Sesuatu yang Terlupakan
Terlalu gelap. Aku tak bisa menangkap bayangan apapun, siapapun. Apakah ada orang lain di sekitarku? Entahlah. Tidak bisa kudeteksi juga. Hanya suara derap kaki dan deru napasku sendiri. Rasanya sudah lelah sekali aku berlari, tanpa arah pasti. Terseok-seok, sudah sangat tentu terjadi berkali-kali. Aku ingin bangun. Ya, aku tahu, ini mimpi. Namun, tidak seperti mimpi-mimpiku sebelumnya, aku sudah sebut tadi, ini terlalu gelap. Selain itu, keheningan di sekitar tubuhku mulai membuat cemas.
Tangan kuarahkan ke wajah. Pipi kanan dan pipi kiri bergantian kutampar. Dadaku sudah berdebum-debum tak keruan.
“Bangun Thirza! Bangun! Banguuun!”
Napasku termengah-mengah. Terduduk, bisa kurasakan sendiri punggung basah, dan bulir-bulir keringat berkerumun di kening, lalu perlahan meleleh turun ke pelipis dan leher. Aku mendongak, menatap langit-langit kamar. Sebanyak mungkin udara kuhirup, melesakkannya ke dalam paru-paru. Satu-satunya hal yang membuatku yakin aku sudah terbangun adalah nyala lampu kamar yang terang.
Biasanya, jauh sebelum hari-hari seperti ini datang, aku tidur dengan lampu kamar dimatikan, cukup dengan menyalakan lampu tidur yang redup. Namun, sejak hari itu, aku tidak berani lagi membiarkan kamar gelap. Ini sudah kali kedua, aku bermimpi hanya berlarian dalam kegelapan. Entah apa yang salah.
Kalau bisa, aku ingin berteriak saja. Sekeras mungkin. Agar dadaku lebih cepat pulih dari sensasi kekurangan oksigen. Dan aku cukup menyadari jika sekarang tengah malam, atau kalaupun sudah lewat, masih sekitar pukul 3 pagi. Aku memutuskan tidak akan tidur lagi. Kipas angin di ujung ranjang, kuubah ke moda cool, sensasinya mirip air conditioner. Sembari mengeringkan bagian-bagian tubuh yang basah oleh keringat, kuatur lagi napas. Kalau ada istilah mandi keringat, itu ada benarnya juga. Aku sampai-sampai harus mengganti pakaian. Usai mengikat rambut dan merasa sudah tenang, segera kubuka laptop. Satu flash disk, kukeluarkan dari kantung kain serut yang jadi tempat khusus. Benda kecil itu satu-satunya isinya. Aku memasangkannya ke laptop. Membuka lagi file-file yang sama. Oh, tepatnya folder yang sama dan melanjutkan file yang berbeda. Aku masih bertanya-tanya, mengapa Viona memintaku menyimpannya dan secara tidak langsung menyuruh mempelajari isinya. Ini sudah mirip tugas dari dosen yang beruntun saja. Padahal, tugas-tugas perkuliahan pun tidak sampai serumit ini.
File-file itu jumlahnya kisaran dua puluhan. Ya, jika aku tidak salah hitung. Dalam bentuk yang bermacam-macam mulai dari word file hingga video-video berdurasi pendek pun cukup panjang.
Dan aku baru terpikirkan untuk menyalin semua file tersebut ke laptop. Dikumpulkan dalam satu folder yang kuberi nama "VxFile". Ya, begitu saja nama itu terpikirkan kepala. Mungkin kalau kuceritakan pada Ami, dia akan menertawaiku.Thirza mau sok-sok-an jadi detektif?Aku tersenyum dan mendengkus pelan. Setelahnya menghela panjang dan mengembuskan dengan singkat. Mulai muncul sedikit frustasi. Kalau saja nanti hal itu bisa kulakukan. Namun, untuk yang satu ini sepertinya pengecualian. Aku tidak bisa menceritakan SEMUA hal pada Ami lagi. Meskipun saat penyelamatan Viona sekian bulan lalu, dia dan saudara sepupunya yang juga membawa teman, terlibat.
Ya, itulah kali pertamaku mengalami kejadian yang tak pernah kuduga akan datang dalam episode hidupku. Kalau gadis lain mungkin akan memimpikan cowok kampus idaman atau incaran atau gebetan, ah, pokoknya itulah. Sedangkan aku? Aku malah bertemu dengan Viona dalam mimpi. Melayang-layang bersamanya di dunia yang lain itu. Dan tiba-tiba saja, dia menjadi nyata. Tunggu, bukan begitu kejadiannya. Terlupa satu hal, wajahnya muncul begitu aku terlelap sebab kelelahan dengan tugas-tugas hari-hari pertama kuliah. Semua dosen di kampus seolah kompak untuk sama-sama bersemangat memberikan mahasiswa mereka dengan tugas yang bak hujan meteor itu. Lalu, tanpa basa-basi, Viona memintaku menolongnya. Setelah mengatakan sesuatu tentang mengapa kami berjumpa dengan cara begitu, dia menuntunku, menarik tubuhku menyusuri sebuah tempat untuk menemukan dirinya. Ah, bagaimana harus kujelaskan ini? Bahkan terhadap diri sendiri saja, aku belum menemukan cara yang tepat agar bisa memahami. Satu yang pasti dan itu sungguh-sungguh nyata, adalah … tubuh Viona ditemukan di tempat yang dia tunjukkan padaku di dalam mimpi. Saat itulah aku merasakan sesak yang teramat. Bahkan kubiarkan air mata meluncur, melepaskan pengalaman emosional.
Kalau saja, setelah itu aku seperti teman-teman lain, mungkin kisahku akan kembali biasa-biasa saja. Pulang ke rumah, menenangkan diri, melihat-lihat kalau ada berita yang muncul di media elektronik atau mungkin media sosial, lalu makan, tidur, bangun dan bertemu hari esok dengan rutinitas yang sama.
Kenyataannya, Viona yang tidak sadarkan diri itu mengunciku. Atau… apa mungkin harus kusebut ibunyalah yang membuatku berlanjut terikat dengan putrinya?
Sudah sekitar 3 bulan berlalu semenjak hari itu. Viona masih belum sadarkan diri. Sementara aku pun belum memahami apa-apa. Termasuk perihal yang disebut-sebut Viona. Bahwa bukan tanpa alasan akulah yang bisa ditemuinya. Bahwa bukan hal sembarang, dunia mimpiku dapat menarik sosoknya untuk muncul. Kebetulan yang bukan kebetulan.
Kutangkupkan kedua telapak tangan menutupi wajah. Tidak bisa lagi begini. Aku harus menemui Viona. Menjenguknya di rumah sakit. Benar, aku butuh mengobrol dengannya secara nyata. Menyampaikan apa yang kurasakan, kupikirkan dan kualami padanya. Meskipun dia dalam kondisi tak memungkinkan. Namun, sebagaimana yang pernah dia sampaikan padaku dalam mimpi, bukankah telinga adalah indera yang akan tetap berfungsi baik meskipun kita dalam keadaan tidur? Termasuk kondisi tidak sadarkan diri? Bukankah itu pun serupa juga dengan tidur?
Aku—yang tadinya merasa yakin bisa memecahkan teka-teki, akan bilang padanya, kalau aku belum menemukan apapun dari foto-foto pun video-video yang berserakan dan secara random kulihat dan kutonton. Bagaimana jika kukatakan lagi saja padanya, kalau dia bisa jadi SANGAT salah menilaiku? Gelombang otak atau apapun yang dia sebut sekian bulan lalu itu mungkin hanya seperti meteor jatuh dan nyasar jatuhnya di Gunung Ciremai? Alih-alih di benua Amerika yang biasanya sudah jadi tempat langganan kejatuhan meteor.
Ya, begitu saja. Setelahnya aku akan menjalani hari-hari di mana hanya tugas kuliah saja yang akan memenuhi kepalaku, hingga terbawa mimpi. Nanti, seperti gadis lainnya, aku hanya akan memimpikan cowok-cowok kampus yang konon mirip aktor Korea lah, atau aktor Boolywood. Mana saja boleh.
Bibirku tersenyum lebar. Cepat-cepat kurapikan file salinan tadi. Melepas kemudian menyimpan flash disk kembali ke kantung kain. Hingga kemudian, mataku tertumbuk pada satu benda yang nyaris kulupakan. Ujung benda itu menyembul dari tumpukan buku-buku lain di atas lemari. Bagian ujungnya yang bergambar bintang timbul seolah melambai-lambai. Tidak ada satupun buku milikku dengan tanda itu. Buku agenda itu milik Viona. Diberikan padaku oleh ibunya berbarengan dengan flash disk yang tadi kubuka-buka file-nya, dan kulihat beberapa di antaranya dengan biasa saja. Seperti melihat foto-foto masa kecil seorang anak yang polos dan dipenuhi hal-hal menyenangkan. Aku masih belum tahu, jika ada banyak hal tersimpan di sana.
#Part1
#HelpMeOut#KiranaWinata

KAMU SEDANG MEMBACA
Help Me Out
Mystery / ThrillerThirza Thania, seorang mahasiswi biasa, tiba-tiba didatangi satu sosok dalam mimpi, bernama Viona yang meminta bantuannya untuk membebaskan jiwanya dan keluar dari tempat penyekapan dan menemukan para pelaku kejahatan. Namun, dia tidak pernah mengir...