2

4.4K 882 27
                                    

2.

Ilvira berpikir jika seharusnya delapan tahun lebih kepergiannya dari tempat ini, mampu membuat semua rasa yang pernah ia miliki tak lagi terasa. Rumah ini berubah. Ibu Seno merubah warna catnya, tata letak perabot, bahkan mengganti kasur yang ada di dua kamar hunian milik mendiang kedua orangtuanya.

Hunian yang delapan tahun lebih ia tinggalkan dan ditinggali orang lain ini, seharusnya mampu membuat atmosfir dan rasa hunian ini berubah. Ilvira tak lagi harus merasakan bagaimana kepedihan kala ayahnya tiada dan ia resmi menyandang yatim piyatu.

Taman kaktus yang dulu menjadi tempat kesukaan ayahnya, kini berubah menjadi deretan pot berisi aglonema dan sansivera. Ilvira yakin, itu semua juga pasti ibu Seno yang menata ulang taman depan terasnya. Secara tampilan, rumahnya sudah berubah banyak dari saat ia lulus SMA dan memutuskan untuk pindah ke Bandung demi menenangkan hatinya yang terasa pilu.

Sudah satu minggu lebih ia menempati kembali rumah ini, tetapi aroma kepedihan itu nyatanya masih terasa kental. Memori saat ia menerima kabar dari Seno jika ayahnya meninggal di rumah sakit, membuatnya kembali merasa jika hidup terlampau mencekokinya dengan takdir pahit. Ditambah, tiga bulan setelahnya ia harus mau menerima kalimat penolakan dari Seno yang mengabarkan jika pria itu akan menikahi seorang guru TK.

"Mas Seno harusnya tahu kan, kalau Ivy sayang sama Mas Seno. Kenapa Mas malah pilih bu guru itu? Kenapa gak pilih Ivy?"

Sembilan tahun lalu ia memberanikan diri mengutarakan kalimat itu di depan Seno, saat pria itu mengabarkan jika akan menikahi perempuan yang menjadi kekasih Seno beberapa bulan terakhir. Hati Ilvira seketika takut dan kalut. Ia merasa kembali ditinggalkan oleh orang yang ia sayang. Setelah ayahnya pergi menyusul ibunya ke surga, mengapa sekarang Seno yang akan pergi ke pelukan wanita lain?

"Ilvira mau jadi istrinya Mas Seno. Ivy sudah lulus SMA sebentar lagi dan bisa jadi istrinya Mas Seno."

Entah apa yang ada di pikiran Ilvira versi gadis belia saat itu. Ia secara tegas dan yakin meminta Seno untuk memilih dan menikahinya, alih-alih sibuk mencari universitas dan memilih jurusan. Bukan sambutan hangat yang ia terima, Seno justru tertawa ringan seraya mengusap lembut kepalanya sambil mengucapkan penolakan telak yang membuat hatinya remuk redam hingga beberapa tahun kemudian.

Ilvira menghela napas panjang. Sembilan tahun lalu yang memalukan. Ia tak akan mengulangi sikap impulsifnya dan akan menjaga diri juga harga dirinya sebagai seorang wanita. Ia sebatang kara, seorang diri, meski sebenarnya masih memiliki keluarga. Keluarga jauh yang nyaris tak menganggapnya ada. Delapan tahun di Bandung untuk kuliah dan kerja, nyatanya tak membuat satu pun keluarga pihak ibunya menanyakan kabar atau datang mengunjunginya. Justru ibu Seno yang tiga kali datang ke Bandung untuk merawatnya saat ia sakit tipus dan wisuda.

"Kakak, jangan ke sana! Nanti Ayah marah."

Ilvira menoleh pada asal suara. Dua anak yang sepertinya hendak masuk ke pekarangan rumahnya, tetapi ragu. Senyum Ilvira terukir geli. Mereka anak-anak Seno dengan mendiang istri pria itu.

"Tapi pesawat kertasnya nyangkut di rak pot itu, Dek. Kita harus ambil."

Ilvira kini melirik pada rak pot teras rumahnya. Ada origami pesawat di salah satu pot aglonema dan sepertinya benda itu yang sedang dicari oleh cucu wanita yang mengasuh dan menyayanginya hingga kini.

Ilvira melangkah dari ambang pintu yang ia sandari sejak tadi. Ia mengambil origami itu, lantas membuka pagar dan tersenyum pada dua bocah yang menatapnya dengan malu dan takut. Senyum Ilvira terlengkung manis sambil menyodorkan origami pesawat yang diterima oleh salah satu dari mereka.

"Kalau mau main di rumah Tante, masuk saja." Ilvira menyodorkan satu tangannya kepada mereka. "Kita belum kenalan, ya? Aku Ilvira. Panggil saja Ivy."

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang