itu semakin kesal saja. Sampai suatu saat....
Siuut!
Mendadak melesat satu sosok bayangan hijau dari balik semak-semak. Tubuhnya langsung meliuk-liuk di udara, seraya menangkap kerikil-kerikil yang melesat.
Tap! Tap!
"Hei?!" Rangga terkesiap. Cepat dihentikannya laju Dewa Bayu. Demikian pula Ratmi. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita cantik berusia setengah baya berbaju serba hijau. Dandanannya amat medok. Bibir merah menyala tak beraturan. Sepasang alis hitamnya saling bertaut. Namun yang menyolok adalah rambutnya yang sepunggung dan awut-awutan seperti tak terurus. Warnanya pirang!
"Siapa yang hendak bermain-main denganku?!" tanya wanita itu datar. Sepasang mata wanita ini nyalang menatap Rangga dan Ratmi. Lalu tiba-tiba saja tangannya mengebut, membuat dua buah kerikil melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Ratmi.
Siuuut!
"Hei?!"
Tap! Tap!
Rangga bergerak cepat menangkapnya. Namun dia sempat terkejut ketika tangannya terasa kesemutan saat menangkap kedua kerikil itu.
"Hm! Siapa wanita ini? Tenaganya kuat sekali!" gumam Rangga memuji.
"Hihihi...! Rupanya kau yang melemparku tadi, Bocah Tampan? Siapa pun tidak boleh memperlakukanku seperti itu. Kau harus kuhajar!" Dan tiba-tiba saja wanita ini bergerak hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....
"Tunggu dulu!" cegah Ratmi.
"Hm! Ada apa, Bocah Ayu?" tanya wanita berbaju hijau itu, seraya menahan gerakannya.
"Bukan dia yang melempar batu-batu itu."
"Lalu siapa?"
"Burung-burung di atas! Coba lihat. Mereka banyak sekali, bukan?" tunjuk Ratmi ke atas.
Wanita itu menengadah. Matanya memang menyaksikan belasan ekor burung besar berterbangan. Dahinya berkerut dan memandang aneh pada Ratmi.
"Burung-burung? Belum pernah kudengar burung-burung menjatuhkan batu?" tukas wanita itu.
"Itu karena kau belum pernah mengalaminya. Kami sering mengalaminya. Dan hari ini agaknya pengalaman itu menimpamu," jelas Ratmi.
"Apa benar?"
Gadis itu mengangguk cepat.
"Kurang ajar! Kalau begitu burung-burung keparat itu mesti menerima pembalasan dariku!" dengus wanita ini geram.
"Mestinya memang begitu. Nah, tunggu apa lagi? Ayo kejar mereka sebelum jauh!" seru Ratmi.
"Iya, iya! Kau benar! Aku mesti mengejarnya sekarang juga!" kata wanita itu. Seketika wanita itu berkelebat sambil berteriak-teriak.
"Hei, turun kalian! Turun, Keparat! Akan kuhajar kau! Kuhajar kau...!"
Dahi Rangga berkernyit melihat kelakuan wanita itu. Wajahnya yang cantik mengesankan kalau dia terpelajar. Tapi berteriak-teriak pada kawanan burung dan memaki-makinya, bukanlah tindakan orang waras.

"Dia memang sinting...," jelas Ratmi seperti menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Kau kenal dengannya?" tanya Rangga.
"Ya. Dia adalah Dukun Gila Berambut Pirang. Ayahku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Orang itu memang sinting. Tapi dia berilmu tinggi. Bersama ayahku, mereka pernah membunuh seorang tokoh sesat beberapa waktu lalu," jelas Ratmi lagi.
Rangga mengangguk.
"Nama itu pernah kudengar. Siapa yang mereka bunuh saat itu?"
"Kalau tidak salah namanya..., Ki Bagus Perkasa. Orang itu betul-betul iblis! Dia membunuh orang sebagaimana layaknya seekor harimau kelaparan."
"Apa maksudmu seperti harimau kelaparan?" tanya Rangga, makin tertarik.
"Dia mencabik-cabik lawan-lawannya. Ayahku bilang, orang itu memiliki ilmu iblis. Dia dikuasai ilmunya itu, sehingga kelakuannya mirip binatang."
"Hm, aneh...!" gumam Rangga.
"Kenapa?" tanya Ratmi.
"Belum lama ini kutemukan beberapa sosok mayat dalam keadaan seperti itu di pinggiran hutan."
"Mati dengan tubuh terkoyak-koyak?!"
Rangga mengangguk.
"Pada mulanya, aku punya dugaan kalau mereka diterkam harimau kelaparan. Tapi luka yang dialami lebih mengerikan. Dan tidak kutemukan jejak-jejak harimau atau kawanan serigala. Juga tidak terdapat bulu-bulu mereka yang tertinggal. Jadi kuat dugaanku kalau mereka bukan dibunuh binatang buas," jelas Rangga.
"Astaga! Mungkinkah Ki Bagus Perkasa hidup lagi?!" sentak Ratmi kaget.
"Di mana Kakang temukan mayat-mayat itu?"
"Di pinggiran Hutan Petijah."
"Hm.... Dia kutemukan tidak seberapa jauh dari Padepokan Karang Gelam."
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Ambar. Dia berasal dari sana."
"Ambar? Gadis yang tadi bersamamu itu?"
Ratmi mengangguk cepat.
"Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya!"
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Entahlah. Kekasihnya diculik di depan matanya. Lalu menghilang. Mungkin mati. Kemudian terjadi pembunuhan seperti yang baru saja Kakang ceritakan. Kenapa mesti di sana? Atau hanya kebetulan belaka?"
"Ratmi! Aku tidak mengerti apa yang tengah kau pikirkan."
"Aku juga!" sahut gadis itu enteng sambil cengar-cengir.
"Tapi sudahlah. Buat apa diambil pusing. Toh, itu bukan urusan kita."
"Kalau saja ini berlangsung terus, maka aku tidak bisa berdiam diri," tegas Rangga.
"Terjadi apa? Pembunuhan itu?" tukas Ratmi.
Rangga mengangguk.
"Kenapa mesti repot-repot? Orang lain yang punya urusan, maka mereka yang menjadi korban. Asal saja tidak mengganggu kita, buat apa ikut campur segala?!"
"Apakah ayahmu pun berpikir begitu?"
"Jangan samakan aku dengan ayahku!" sahut gadis itu dengan muka masam.
"Tidak! Aku tidak menyamakan kau dengan beliau. Tapi hanya ingin tahu, apakah watakmu sama dengannya? Maksudku, misalnya dalam soal tadi, selalu tak peduli terhadap urusan atau kemalangan yang menimpa orang lain?"
"Kurasa begitu."
"Lalu, kenapa ayahmu turun tangan dalam menumpas pembunuh itu?"
"Pembunuh yang mana?"
"Pembunuh kejam yang mengoyak-ngoyak tubuh korban-korbannya."

***

188. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang