Wanita itu berbalik, kemudian menatapku dengan tatapan berterima kasih.
"Anu, saya mencari dompet saya. Berwarna cokelat tua, kayaknya jatuh di sekitar sini."
Aku mengerutkan kening, bagaimana aku bisa tahu warna cokelat tua itu seperti apa? Tapi, aku tersenyum tipis dan mengangguk. Kuedarkan pandanganku pada jalanan di sekitar tempatnya berjongkok; kupindai daerah-daerah yang rawan seperti selokan. Sebuah benda berbentuk kotak-sedikit-oval kulihat tergeletak di sana, jadi kugerakkan kaki mendekat.
Kuambil dompet itu lalu kembali ke tempat wanita tadi.
"Permisi, apakah dompet yang ini?"
Dia berbalik, dan dengan wajah sumringah mengambil dompet itu.
"Benar, yang ini! Dapet di mana, Mbak?" katanya dengan pandangan lurus ke mataku.
Aku menunjuk ke daerah tempatku menemukannya dan berkata, "Di sana, Bu. Di dekat selokan, sepertinya jatuh sewaktu Ibu melintas di sana. Kalau begitu saya permisi ya, Bu, mau ke Malioboro. Hari sudah mau malam, takut ibu kos marah kalau pulangnya kemalaman."
Saat aku hendak berjalan meninggalkannya, wanita itu meraih tanganku. Aku menoleh, menatap wajahnya yang sepertinya tidak puas. "Kok buru-buru sih, Mbak? Saya belum kasih apa-apa, loh, buat tanda terima kasih saya. Mbaknya mau Malioboro, kan? Kebetulan kita searah, saya juga mau ke sana. Jalan bareng mau?"
Aku tersenyum dan mengangguk pelan, kemudian dia menyejajarkan langkahnya denganku. Mall itu berdiri megah di pertigaan jalan, yang penuh dengan lalu lalang orang. Aku dan wanita tadi kemudian menaiki tangga, memasuki daerah atrium yang penuh dengan stand berjualan; kemeja batik, daster, kaus, dan banyak lagi.
Saat aku masih terperangah mengagumi pakaian-pakaian di sana, nada dering telepon terdengar. Aku dengan refleks mengambil ponselku, melihat layarnya yang ternyata masih hitam; tak ada telepon masuk. Kutolehkan kepala ke arah wanita tadi, dia mengeluarkan ponselnya yang ternyata adalah sumber dari nada dering tadi.
Ditekannya tombol hijau di layar, kemudian mendekatkannya ke telinga. Dia berbincang-bincang sesaat, kemudian menutup telepon. "Sudah, Mbak. Oh iya, saya mau ke KFC mau ikut? Saya traktir, deh, tanda terima kasih karena sudah menemukan dompet saya. Mau ya?" katanya dengan senyum lebar.
Melihat senyum lebarnya, akan sangat menyakitkan jika aku menolak. Jadi aku menganggukkan kepala. Ditariknya tanganku ke tangga berjalan di dekat atrium, yang mengarah ke lantai dua. Kemudian kami berjalan terus hingga menemukan KFC di sisi kiri, merek mewah yang bagai surga bagi orang-orang sepertiku.
"Sudah pernah makan di sini?" kata wanita itu sembari menoleh ke arahku.
Aku menggelengkan kepala cepat. Jangankan KFC, ayam goreng di pinggir jalan saja aku harus berpikir seribu kali sebelum membelinya. Wanita itu tersenyum, kemudian menyuruhku duduk saja di salah satu kursi. Aku mengangguk perlahan dan mencari tempat duduk yang masih kosong, kemudian mendudukkan diri di sana.
Dengan kikuk, aku memandang ke seluruh sudut restoran. Warna hitam, putih, dan abu-abu memenuhi indra penglihatanku, dengan bau masakan yang harum tercium, dan celotehan samar dari orang-orang. Aku tersenyum kemudian mengambil ponsel, membuka kamera dan menyadari ada seorang pria yang duduk di meja yang sama denganku.
Dia menatapku tajam, berdecih, kemudian berkata, "Cewek kampungan, norak lagi. Disgusting."
Aku menatap ke sekeliling, kemudian menunjuk diriku sendiri dan berkata, "Aku?"
"Ya siapa lagi di sini yang foto-foto norak selain lo? Ternyata juga bodoh, paket lengkap," cibir pria itu.
"Dareen, kamu gaboleh ngomong gitu!"
Wanita yang tadi kutolong sudah berdiri di sisi samping meja, membawa nampan penuh makanan.
"Ma, kenapa setiap kita ke mall atau restoran, mamah selalu bawa orang aneh, sih? Jijik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom Adiwarna
RomanceKaila Ambrosia, seorang wanita yang berasal dari keluarga kelas menengah dengan sebuah rahasia besar; penyakit buta warna totalnya, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi bergengsi. Awalnya, tidak ada yang berubah. Semuan...