Menjemput Ilvira

11.7K 1K 60
                                    

1.

“Jadi, anak-anak tahu kalau hari ini Ratih menikah, tetapi mereka tidak mau ikut saat kamu ajak untuk datang kondangan?”

            Seno hanya sanggup mengangguk, menjawab pertanyaan ibunya. Ia mencoba terus fokus pada lalu lintas jalan dan kemudi yang ia kendalikan. Mereka baru saja pulang dari acara pernikahan wanita yang ibunya harap menjadi istri kedua Seno atau ibu sambung anak-anak pria itu. Namun, apa mau dikata jika Seno akhirnya melepas Ratih dan mempersilakan perempuan itu kembali pada mantan suaminya.

            Seno terus berusaha tetap konsentrasi mengemudi, alih-alih berpikir untuk menyuarakan setidaknya satu kalimat agar ibunya bisa memahami keputusannya mengakhiri hubungan dengan Ratih. Saat terdengar helaan napas panjang dari sang ibu, Seno tahu jika wanita tua yang melahirkan dan merawatnya hingga kini, kecewa berat dengan keputusannya terhadap hubungan pria itu dengan Ratih.

            Hanya saja, Seno tahu bahwa rasa tak bisa dipaksa. Logikanya mengatakan bahwa hubungan yang dijalankan dengan terpaksa, tak akan menghasilkan akhir yang baik. Seperti belajar matematika, muridnya tak bisa dipaksa untuk suka, mengerti, memahami, dan menguasai setiap rumus. Jika mereka tak sanggup untuk sekadar suka, Seno tak bisa memaksa mereka untuk bisa menguasai. Begitu pun rumah tangga dan hubungan percintaan. Saat Seno tahu seperti apa yang tersimpan di hati Ratih saat itu, Seno memutuskan untuk melepas Ratih dan kembali pada titik di mana ia harus mencari lagi sosok yang ibunya inginkan. Istri.

            “Jangan lupa mampir stasiun. Ivy sudah sampai lima menit lalu.”

            “Iya, Bu.” Seno mengarahkan kendaraannya menuju tempat yang ibunya pinta. Jadwal mereka setelah menghadiri pesta pernikahan Ratih, adalah menjemput Ivy yang kembali ke Malang sore ini.

            Saat kendaraan Seno memasuki area parkir stasiun, ibunya menjerit memanggil nama Ilvira. Sontak, Seno mengarahkan kemudinya mendekati sosok yang melambaikan tangan kepada sang ibu yang membuka kaca mobil dan terus meneriakkan nama perempuan yang ia jemput sore ini.

            “Anak Ibu!”

            Seno melirik ibunya seraya menggeleng pelan. Lalu, mata pria itu melirik kursi belakang yang baru saja dinaiki seorang perempuan, melalui spion tengah. Perempuan yang ... Seno menghitung, mengingat, dan menerka berapa usia Ivy sekarang, setelah delapan tahun lebih mereka berpisah.

            Mata Seno mengerjap pelan dan sesaat terpana dengan yang ia lihat dari pantulan spion tengah. Satu sisi pikirannya mengagumi perubahan wajah dan kulit yang Ivy miliki. Hatinya tanpa sadar memuji, bagaimana perempuan itu sekarang ....

            “Seno! Mobil belakangmu itu klakson terus! Ilvira sudah di dalam mobil, ayo lekas jalan!” Teguran ibu Seno membuat pria itu melepas pandangannya dari spion tengah, lalu dengan cepat menggerakkan persneling dan melaju ke luar stasiun.

            Tak ada suara selama beberapa saat. Hening. Seno berpikir seraya mengemudi, kemana Ilvira yang cerewet, manja, manis, banyak bicara, banyak tanya, dan selalu membuka obrolan dengannya seperti saat mereka selalu bersama dulu?

            “Vy, sehat, Nak?” Ibu memecah hening yang terjadi beberapa saat lalu.

         “Alhamdulillah sehat, Bu.”

            “Jangan kerja jauh-jauh lagi. Wes pulang saja ke Malang dan hidup di sini. Malang ya gak kalah sama Bandung, kok.”

            “Iya, ini Ivy pulang.”

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang