Part 5

1 0 0
                                    


Hal selanjutnya—setelah kabar tentang Viona dipindahkan—yang membuatku mengernyit adalah fakta pengirim pesan sungguh-sungguh mengenaliku. Dia bahkan menyebut namaku dengan tepat.
Siapa sebetulnya orang ini?

Aku sedang mengetikkan balasan sembari kepalaku terus sibuk berpikir, saat Mami mengetuk pintu kamar dan memanggilku. Gawai dalam genggaman lekas kutaruh di atas meja belajar. Di balik pintu, tampak wajah Mami yang memamerkan garis senyum panjangnya. Sepertinya ibuku ini sedang super duper feeling happy.

“Makan bareng, yuk. Mami bikin siomay, tuh.” Mami menunjuk ke arah meja dengan ibu jarinya. Untuk sementara si pemberi pesan misterius terlupakan. Siomay? Ya, ampun, makanan favorit! Tidak mungkin aku menolaknya. Lekas kututup pintu kamar di belakang punggung.

Kami menuju meja makan di sudut ruangan. Aku hanya tinggal berdua dengan Mami. Jadi meja makan kami memang sangat minimalis. Tidak ada ruang makan khusus. Meja tempat kami menyantap makanan mepet ke salah satu dinding. Lalu di setiap ujung-ujungnya ada sebuah kursi. Iya, begitu saja.

Di meja sudah tertata beberapa wadah berisi kentang, kol, siomay dan beberapa butir telur. Semuanya rebus. Di satu mangkuk, saus kacang tersaji. Aroma saus kacang berpadu dengan aroma ikan, seketika membuat salivaku terpancing. Kukira tadi aku tidak terlalu merasa lapar. Dan semuanya berubah sekarang.

“Makan malam pake siomay?” Aku menoleh ke arah Mami. Wanita itu membalasnya dengan meringis. “Mami bikin ini barusan banget?”

Mood-ku segera saja menjadi bagus. Aku memindahkan tiga butir baby potato yang sudah dikupas dan siomay yang masih terlihat mengeluarkan uap, dan gulungan kol. Memotongnya jadi dua hingga tiga, lalu menyiramnya dengan saus kacang.

“Enggak lah. Dari siang. Bikin adonan siomay ini yang penuh perjuangan. Apalagi, kan, pakai ikan tenggiri asli. Kalau yang lain, sih, tinggal kukus dan rebus, tho? Oh, sama sambel kacangnya juga, yang menguras waktu.”

Mami menjelaskan, sembari tangannya mengambil telur rebus yang beberapa sudah dikupas. Semuanya benar-benar tinggal makan. Aku menambahkan lagi saus kacang, meraih botol kecap dan menuangkan isinya. Mulutku bungkam, sementara tidak bisa berkata-kata, menanggapi cerita Mami hanya dengan mengangguk-angguk. Ternyata aku memang lapar. Mami terlihat berbinar memandangiku yang teramat menikmati hidangan.

Inilah ibuku, yang suka sekali membuat makanan. Jika ada yang ingin dia buat, meskipun belum bisa, Mami akan mencari dan mengumpulkan segala resep dari mana saja. Setelah itu dia akan mempraktikkannya. Yup, dia memang tipe yang gigih. Hmm, untuk urusan makanan terutama.

Kami menuntaskan makan masing-masing. Mami menyimpan telur rebus yang masih utuh cangkangnya dan siomay ke dalam lemari pendingin. Masih banyak, mungkin jika dikira-kira masih ada untuk 3 porsi lagi. mami terlalu banyak bikin siomay. Padahal isi rumah ini hanya berdua. Agaknya dia terlalu bersemangat. Biasanya dia akan ingat Ami dan bundanya. Entah via pesan aplikasi atau langsung menelepon, Mami akan meminta Ami datang, untuk mengambil makanan-makanan yang dibuatnya. Ami tipe yang suka ngemil sepertiku, jadi dia pasti senang-senang saja. Bundanya lah yang kerap merasa tidak enak hati. Sebab, di antara semua tetangga di komplek, Mami malah memberi ke tetangga jauh, yang berbeda blok. Alih-alih tetangga di sebelah kiri dan kanan yang dekat. Alasan Mami adalah, karena tetangga kiri-kanan kami mungkin tidak akan suka. Mereka memang terlihat kerap keluar rumah. Jadi, kesimpulan Mami, mereka mungkin biasa makan di luar. Ketimbang memberi tapi entah dimakan atau tidak, lebih baik berikan ke yang jelas-jelas akan menyantapnya dengan senang hati. Begitulah cara berpikir Mami.

Mengingat percakapan dengan Ami tadi di perpustakaan kampus, mendadak aku berharap, Mami tidak menyuruhku mengantarkan makanan ke rumahnya, nanti ataupun besok. Biar saja Mami yang bertemu Bunda Ami sendiri.

Untungnya, kali ini Mami cukup santai. Tidak ngoyo untuk memberi jika ada makanan yang ternyata kebanyakan kalau harus dihabiskan kami berdua. Usai merapikan semua yang ada di meja makan, aku duduk sebentar di kursi ruang depan yang menyatu dengan meja makan kami tadi. Mami menghampiri sembari menyodorkan air minum.

“Za, kuliahmu bagaimana?”

Aku sedikit mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Mami. Seingatku baru dua hari lalu Mami bertanya, dan sudah kujawab bahwa aku mulai bisa menikmatinya. Jadi, kalau sekarang Mami bertanya lagi… apa boleh jika aku menduga ada sesuatu? Apakah aku harus berhenti kuliah?

Mami tampak menghela napas panjang dan melepasnya dengan hati-hati. Aku harus bersiap kalau dugaanku tadi benar.

“Kamu masih bercita-cita dan berharap kuliah di Bandung?”

Eh? Maksudnya? Aku menegakkan punggung. Tidak mengangguk ataupun menggeleng. Menunggu Mami melanjutkan kata-katanya.

“Kamu bisa mewujudkannya.” Mami memasang garis senyumnya yang panjang itu, lagi.

“Maksud Mami? Mami ada rencana pindah ke sana?” telisikku. Mami menggeleng pelan.

“Nggak, kamu saja. Kamu pindah kuliah. Mami tentunya tetap di sini. Ya, kamu ngekos di sana, nanti kita cari yang dekat.”

Perkuliahan kan sudah mulai beberapa bulan. Apakah tidak repot, mengurus surat-surat pindah kuliah. Ditambah lagi mencari tempat kos, yang sudah barang tentu, di masa-masa sekarang semua bisa ditebak sudah penuh. Full booking, kalau diibaratkan hotel.

Aku masih memandangi Mami. Tepat di matanya. Dia sedang tidak menggodaku, bukan? Aku tahu, Mami senang sekali membuat joke, membuatku tertawa terbahak. Biar rumah ini terdengar riuh, katanya. Masuk akal. Mami tipe yang ceria, tidak suka suasana hening yang terus menerus meraja selama 24 jam non-stop. Jadi, kalau aku sedang sibuk mengerjakan tugas, tidak bisa diajak ngobrol lebih-lebih bercanda, dia akan membuat riuh rumah dengan menyetel televisi keras-keras.

“Gunakan kesempatan ini, Sayang. Kamu jangan khawatirkan biaya. Sebutlah kita sedang beruntung. Kamu utamanya. Semua biaya kuliahmu sudah di-handle. Kamu tinggal menjalani perkuliahan saja. Mengerjakan tugas, berkumpul dengan teman baru. Jangan lupa berprestasi. Okey?”

Kukira sekarang mataku yang sipit ini membesar. Aku terbelalak mendengar kalimat demi kalimat yang Mami lontarkan, dengan tenang.

“Lho? Maksud Mami? Aku sudah didaftarkan? Tinggal masuk saja, begitu?”

Kepala Mami membuat gerakan mengangguk lambat dan dalam. Sekarang aku benar-benar kaget. Tanpa suara mengatakan “Wow!” Hanya mulutku saja yang membulat, sangat lebar.

“Siapa yang mengurus semua ini? Mami? Sejak kapan?” cecarku. Wajar misalnya aku penasaran, bukan?

“Kalau kamu bersedia. Mau melanjutkan mengejar mimpi sesuai minatmu dulu, kita bisa langsung menyicil bersiap-siap untuk kepindahanmu.” Mami tidak menjawab pertanyaanku barusan. Sepertinya sudah dari minggu-minggu lalu dia melakukan ini diam-diam. Aku senang, tapi tetap saja bingung. Namun, kesempatan baik tidak akan datang dua kali. Maka akhirnya, tanpa meminta waktu untuk memikirkan terlebih dahulu, tahu-tahu kepalaku sudah mengangguk mantap.

Tanpa benar-benar kusadari, ini hanyalah sebuah perjalanan menemui takdir lama.

#Part5
#HelpMeOut
#KiranaWinata

Help Me OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang