Monokrom 1

20 3 1
                                    

Apa arti dunia bagi kalian? Jika ada yang bertanya seperti itu padaku, dengan mantap akan kujawab bahwa dunia hanyalah kanvas. Dengan berbagai warna yang melekat padanya, dan dapat kita nikmati sebagai penghuninya. Tetapi, sedikit perbedaan di sini adalah aku tidak mengenal banyak warna.

Aku menatap lurus ke arah kerumunan burung yang terbang rendah di balik pepohonan. Warna bulu-bulunya yang katanya indah tampak sama saja bagiku; kusam dan biasa saja dilihat. Kata orang-orang aku aneh, padahal mereka saja yang berusaha menjadi normal. Mengabaikan dan mengucilkan mereka yang dianggapnya berbeda demi validasi.

"Nduk, barang-barangnya udah disiapin semua?" seru seseorang.

Aku menoleh, interior yang tidak asing tertangkap oleh mataku. Karpet berwarna kelabu di tengah ruangan, kemudian sofa kecil berwarna abu-abu terang di atas karpet, dan ranjang dengan seprai yang memiliki warna abu-abu tua. Lemari kayu tua berwarna putih menghiasi sisi kiri dinding, dengan lemari buku di sebelahnya; kamar yang sudah kutempati selama delapan belas tahun.

Kuarahkan kakiku meninggalkan balkon, memasuki kamar. Kutarik pintu kaca yang membatasi balkon dengan kamar, kemudian tas besar warna abu-abu kutenteng. Kubuka pintu kamar, dan mendapati ibu sudah berdiri di hadapanku. Dia tersenyum, menampilkan kerutan-kerutan di pipi kemudian mengelus rambutku. Ah, makin berat rasanya harus meninggalkan ibu jika sudah begini.

"Nggak usah teriak-teriak, lah, Bu. Nanti kalau Bu Susi denger gimana? Malu, dia kan sudah banyak banget bantuin kita. Bolehin tinggal di rumahnya, bayarin Kaila sekolah sampai SMA, udah gitu masih beliin Kaila banyak banget lagi," kataku setengah berbisik.

"Iya, Nduk, Bu Susi emang baik banget ke kita. Barang-barangnya udah disiapin semua, kan, Nduk? Jangan ada yang ketinggalan, loh, nanti gak ada yang nganter kalau barangnya ketinggalan. Jangan ngerepotin Bu Susi lagi," balas ibu sembari merengkuh tubuhku ke dekapannya. Kubiarkan kakiku melemas sesaat dan tubuhku terhuyung ke depan.

Ibu memelukku erat, kudengar isakan tertahan. Sepertinya dia menangis. Aku sedikit mendongak, mengerjap-erjapkan mata dengan pelupuk yang menghangat. Kurasakan air menetes dari mataku, kemudian tanganku seperti kehilangan tenaga; tas yang kutenteng jatuh berdebum. Aku merangkul punggung ibu dan membiarkan isakan tangis keluar, kemudian memejamkan mata sesaat dan melepaskan pelukan ibu.

Kutatap matanya lembut, kemudian kuusap peluh di pipinya.

"Ibu, jangan gitu, nanti Kaila makin susah mau pergi. Kaila pamit ya, Bu, nanti kalau kelamaan bisa-bisa Kaila ketinggalan kereta. Ibu baik-baik ya di sini sama Bu Susi, Kaila akan sering-sering kasih kabar ke Ibu," ujarku dengan nada sedih yang terkandung dalam tiap kalimat.

Ibu mengangguk pelan, mengusap air matanya lalu mengambil tas jinjing yang sudah kuisi dengan pakaian. Dia memaksakan diri untuk tersenyum kemudian membawakan tas itu hingga ke depan rumah. Kupesan taksi online menuju ke stasiun, yang datang beberapa menit kemudian. Kupeluk ibu erat-erat untuk terakhir kalinya sebelum memasukkan tas jinjingku ke bagasi mobil.

Air mata kembali menetes saat aku sudah duduk di dalam mobil. Kupejamkan mata kuat-kuat saat mobil mulai berjalan. Kemudian aku memilih untuk mengambil earphone dan menyetel beberapa lagu yang sekiranya bisa menghibur lara hati. Hingga tak terasa stasiun sudah berjarak beberapa meter lagi, kubayar ongkos taksi online dan aku menuju ke loket pemesanan tiket. Antrean sedikit mengular, tetapi bergerak cepat dan berkurang.

"Selamat pagi, Kak, ke Kota Yogyakarta." 

" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Monokrom AdiwarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang