3

3.7K 832 25
                                    

3.

"Kamu ribut sama Seno?"

Ilvira menatap ke arah pagar yang dibuka oleh ibu Seno. Perempuan paruh baya itu berjalan santai mendekati dirinya yang sedang duduk santai di teras sambil menikmati roti bakar dan portal lowongan kerja dari ponselnya. Ilvira tersenyum menyambut ibu Seno dan mencium punggung tangan perempuan itu saat mengambil tangan untuk salim.

"Enggak, kok. Kenapa harus ribut sama Mas Seno?" Ivy menyiapkan satu kursi untuk ibu Seno duduki di sebelahnya. "Ibu mau teh hangat?"

"Gak usah. Ibu cuma mau tanya saja ke kamu. Safa bilang, ayahnya dimarahi tante tetangga baru. Memangnya ada apa sih sore kemarin?"

Ilvira tersenyum geli. "Oh, namanya Safa dan Aliya toh." Ia terkikik lirih, sebelum menatap wajah ibu Seno dan tersenyum manis. "Kemarin anak-anak Mas Seno Ivy undang masuk, tapi sama Mas Seno dipanggil dan mereka langsung pulang dengan wajah takut pada ayahnya. Dari mereka, Ivy menangkap kalau Mas Seno seperti meminta mereka menjaga jarak dengan Ivy."

Decak ringan terdengar dari ibu Seno. "Salah paham itu. Seno memang begitu sejak istrinya tiada. Dia seperti agak keras sama anak-anak. Banyak batasan yang Seno buat untuk mereka. Ibu kadang kasihan dan tegur Seno, tapi dia selalu punya alasan untuk bantah Ibu. Gak tega sama cucu sendiri, tapi ayahnya begitu keras dan otoriter sama mereka. Ya, meski semua kebutuhan anak-anak selalu Seno penuhi, tapi kadang ibu lihat mereka kurang bisa berekspresi kalau sama ayahnya. Itu sebabnya Ibu kepingin banget Seno menikah lagi."

"Apa memang separah itu, Bu? Bukannya dulu Mas Seno menyenangkan ya orangnya?" Setidaknya, begitu pandangan Ilvira terhadap Seno hingga perempuan itu jatuh cinta dan bergantung pada sosok Seno. "Seingat Ivy, Mas Seno gak keras orangnya. Tegas, iya, tetapi tidak galak dan terkesan seperti yang Ibu gambarkan."

"Dulu kan, dia gak ada anak. Sekarang ya beda. Kata Seno, kalau anak-anaknya gak dikerasin dari sekarang, takut salah didik. Masa dia bilang kalau Ibu suka manjakan mereka. Manjakan dari mana coba?"

Ilvira tersenyum melihat ibu Seno yang cemberut. Perempuan ini terlihat tampak lebih tua dari yang terakhir ia ingat. Perempuan inilah yang memeluknya, merawatnya, menyuapi hingga memperhatikan segala kebutuhannya sejak ia kecil. Sejak ia kehilangan ibunya di usia empat tahun.

"Bu," panggil Ilvira lirih dengan suara yang tercekat. Ibu Seno menoleh kepadanya dengan wajah penuh tanya. "Ilvira sayang Ibu. Terima kasih sudah mau rawat dan asuh Ivy sejak ibu Ivy meninggal hingga sekarang, padahal kita hanya tetangga saja. Ivy gak tahu apa yang terjadi pada Ivy dan Bapak, andai Ibu gak tolongin kami saat itu."

Kening ibu Seno mengernyit. "Kamu ngomong apa sih, Vy? Jangan ngelindur pagi-pagi, ah, nakutin saja." Ibu Seno menghela napas panjang dengan mata yang menerawang ke langit cerah. "Kita tidak tahu bagaimana takdir akan menuliskan perjalanan hidup kita. Dulu, Ibu mengasuh kamu yang sudah piyatu di usia balita. Mana sangka sekarang Ibu mengasuh cucu yang piyatu sejak kecil juga. Untungnya Ibu sudah terlatih saat dengan kamu, jadi gak kagok lagi sama mereka."

Ilvira mengambil tangan ibu Seno dan mengusap lengan keriput itu pelan.

"Ibu hanya berharap, Seno bisa segera memiliki pendamping lagi. Bukan karena apa, semua demi anak-anak agar mereka memiliki teman bercerita. Anak perempuan biasanya lebih leluasa menampakkan diri saat bersama sosok ibu, bukan ayah. Safa dan Aliya terlihat nurut dan patuh pada ayahnya, tetapi kadang Ibu merasa mereka butuh sosok ibu, bukan hanya nenek dan ayah."

"Ilvira paham sekali rasanya tidak memiliki ibu sejak kecil." Senyum Ilvira terlengkung sendu. "Semoga Mas Seno segera menemukan yang Ibu harapkan." Dan semoga hatinya sudah siap dan kuat andai saat itu tiba. Setidaknya, kali ini Ilvira tak akan menampakkan perasaannya kepada siapa pun. Ia hanya akan tampil sebagai wanita mandiri yang nantinya akan tersenyum menyambut pria yang sungguhan jatuh cinta kepadanya.

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang