Part 2

5 0 0
                                    

Menghindar


Aku meraba gambar bintang yang dipangku bulan sabit di bagian ujung buku agenda tersebut. Lantas membaca halaman awal dari buku yang berwarna biru gelap dengan nuansa metalik itu. Masih berupa cerita yang biasa-biasa saja. Setidaknya begitulah yang tertangkap inderaku.

Cerita-cerita Viona saat berangkat sekolah. Bertemu seseorang yang dia sukai diam-diam. Atau acara-acara perkumpulan dengan beberapa teman sekelompoknya. Teman kelompok belajar, kah? Ya, anggaplah demikian. sebab tidak ada penjelasan yang rinci di sana. Aku menutupnya, lalu memasukkan ke dalam tas. Kumasukkan dalam daftar benda yang akan kubawa esok hari.

***

Rumah sakit. Kapan terakhir kali mengunjungi tempat ini? Usai kejadian yang menimpa Viona. Bisa dibilang, aku sangat jarang berurusan dengan rumah sakit. Walau sekadar membesuk. Apa itu artinya aku tidak pernah menengok siapapun yang sakit? Kesimpulan yang salah, tentu saja. Sedari masa SMA, jika ada teman-teman yang sakit dan dirawat di rumah sakit, aku kerap menghindar untuk turut serta menjenguk ke sana. Lebih memilih nanti saat teman tersebut sudah pulang ke rumah. Biarlah hanya sendirian, jadi pembesuk terakhir. Ketimbang malah aku yang jadi tidak keruan saat berada di gedung yang identik dengan aroma obat itu.

Semestinya ada satu perkuliahan lagi hari ini, akan tetapi sudah hampir 30 menit berlalu, dosen yang mengampu tidak muncul juga. Lagi-lagi jam kosong. Aku memanfaatkannya untuk segera melesat ke rumah sakit umum daerah di tengah kota. Selama di perjalanan, aku sibuk mengingat-ingat nomor kamar Viona. Memoriku masih menyimpan bayangan koridor dan ruangan tempat gadis blasteran itu dirawat. Namun, sepertinya aku harus ke bagian informasi. Selain bertanya, perlu memberitahu statusku sebagai pengunjung yang tidak biasa. Ya, aku sudah memikirkan dan bersiap-siap misal aku ditolak. Penjelasanku agaknya bakal terdengar narsis. Aku adalah sosok penting, penyelamat Viona. Seseorang yang menemukan dirinya di salah satu ruang di bawah tribun stadion dekat komplek rumah. Seseorang yang didatanginya melalui mimpi. Kepalaku menggeleng, menertawakan diri sendiri dalam hati. Skip semua penjelasan tadi. Cukup bilang temannya saja. Teman yang tidak mengunjunginya selama 3 bulan. Wah, teman macam apa itu?

Aku hanya mematuhi kata-kata ibunya. Sesaat setelah Viona ditemukan, pihak rumah sakit menghubungi keluarga Viona dari pelacakan nomor panggilan terakhir kali, di ponselnya. Aku memang sempat menemaninya, tapi tidak lama. Lebih tepatnya, tidak berani berlama-lama dalam ruangan. Sehingga kemudian memilih keluar, duduk di kursi tunggu. Mengamati orang-orang yang datang dan masuk ruang ICU. Dan mengikuti dengan kikuk saat Viona dipindahkan ke kamar rawat inap. Aku terlalu gugup, tapi merasa harus tetap ada, jika tiba-tiba aku dipanggil dan ditanyai sesuatu. Polosnya Thirza. Namun, perkiraanku tepat, sebab akhirnya memang aku mesti memberikan kesaksian di kantor polisi. Tentu saja, aku hanya bisa menjelaskan, jika pagi itu aku beserta teman-teman sedang keliling di bagian dalam stadion untuk jogging. Lalu, karena berkeringat banyak aku ingin ganti pakaian saat selesai. Alih-alih ke kamar kecil, aku justru masuk ke satu ruangan yang berfungsi sebagai gudang. Kemudian terkejut sebab ada seorang gadis tergeletak tak sadarkan diri. Dalam kondisi duduk bersandar pada dinding, dengan tangan terikat dan … mata terpejam.

Dan sebelum itu, ketika di rumah sakit, seseorang menghampiriku. Dia yang kuduga adalah ibunya Viona. Usai memberikan dua benda yang katanya milik Viona, dia berkata satu hal padaku, yang masuk ke telinga bahkan hingga tertanam ke otak seolah mantra sihir. Sebab aku sungguh-sungguh menuruti semua ucapannya.

“Tidak perlu datang ke sini sering-sering. Atau demi kebaikan Viona, jangan ke sini.”

Katanya dengan lembut waktu itu. Bahkan kedua tangannya menggenggam kedua tanganku. Aku mengartikannya sebagai batasan antara orang luar dan keluarga. Jadi, tentu saja aku akan sangat memahami. Sebab aku memang hanya orang lain. Seseorang yang kebetulan saja, ditakdirkan menemukannya. Namun, meskipun kami baru kali itu pertama bertemu, tetap bisa terlihat dia sosok yang hangat dan ramah.

Jadi, secara formal, keterlibatanku cukup sampai memberi kesaksian. Tidak ada yang tahu, jika ibu Viona juga memberiku pesan tambahan. Sesuatu yang sangat cocok berhubungan dengan Viona. Bila aku tidak mengalami mimpi itu, dan tahu dari bercakap-cakap di saat yang sama itu pula, aku pasti akan mengira kalau ibu Viona mengada-ada. Ya, jadi yang memintaku mempelajari segala file itu adalah ibunya Viona. Dia rupanya sudah sangat curiga saat melihatku. Itulah yang membuatnya tergesa-gesa segera menghampiriku. Sebelum keberadaanku di sana mesti selesai.

“Saya yang akan menghubungi,“ lanjutnya.

Tidak perlu heran dari mana dia bisa tahu nomorku. Kukira dengan bertanya pada pihak kepolisian pun, data-dataku sangat bisa diakses dengan mudah.

Pertanyaan yang kini muncul di kepalaku, mengapa setelah dirawat, Viona tidak muncul dalam mimpiku lagi? Ah, memang pertanyaan yang ganjil. Tetapi mengingat yang kami alami sebelumnya, seharusnya Viona masih bisa menemuiku dalam mimpi. Meskipun halangannya adalah isi kepalaku yang sesak dengan tugas-tugas. Sebab, dugaan itu pun bisa dipatahkan. Bukankah, aku tengah dalam keadaan lelah yang sebenar-benarnya, ketika dia bisa menerobos masuk ke dalam mimpi. Bahkan tahu-tahu wajahnya ada di depan wajahku, membuat kaget. Atau apakah ada hubungannya dengan mimpiku belakangan ini?

Perjalanan dengan isi kepala yang riuh. Untung saja, tidak kebablasan. Aku segera turun dari angkutan kota yang berhenti tepat di depan gerbang utama rumah sakit. Gedung rumah sakit ini masih khas dan begitu kentara terlihat sebagai bangunan peninggalan masa penjajahan Belanda. Dinding-dindingnya yang kokoh dan tinggi masih bertahan. Bahkan sebuah pintu besi di salah satu sisi, dibiarkan tetap di posisinya. Mengingatkanku pada bangunan rumah tahanan yang kerap muncul di film-film. Dengan satu pintu keluar yang berukuran kecil. Pas setinggi dan selebar satu orang dewasa.

Aku mesti bertanya beberapa kali pada orang-orang di sekitar sana. Kebingungan di mana pintu masuk menuju ruangan rawat inap. Ah, coba Ami kuajak. Namun, lagi-lagi aku lebih memilih menuruti kata hati, untuk tidak lagi melibatkannya. Satu kali pun sesudah hari itu. Bukan hanya karena aku tidak mau membuatnya ikut-ikutan pusing, akan tetapi aku merasa akan ada banyak sesuatu yang muncul di hadapan nanti. Aku tidak bisa membahayakan dirinya. Melihat Viona yang diangkat dan dibawa masuk ambulance saja, sudah cukup membuatku lemas. Kurasa, aku tidak akan mampu melihat yang lebih dari hal itu.

Jadi, jika rencanaku hari ini berhasil, membuatku terlepas dari semua hal, aku akan merasa lega. Barulah nanti aku bisa menceritakannya pada Ami. Kenapa aku kepikiran hal itu? Kukira Ami mencurigaiku. Agaknya dia mengendus jika aku belakangan hari banyak menghindar. Agaknya tingkahku yang mengurangi intensitas pertemuan dengan beberapa teman, lebih-lebih dengannya yang adalah sobat dekatku, terdeteksi dengan jelas oleh Ami.

Bersambung

#Part2
#HelpMeOut
#KiranaWinata

Help Me OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang