"Maaf, Dareen, tapi saya masih bisa, kok, membeli sesuatu di kafe."
Dia menarik sudut bibirnya, kemudian membuka pintu mobil. Tubuhnya segera menghilang di balik benda beroda empat itu. Aku menarik napas panjang kemudian membuka pintu belakang mobil itu, tetapi kaca di bagian depan mobil diketuk kemudian terbuka. Kepala Dareen keluar dari dalam mobil.
"Hei, gue bukan sopir pribadi lo, oke? Duduk depan." Dia berkata dengan nada intimidasi.
"Tapi ...," kataku menggantung.
"Depan, nggak ada penolakan."
Aku mengembuskan napas jengkel kemudian menutup pintu belakang yang sudah setengah terbuka lalu berjalan dengan rasa jengkel ke arah pintu depan mobil. Kubuka perlahan, kemudian aku segera memasang sabuk pengaman dan menaruh kedua buku tebalku di atas dashboard mobil.
Suara deru mesin terdengar saat kunci mobil diputar, kemudian mobil perlahan melaju keluar dari area parkir. Jalanan tampak ramai, ada banyak mobil dan motor yang berlalu lalang memutari bundaran UGM. Mobil yang kami tumpangi mengikuti arus—berputar di sekeliling bundaran—kemudian segera mengambil lajur kiri.
Kulirik ke arah Dareen, pria itu terfokus menatap ke arah jalanan. Jujur saja, jika sikapnya tidak seburuk itu, pria itu adalah salah satu dari yang orang-orang sebut 'Cassanova'. Dia tampan dan kaya, hanya saja sikapnya sangatlah buruk. Aku tidak yakin ada gadis yang bisa benar-benar tulus mencintainya.
"Ngapain lo liatin gue kayak gitu? Naksir lo sama gue?" katanya dengan pandangan yang masih terfokus ke jalanan.
"Nggak, kok. Aku nggak lihatin kamu."
"Really? Terus apa yang tadi gue lihat? Lirikan mata lo jelas-jelas ke gue, gausah malu-malu ngomong kalo lo suka sama gue. Ada puluhan gadis di luar sana yang udah ngomong gitu sama gue, and I reject them," katanya dengan nada sinis.
"Sudah berapa kali saya bilang, Tuan Dareen, saya tidak ada perasaan suka sama sekali dengan orang yang tidak bisa menghormati wanita. Maaf saja, tapi jika Anda terus berbicara seperti itu, seakan-akan Anda berharap saya menyukai Anda. Apakah benar begitu?" kataku dengan helaan napas.
"Bercandaan lo ga seru, oke. Mendingan lo diem aja," balasnya.
Aku mengembuskan napas panjang tanda frustrasi, kemudian mobil berhenti di depan sebuah kafe yang sangat kuimpikan. Aku sedikit terkejut melihat kafe yang didatangi oleh Dareen, kutatap pria itu dengan alis yang saling bertaut.
"Kita pergi ke Starbucks?"
"Iya, kenapa emang? Duit lo gak cukup? Oh, really? Don't worry, gue udah bilang kan kalo gue bakal traktir lo," kata pria itu kemudian membuka pintu mobil, "buruan keluar, mau ngapain lo nangkring sendirian di mobil."
Aku hanya bisa mengembuskan napas, lagi, kemudian segera keluar dari mobil. Kututup pintu mobil, kemudian kugerakkan kakiku mengikuti langkah Dareen. Pria itu mendorong pintu kaca kafe terkenal itu, kemudian segera menuju ke tempat pemesanan. Kuikuti langkahnya, tetapi pria itu menghentikan langkahku kemudian berbalik.
"Lo, buruan cari tempat duduk."
"Ya ...? Cari tempat duduk, saya nggak nemenin kamu nggak papa?" kataku.
"It's okay, sana cari tempat duduk, cepetan."
Aku mengangguk, kemudian menaruh tasku di atas sebuah meja yang berbatasan langsung dengan dinding kaca. Kuambil ponselku dari dalam tas, kemudian aku membuka aplikasi berbalas pesan dan memotret pemandangan di depanku. Sebuah keajaiban aku dapat menginjakkan kaki di kafe bergengsi ini, biasanya aku hanya bisa menelan ludah saat mendengar temanku membicarakannya.
"Kaila, temen gue ntar mau gabung sama kita. Lo jangan bilang sesuatu yang bikin mereka ilfeel oke." Sebuah tangan menyodorkan segelas minuman dalam kemasan plastik, kemudian dia berbicara.
"Siapa?"
"Mereka."
Aku menoleh mengikuti arah yang ditunjuk oleh Dareen, segerombolan orang—dua wanita dan seorang pria—memasuki daerah kafe. Wajah mereka menjadi cerah saat melihat Dareen, dan ketiganya berjalan cepat mendekati kami. Satu-satunya wanita di gerombolan itu kemudian menatapku tajam.
"Dareen, siapa cewek ini?"
"Ah, saya Ka—"
"Pacar gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monokrom Adiwarna
RomanceKaila Ambrosia, seorang wanita yang berasal dari keluarga kelas menengah dengan sebuah rahasia besar; penyakit buta warna totalnya, mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi bergengsi. Awalnya, tidak ada yang berubah. Semuan...