4

3.4K 757 23
                                    

4.

Ilvira mengembuskan napasnya sekali lagi. Kali ini, lebih panjang dan lirih dengan harapan hatinya bisa sedikit lebih tenang dan tak takut untuk keluar taksi yang ia tumpangi. Matanya menatap satu rumah yang sudah ramai dengan orang-orang yang berkumpul di dalamnya. Sekali lagi ia ragu, apakah harus memenuhi undangan yang budenya sampaikan atau mangkir saja. Toh, ia jarang sekali mendapat perhatian dari keluarga ibunya. Terlebih, seseorang membencinya sedemikian rupa dengan alasan yang menurut Ilvira tak masuk akal.

Namun, segigih apapun Ilvira mencoba menjelaskan, benci tetaplah benci. Ia tak lagi memiliki cara untuk membuat perempuan itu menyayanginya, menganggapnya ada dan menerimanya sebagai seorang adik. Perempuan itu akan terus membencinya, sejak Ilvira pertama mengenalnya hingga saat ini.

"Mbak, sudah sampai, kan?" Supir taksi membuyarkan lamunan Ilvira.

"I—iya, Pak." Ilvira mengangsurkan sejumlah uang, lalu turun mobil. Ia berdiri sesaat sendiri di depan pagar hunian besar itu, demi menguatkan hati dan mentalnya sebelum masuk dan memasang wajah baik-baik saja.

"Ilvira? Kamu beneran Ilvira?" Suara merdu dan ringan itu menyambut Ilvira yang baru saja menginjakkan kaki di teras rumah bude. "Cantiknya kamu, Nak. Ayo masuk, masuk."

Ilvira tersenyum manis, lalu menyalim tangan kakak mendiang ibunya. Setelah dipersilakan masuk, ia melangkah memasuki kerumunan di ruang tengah hunian itu. Hatinya berdebar dengan telapak tangan yang mulai berkeringat. Sembilan entah sepuluh tahun sudah mereka tak bersua. Terakhir kali Ilvira mendapati mereka datang adalah saat acara seratus hari mendiang ayahnya, saat ia hampir lulus SMA. Setelah itu, bak ditelan bumi, tak satu pun keluarga ini mengunjunginya atau sekadar datang bertanya kabar.

Lalu, buat apa Ilvira pagi ini datang memenuhi undangan ulang tahun kakak ibunya? Saat duka saja mereka enggan menyapa, lalu mengapa saat senang Ilvira harus mau datang?

"Jangan menunggu hatimu siap untuk bertemu dengan mereka. Yang muda yang mengalah datang. Kalau mereka sulit memeluk kamu dan menarik kamu ke dalam lingkaran mereka, kenapa tidak kamu saja yang mencoba masuk ke sana pelan-pelan?"

Pesan dari ibu Seno kembali terngiang. Ya, Ilvira harus mencoba mengalah dengan mengesampingkan perasaan terbuangnya dari keluarga ini. Meski tak pernah ada perhatian dari mereka, Ilvira tetap akan bersikap sebagai anak ibunya yang akan selalu hadir dalam setiap undangan acara keluarga. Entah kehadirannya diharapkan atau tidak, ia akan tetap datang demi tata krama dan adab sebagai anggota keluarga.

"Wah, sudah balik ke Malang, ya? Kenapa balik? Pasti gak betah di Bandung, ya, atau gajinya kecil di sana?"

"Kerja di hotel ya mana gede sih gajinya? Apalagi kalau masih lulusan baru seperti Ivy. Ya kalau mau gaji besar, harus punya jabatan dulu dan gak mungkin semuda Ivy bisa punya jabatan, kecuali koneksi."

Seorang sepupu dan ibunya bertanya basa-basi yang Ilvira jawab dengan senyuman manis. Persetan dengan apapun yang mereka bicarakan tentang dirinya. Ilvira tetap menyapa mereka dengan ramah dan menanyakan kabar juga mengabari tentang dirinya yang baru kembali ke kota ini.

"Itu mbakmu."

Mendengar informasi dari salah seorang kerabat yang baru ia sapa, Ilvira menoleh ke belakang dan mendapati perempuan yang lebih tua delapan tahun darinya tengah berdiri sambil membawa toples berisi emping. Tatapan perempuan itu pada Ilvira masih sama. Sama seperti sebelum-sebelumnya, seperti yang selalu Ilvira dapat sejak mereka masih kecil.

"Mbak Shila," sapa Ilvira seraya melangkah pelan mendekati kakak satu ibu, meski mereka beda ayah. "Apa kabar?"

Alih-alih jawaban, Ilvira kembali harus menelan pahit saat perempuan itu hanya melengos dan meninggalkannya tanpa kata.

Logika RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang