4;

23 5 2
                                    

.
.
.

Dengan wajah sepucat kertas, Sean menarik gagang pintu dengan tangannya yang masih bergetar. Peluh membasahi keningnya.

Pintu itu berderit pelan.

Ia berjalan keluar dari kamar mandi itu dengan tatapan kosong, meninggalkan cermin bertuliskan kata "Pergi", dengan noda darah. Sean menyadari kalau ..., itu adalah darahnya. Di dalam wastafel, pisau lipatnya yang bernoda darah pada mata pisaunya tergeletak mengenaskan.

Sean meremas tangan kirinya yang telapak tangannya tergores dan berdarah. Ia menghiraukan rasa sakit dan perihnya dan melangkah turun dengan gontai. Pikirannya semrawut dan otaknya tidak bisa berpikir jernih. Ia bahkan tersandung kakinya sendiri dan hampir jatuh. Darah dari tangannya menetes disemua anak tangga.

"Aku ingin pergi dari sini," ucapnya lirih saat ia berada di depan orangtuanya. Kepalanya masih menunduk.

Lisa berbalik dan mengerutkan kening. Hanya sepersekian detik, sebelum ia menyadari darah yang membasahi jaket abu-abu yang dikenakan oleh Sean. Kini alisnya naik dengan tinggi. "Sean?! Kau kenapa?" tanyanya panik. Ia berjalan dengan cepat menuju Sean dan mengambil tangannya. Kini matanya semakin membelalak saat melihat luka yang cukup lebar dan dalam di sana (mungkin 3 cm). "Apa yang terjadi, Sean? Kenapa tanganmu terluka?" tanyanya cemas. Ia membawa Sean menuju meja makan portabel dan mendudukkannya pada salah satu kursi lipat yang ada di sana. Ia kemudian bergegas menuju ruang tengah dan menggeledah isi tasnya untuk mencari kotak pertolongan pertama.

Sementara Lisa mengobrak-abrik isi tasnya, Earl menatap Sean dengan tatapan tidak terbaca. Ia memegang bahunya. "Apa yang terjadi, Sean? Kenapa tanganmu bisa terluka?" tanyanya.

"Tergores pisau," lirih Sean datar. Dingin.

Kening Earl mengerut. Bagaimana mungkin hanya dengan tergores pisau dan bisa terluka sedalam itu? Ia ingin bertanya lagi namun Lisa datang dengan tergesa membawa sebuah kotak dan meletakkannya di atas meja, dan membuat Earl menunda pertanyaannya.

Kepala Sean masih menunduk dengan tatapan kosong saat Lisa meletakkan tangan Sean ke atas meja dan mengambil botol antiseptik dan botol alkohol—untuk menghentikan pendarahan—serta beberapa lembar kapas. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Sean meringis kecil saat Lisa membersihkan luka Sean dengan kapas yang dibasahi dengan antiseptik. "Tergores pisau," balas Sean lirih.

"Bagaimana bisa?" tanya Lisa cemas. "Memangnya apa yang kau lakukan sehingga bisa tergores pisau?"

Sean diam dan tidak menjawab, dan itu sudah cukup untuk membuat Lisa mengerti. Sean sedang tidak ingin bicara.

Lisa kemudian memfokuskan perhatian pada luka Sean dan mengobatinya. Setelah darahnya berhenti mengalir, Lisa kemudian membalut tangan Sean dengan perban. Ia menghela nafasnya setelah luka Sean sudah dibalut dengan kain kasa putih itu. Pandangannya jatuh pada Sean yang masih menunduk. Ia mengelus rambutnya beberapa kali namun Sean menghindar dan menjauhkan kepalanya. Ia tidak suka ada yang mengelus kepalanya seperti itu—kecuali Richard. Lisa menghembuskan nafasnya pelan sebelum membereskan peralatan-peralatan tadi dan memasukkannya ke dalam kotak.

Setelah selesai, Lisa kemudian mengembalikan kotak itu ke dalam tasnya.

"Jadi ...?" pertanyaan Earl menggantung.

"Aku ingin pergi dari sini." Sean mengepalkan sebelah tangannya yang tidak terluka. "Aku ingin pergi sekarang."

Wajah Earl berubah datar. "Tidak!" tegasnya. "Kita tidak akan pindah. Kita semua akan tinggal di sini mulai sekarang. Jangan membantah, dan lakukan perintah Ayah."

"Cih!" Sean berdiri dengan kasar hingga kursi yang sedang ia duduki mundur dan terbalik. Ia menghentakkan kakinya keluar dari sana dan membanting pintu menutup. Sudut dahinya memunculkan urat.

The Cursed Negative (Hiatus?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang