2;

31 7 0
                                    

.
.
.

Sean menyadari ada yang salah (atau ia mungkin hanya berhalusinasi?), jadi ia tidak langsung pergi dari sana dan mengawasi sekitar. Berharap, kalau yang tadi hanya ulah orang-orang iseng yang ingin mengerjainya—seperti konten prank yang biasa ia lihat di YouTube. Tapi setelah beberapa lama di sana, Sean tidak melihat ada orang lain di tempat itu. Memangnya siapa juga yang ingin pergi ke tempat seperti itu hanya untuk mengisenginya? Sangat tidak masuk akal. Lagipula tidak ada orang yang mengenalnya di sana.

Tapi walaupun begitu, Sean tetap berharap kalau yang tadi hanya ulah seseorang yang iseng saja. Jadi ia tidak perlu kepikiran.

Sean meneguk ludahnya lalu mengangkat wajahnya yang tadi menunduk. Tepat saat itu, matanya menangkap saat-saat Rebecca berjalan melewatinya dengan tatapan kosong. Wajahnya tak kalah pucat dengan Sean.

Seekor tikus berlari keluar dari semak-semak dan mengejutkan Sean. Ia mengusir tikus itu lalu menghela nafas. Pantas saja Rebecca terlihat ketakutan, batinnya. Gadis itu memang sangat takut dengan yang namanya tikus, dan kecoa. Rata-rata para gadis memang seperti itu, kan?

Sean lalu mengikuti Rebecca masuk ke dalam rumah itu, mengikuti ayah mereka yang sudah lebih dulu masuk.

"Reb––" Saat Sean hendak menyusul Rebecca dan memanggilnya, saat itu Sean menyadari, kalau yang ada di hadapannya saat ini hanya ayah dan ibunya. Sean terhenyak. Lalu di mana Rebecca?

"Bisa kalian jelaskan, mengapa kita pindah ke tempat terkutuk ini?" Sean menengokkan kepalanya ke belakang dengan sangat pelan dan segera membelalak lebar saat melihat Rebecca yang sedang berjalan dengan ogah-ogahan memasuki tempat itu. Bagaimana bisa? "Aku baru saja melihat seekor ular yang sedang mengejar tikus di samping tempat ini, bisa kalian percaya?" Rebecca berjalan melewati Sean dengan kaki menghentak, seolah tak menyadari kalau wajah Sean saat ini seputih mayat.

Mungkin hanya perasaanku saja, batin Sean, mencoba untuk mengabaikan kejadian tadi. Perlahan-lahan ia bisa mengendalikan kembali tubuhnya dan ia kemudian berjalan mengikuti orangtuanya yang sedang mengelilingi tempat itu.

Seperti yang Sean bayangkan, tempat itu memang sudah lama tidak berpenghuni. Debu yang menumpuk di lantai menjadi bukti, ditambah dengan beberapa kekacauan yang sepertinya pernah terjadi di tempat itu membuat Sean semakin yakin kalau tempat ini tidak pernah diurus setidaknya selama beberapa tahun.

Saat sedang sibuk menatap kertas pelapis dinding yang terkelupas, Sean tidak sengaja menginjak sesuatu. Ia menundukkan kepalanya untuk melihat benda apa yang ia pijak. Kepalanya meneleng saat melihat sebuah bingkai foto yang kacanya agak retak tergeletak di atas lantai berdebu. Walaupun benda itu juga tertutup debu, tapi itu tidak membuat Sean tidak bisa melihat kalau benda itu adalah sebuah bingkai foto.

Sean membungkuk untuk mengambil frame berukuran sedang itu lalu dengan menggunakan dengan tangannya, ia menghilangkan debu yang menutupi sebagian kacanya. Ternyata yang ada di dalam bingkai berbahan perunggu itu adalah foto sebuah keluarga. Ada seorang ayah, ibu, seorang gadis yang seumuran dengan Rebecca dan seorang anak laki-laki yang sepertinya berumur 15 tahun. Foto itu begitu tua, seolah diambil menggunakan kamera analog jaman dulu. Warnanya bahkan masih hitam-putih pudar dengan frame antik berukir.

Ada satu hal yang menarik perhatian Sean. Si gadis itu nampak sakit. Sangat sakit.

"Benda apa itu, Sean?"

Sean menoleh ke sampingnya saat mendengar suara ibunya yang bertanya. Ia mengangkat frame foto itu dan menunjukkannya pada ibunya. "Aku menemukannya tergeletak di lantai," ucap Sean.

"Hm? Apa mungkin ini milik pemilik sebelumnya dari rumah ini?" gumam Lisa bertanya, entah kepada Sean atau dirinya sendiri.

"Entahlah," balas Sean, mengartikan kalau pertanyaan tadi tertuju kepadanya.

The Cursed Negative (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang