lie to me.rar

3.3K 287 34
                                    

Heeseung menjauhkan sedotan minumnya dari mulutnya yang terbuka karena terkejut. "H-Hah, kamu bilang apa?"

Pemuda di hadapannya, Riki, menggaruk tengkuknya dengan ringisan yang terlihat ragu. "Ehehehe, minta tolong ya, Kak?"

Terlepas dari rasa kagetnya yang belum usai, Heeseung memaksakan diri untuk menggelengkan kepalanya. Otak kecilnya masih berusaha memproses apa yang baru saja ia dengar dari pemuda berkebangsaan Jepang di hadapannya. "Minta tolongnya ... kayak gitu?" Heeseung menatap khawatir. "Kayak ... aku harus jadi pacar kamu?"

"Pacar pura-pura," ulang Riki dengan penekanan. "Dan cuma semalam doang, Kak. Nggak susah. Aku berani jamin."

Mulut Heeseung kembali terbuka.

Hah? Yang benar saja? Di siang bolong seperti ini--tidak benar-benar siang, sih, ini jam tiga sore--bilang kepadanya bahwa ia membutuhkan bantuan Heeseung. Saat Heeseung bertanya bantuan seperti apa, jawabannya ternyata sangat di luar dugaan.

Dia masih ingin bertanya, tetapi wajah menggemaskan adik kelasnya kini tertuju ke arahnya dengan penuh permohonan. 

Apakah sekrusial itu buat punya pacar sampai harus cari pacar pura-pura?

"Orang tuaku udah tanya ke aku, apa aku udah punya pacar. Aku kemarin gak begitu dengar karena lagi mabar sama Kakak, aku asal iya-iya aja. Akhir pekan ini aku disuruh bawa pacarku," ringis Riki lagi. Ekspresinya terlihat kasihan sekali. "Mau ya, Kak?"

"Kenapa gak bilang aja kalau kamu gak punya pacar?" tanya Heeseung lagi. Dia pilih kembali minum minumannya, siapa tahu dengan minum otaknya makin lancar untuk memikirkan solusi lain--apa pun selain jadi pacar pura-pura.

"Pasti bakal dikira bohong." Riki mengerucutkan bibirnya kecil.

Ah, iya juga. Pemuda itu terlanjur bilang "iya", orang tua mana yang akan melepaskan anaknya begitu saja.

"Lagipula ya, Kak." Riki mendekatkan badannya ke arah Heeseung dan menatap Heeseung dengan tajam. Heeseung langsung menegakkan badannya. "Gegara waktu itu Kakak ribut banget pas kita lagi mabar, aku gak bisa dengar apa yang ditanya sama orang tuaku dan asal iya-iya saja. Ini gak sepenuhnya salah aku."

"Eh?! Kok, jadi aku juga yang salah?!" protes Heeseung tidak terima. "Salah kamu juga karena volumenya kebesaran sampai gak bisa dengar!"

"Enggak, pokoknya ada salah Kakak juga!"

.

.

.

Nishimura Riki. Masih 15 tahun, tetapi sudah merepotkan Heeseung banyak sekali.

Anak itu masih kelas 10, tetapi dekat dengan Heeseung yang kelas 12 karena satu ekskul menari. Mereka juga sama-sama suka bermain game online, terkadang mereka bermain sampai larut malam dan sepanjang hari. Heeseung tidak masalah berteman dengan adik kelas itu, Riki lumayan seru diajak mengobrol dan dia juga menggemaskan seperti adik--sesuatu yang tidak dipunyai Heeseung karena dia anak bungsu.

Iya, seperti adik.

Maka dari itu, rasanya aneh sekali saat harus membantu RIki untuk menjadi pacar pura-puranya. Terlebih lagi, langsung dibawa untuk menemui keluarganya. Seperti mau dilanjut ke jenjang yang lebih serius saja.

Heeseung mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Layar laptopnya yang tengah menyala untuk bermain Genshin Impact jadi tidak menarik lagi untuk dimainkan ketika pikirannya tengah dipenuhi problematika antara dirinya dan seseorang dari Jepang.

"Isshhh." Heeseung berdecak keras sambil keluar dari game-nya. Sudah tidak minat lagi. "Mana lusa udah hari Sabtu. Kenapa orang hobinya dadakan, sih?"

Restricted.exe • All x HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang