6

3.1K 729 16
                                    

6.

Sebenarnya, Ilvira sudah tahu dan hapal betul apa-apa saja yang harus dilakukan untuk membantu mengelola toko milik Seno. Ia terbiasa melihat, membantu, dan memperhatikan apa yang ibu Seno lakukan selama bertahun-tahun, sejak ia kecil hingga lulus SMA. Ilvira terlampau lama hidup bersama ibu Seno dan perempuan itu sudah terbiasa dengan apapun yang ada pada kehidupan Seno dan keluarganya.

"Paham kan, Vy?" Pertanyaan Seno yang baru saja menjelaskan panjang lebar tugas Ilvira di toko, membuat perempuan itu hanya mengangguk.

Ilvira paham dengan apapun yang Seno utarakan barusan. Masalahnya, Ilvira hanya belum sempat menyiapkan mental bertemu dengan Seno dan berbincang sedekat ini dengan pria itu. Sejak tadi, jantung Ilvira berdetak kencang dan hatinya berdebar mendapati sedekat ini dengan Seno. Napas pria itu terasa segar pagi ini. Aroma tubuhnya wangi dan penampilannya sangat kharismatik dengan seragam khas guru. Ilvira jatuh cinta kepada Seno, sejak pria itu pertama kali memakai seragam guru dan tersenyum kepada Ilvira secara simpul dan manis.

"Paham, Mas." Ilvira mengenyahkan ingatannya tentang Seno di masa lalu. Perempuan itu tersenyum canggung dan mengangguk sekali. "Kalau gitu, Ivy pamit jalan ke toko, ya. Nanti malam ... Ivy ke sini lagi untuk laporan ke Mas Seno?"

"Iya," jawab Seno dengan senyum samar. "Tapi saya usahakan bantu kamu tutup toko. Kamu bisa laporan di toko saja nanti."

Ilvira mengangguk lagi. "Baik, Mas." Ia lantas beranjak dari duduknya di ruang tamu kediaman ibu Seno, yang ditinggali oleh Seno dan kedua anaknya juga. "Ivy ... berangkat sekarang. Pakai motor Mas Seno, kan?" Ilvira menyeringai sungkan.

Seno mengangguk santai. "Pakai saja motor yang ada di rumah ini. Ibu bilang kamu mau beli motor bekas, saran saya jangan dulu. Kamu simpan saja uang kamu dan pakai kendaraan milik kami. Motor saya ada tiga dan hanya satu yang saya pakai."

"Ivy gak mau merepotkan Mas Seno."

"Enggak. Saya tidak merasa direpotkan. Kamu bisa pakai motor matik warna pink itu." Seno menunjuk pada benda yang terparkir di pojok teras. "Sejak mendiang ibunya anak-anak sakit, motor itu gak ada yang pakai. Kamu pakai saja, daripada rusak tak terawat."

Mendiang ibunya anak-anak. Hati Ilvira terasa perih. Ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya, mengingat Seno pernah memilih wanita lain dan menolak dirinya dengan kalimat keji. Ilvira harus sadar diri, jika di mata Seno, ia hanya gadis kecil berdada rata yang bagi seno tak layak diajak buat anak.

"Uhm ... Ivy beli motor saja nanti. Gak usah repot-repot, Mas." Lebih baik begini. Bukan hanya soal harga diri, menaiki motor bekas mendiang perempuan yang membuatnya patah hati, agaknya membuat Ilvira sedikit antipati.

"Berangkat bareng saya saja." Seno melirik jam tangannya. "Nanti saat tutup toko, saya jemput kamu. Motor pink itu biar dicek dulu kondisi mesinnya. Sudah hampir enam bulan dari terakhir saya panaskan mesin. Kalau mendadak dipakai, takut bermasalah nanti." Seno juga beranjak dari kursi tamu, lantas ke dalam salah satu kamar dan kembali dengan tas selang beberapa detik kemudian. "Ayo, Vy."

Ilvira menganga sesaat. Berangkat bareng Seno? Tidak, tidak! Ia ke rumah Seno pagi ini karena ingin mengambil motor warna putih yang kata ibu Seno bisa ia pakai untuk operasional, sekaligus mendengar instruksi Seno terkait tugasnya di toko nanti. Ia tak berharap, apalagi berdoa dan membayangkan akan berada satu kendaraan dengan Seno.

"Vy, ayo!" Ilvira tersentak saat suara lantang Seno terdengar. Ia menoleh ke arah suara dan mendapati Seno sudah berada di atas jok motornya. "Keburu siang, saya tidak boleh terlambat."

Ilvira menelan ludah dengan hati yang berusaha ia kuatkan. Jika boleh, ia ingin tersenyum riang dan berlari penuh semangat menuju motor Seno, duduk di belakang pria itu dan memeluknya dari belakang. Ilvira rindu melakukan hal yang dulu selalu ia lakukan setiap pagi. Berangkat sekolah bersama Seno yang mengajar di SMA, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang sepanjang perjalanan. Sialnya, aroma parfum Seno masih sama dengan yang Ilvira ingat dan hal itu membuat dadanya kian berdebar.

"Pegangan, Vy. Takut jatuh." Seno mulai menarik gas motor matiknya, dan kendaraan itu mulai melaju.

Ilvira tak paham dengan perintah Seno. Pria itu meminta Ilvira pegangan apa? Pundak, besi di belakang jok, atau ... tubuh pria itu? Dengan gugup, Ilvira akhirnya menggenggam pelan ujung jaket yang Seno kenakan. Ia berharap, lalu lintas tak bermasalah hingga ia tak harus berlama-lama merasakan gugup dan berkeringat dingin begini.

****

Seharian ini, Seno merasa dirinya aneh. Entah apa yang terjadi pada dirinya, hingga matanya seperti terus melihat wajah Ilvira. Bayang perempuan itu saat menolak tawarannya tentang motor, saat memperhatikan dan mendengarkan instruksinya pagi tadi, juga saat ... Seno diam-diam memperhatikan Ilvira merawat tanaman yang ibunya letakkan di rumah perempuan itu, terus berkelebat di pikiran dan mata Seno.

Tidak. Ilvira tak mungkin sudi menerima permintaannya, andai Seno meminta gadis itu menjadi istrinya. Ia pria tua, duda anak dua, dan sudah memiliki uban di kepalanya barang satu dua. Berbeda dengan Ilvira yang muda belia, cantik, dan berpotensi membuat pria jatuh hati pada kecantikan dan sikapnya yang berubah feminim.

Seno yakin, bagi Ilvira, dirinya hanyalah Seno. Anak perempuan yang mengasuh Ilvira sejak kecil dan menyayangi perempuan itu seperti anaknya sendiri. Seno tak boleh berharap lebih.

Pukul delapan malam, Seno sudah tak tahan. Ia bergegas mengambil jaket dan menghidupkan motor matiknya. Tak perlu menunggu jam tutup toko untuk bertemu Ilvira. Sekarang sudah bisa, sambil ia mengispeksi kebersihan toko dan area di sekitarnya.

Tak sampai sepuluh menit, Seno sampai di toko miliknya. Ia tak langsung masuk toko, dan memilih duduk di atas motor yang terparkir di area depan tokonya. Mata Seno terus terarah kepada Ilvira yang tampak sibuk di meja kasir. Senyum Seno terukir samar, saat melihat Ilvira yang tersenyum ramah pada para pelanggan yang berbelanja.

Saat mata Ilvira mengarah kepadanya, Seno seketika tersentak dan bergerak seakan baru sampai dan membuka helm yang ia kenakan. Telanjur ketahuan, Seno turun motor dan melangkah masuk toko. Seno hanya mengangguk samar saat melewati meja kasih dan mendapati Ilvira menatapnya. Ia menyibukkan diri melihat-lihat sekitar toko miliknya dan menegur beberapa karyawan untuk membersihkan beberapa tempat yang dirasa kotor dan tak rapi.

"Ini laporan penjualan untuk hari ini, Mas. Ini bon barang-barang yang masuk dari distributor hari ini." Ilvira menyodorkan bendelan kertas kepada Seno.

Dengan wajah serius, Seno mempelajari laporan itu, tetapi hanya sesaat. Ia memilih mengangkat wajahnya dan menatap Ilvira. "Kamu lelah, ya?" Seno agak merasa bersalah mendapati wajah Ilvira tampak lelah. Dahi perempuan itu bahkan berkeringat, padahal di atas meja kasih ada kipas angin dinding. Tanpa sadar, tangan Seno bergerak mengusap peluh di dahi Ilvira dan mendapati tubuh perempuan itu mendadak tegang. "Maaf." Seakan tersadar dari sihir, Seno menarik tangannya dengan cepat, lalu beranjak dari kursi kasir. "Sudah malam. Waktunya tutup toko." Seno memanggil seorang karyawan dan meminta pria itu membantunya menutup toko.

Dari tempatnya, Ilvira menarik napas panjang dan mengembuskan pelan-pelan dari mulutnya. Seno ... seperti Seno delapan, sepuluh, lima belas tahun lalu, yang selalu mengusap wajahnya ketika Ilvira berkeringat. Masalahnya, dulu Seno adalah kakak yang ia cintai, yang Ilvira persilakan sepenuh hati mengurus apapun yang terjadi dengan dirinya. Berbeda dengan Seno saat ini yang memiliki dua anak, pernah menolaknya, dan pasti tak tertarik kepadanya, karena Ilvira merasa tubuhnya ramping tanpa dada yang menonjol dan pantat yang memukau.

*****


Holla ... yang punya KBMapp ... aku ada running cerita di sana dengan judul Meniti Bahagia. Yang mau intip-intip, hyuk ke KBMapp dengan nama akun Hapsari1989


LopLop

Hapsari

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang