Part 3

4 0 0
                                    

Seseorang yang Mengawasi


Lengang. Koridor rumah sakit begitu hening di jam-jam yang kukira akan ramai. Kepalaku menoleh lagi ke belakang. Lantas mendongak, membaca papan-papan nama. Pak Satpam yang kutemui di pintu luar tadi mengarahkan ke sini. Aku mesti melapor dulu ke bagian informasi, katanya. Jadi, aku tidak semestinya merasa khawatir tersesat di rumah sakit. Tersesat? Di rumah sakit? Ya, terlalu banyak ruang, lorong dan sudut-sudut yang sama. Bagiku yang tidak pandai mengenali arah, berada sendirian di tempat seperti ini benar-benar membuat gelisah. Sementara aku bisa bernapas lega, ketika sebuah meja tinggi dengan kaca tebal penghalang tertangkap mata. Reflek saja, aku merapatkan masker yang kukenakan dan menggeser kaca mata yang melorot, naik ke pangkal hidung. Menuliskan satu nama di buku yang disodorkan padaku usai sedikit “wawancara”.

Ya, ampun begini saja aku sudah merasa tegang. Mungkin karena tadi aku menuliskan nama entah siapa, Zara. Seperti biasa terpikirkan begitu saja. Sekilas aku teringat teman-teman biasa memanggilku dengan “Za”. Mereka bilang menyebut Thirza rasanya repot di lidah. Akan tetapi, salah satu dari mereka kerap menyebutku dengan Zara Zettira. Mungkin itu nama aktris zaman dulu. Atau siapa? Yah, kapan-kapan aku akan tanya Mami, kalau kami ada waktu untuk berbincang santai berdua.

Kutengok jam di pergelangan tangan. Sebelum kemari, tadi di dalam angkutan umum aku memeriksa lagi jadwal kunjungan. Pukul 11.00 hingga 12.00. sekarang sudah 20 menit berlalu dari pukul sebelas. Semoga saja masih sempat. Kaki kulangkahkan lagi mencari tujuan yang sesungguhnya. Ah, di mana sih ruang VIP itu?

Belok kiri dan sekarang aku menemukan pemandangan tata ruang yang cocok dengan ingatan di dalam kepala. Tanganku menekan dada yang berdebar-debar, sejenak menghentikan langkah. Jujur saja, aku berharap tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Agar aku bisa leluasa, itu saja tujuanku. Namun, setelah dipikir ulang aku malah didera rasa cemas lagi. Kalau tidak ada siapapun, justru menakutkan jika aku melakukan kesalahan.
Pintu kamar VIP itu ternyata terbuka beberapa senti. Dan tadinya aku sempat menduga jika di luar akan ada dua orang lelaki berpakaian rapi menggunakan jas yang menjaga pintu. Atau barangkali mereka berseragam polisi. Nyatanya itu cuma imajinasiku, lagi-lagi hasil menonton film. Aku mendekat dan berusaha memasang telinga baik-baik. Siapa tahu ada suara orang mengobrol. Namun, senyap, bahkan suara gesekan alas kaki dengan lantai pun tidak terdengar.

“Permisi”

Suara lirih dari tenggorokanku keluar dengan malu-malu. Apakah aku boleh masuk? Bagian kalimat ini hanya kukatakan dalam hati. Yang dijawab oleh bagian lain diriku, sudah bisa sampai ambang pintu berarti memang diizinkan semesta. Aku menarik napas  dalam-dalam dengan pelan.
Ternyata memang tidak ada orang. Rasa jeri mendadak menyergap. Meskipun aku tadi mengharapkan hal ini, tapi rasanya ini tidak benar. Meninggalkan pasien penting tanpa penjagaan dan seseorang yang menemani di dalam. Oh, aku mungkin sudah salah kira. Siapa tahu orang yang menemani Viona ada keperluan yang membuatnya harus keluar kamar. Anggap saja begitu.

Segera saja aku duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Melepas tas punggung dan memangkunya. Kemudian meraih tangan Viona—ada jarum yang menyambung selang infus—dengan sangat hati-hati. Aku ingin dia bisa merasakan kehadiranku lewat sentuhan.

Gadis yang kuyakini lebih muda sekian tahun dariku ini tidak banyak berubah. Masih berambut sewarna rambut jagung. Masih berkulit seputih pualam.
Aku tahu, dengan datang bahkan berada sangat dekat di samping Viona seperti ini adalah pelanggaran. Jika kepergok, entah apa yang akan terjadi, nanti saja kupikirkan. Sebab yang jelas, aku harus menyampaikan uneg-unegku. Ibu Viona yang katanya akan menghubungiku, pada kenyataannya tidak pernah sekali pun, entah apakah itu menelepon atau mengirim pesan. Atau kalau terlalu berisiko dia bisa menghubungiku lewat suruhannya atau siapapun. Akan tetapi, selama 3 bulan ini, aku tidak pernah ditemui siapapun. Sedangkan untuk menghubunginya, aku tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada nomor yang diberikan padaku. Jadi, terpaksa kulakukan ini.

“Vio,”

Suaraku tercekat. Satu-satunya pengalaman kami berbicara adalah lewat mimpi sekian bulan lalu itu. Ini benar-benar menjadi kali pertama aku berbicara langsung, melihat wujudnya di hadapan dan menyentuh tangannya. Dia ada di dunia ini. Dia nyata.

Bagaimana aku harus berbicara? Apa aku perlu mengenalkan diri? Lagi-lagi pertanyaan bodoh si kepala.

“Ini Thirza,” kataku akhirnya setelah jeda puluhan detik. “Maaf, aku datang. Aku tidak tahu harus bagaimana,” lanjutku. Masih dengan suara yang begitu pelan. Nyaris seperti bisikan. Seolah hanya ingin gadis ini saja yang mendengar suaraku.

“Viona, dari mana aku harus bercerita? Kalau aku mengeluarkan banyak kata, apa akan berdampak buruk padamu?”

Teringat lagi kondisi Viona saat ditemukan. Aku sempat mendengar jika tubuhnya sudah banyak terkena cairan yang membuat dia tak sadarkan diri. Penyekapan itu masih belum juga diketahui apa motifnya. Mengapa mengincar Viona dan lain sebagainya. Sebab, konon, keluarganya tidak pernah mendapat ancaman apapun. Tahu-tahu saja Viona hilang. Baru ditemukan pada hari ketiga, saat aku ditemuinya dalam mimpi itu. Pakaian yang dikenakannya waktu kami temukan masih seragam sekolah. Sangat bisa jadi, mereka membawa Viona ketika dia berangkat sekolah, masih pagi.
Yang mengherankan adalah mengapa keluarganya tidak menghubungi pihak berwenang? Atau sesungguhnya sudah? Mereka terlalu bersikap tenang dan biasa-biasa saja. Begitulah yang aku tangkap soal keluarganya.

Aku meneruskan berbincang dengan Viona yang dalam keadaan "tertidur". Menceritakan soal mimpiku yang berlarian dalam kegelapan. Juga memberitahunya tentang pesan ibunya. Bahwa aku sesungguhnya dilarang menemuinya. Saking bingungnya, bahkan aku kemudian membahas sesuatu yang dia katakan dalam pertemuan kami. Tentang mengapa aku yang dia temui. Ya, dengan frustasi aku mengatakannya.

“Bagaimana kalau ternyata kau salah kira Viona?”

Aku mengeluarkan flash disk dan buku agenda. Menanyakan padanya, bagaimana aku harus menggunakan dua benda ini untuk membantunya lebih lanjut? Mengapa Viona tidak membahas polisi? Biarkan mereka yang bekerja dan menyelesaikan segalanya. Sebab aku--sangat mungkin--tidak bisa melakukan apa-apa.

Ponselku bergetar. Dan jelas-jelas sebelum mengambilnya dari dalam tas, aku melihat setitik air di sudut mata Viona.

Ponselku kukeluarkan cepat-cepat. Dan menemukan sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak kukenal. Tak ada nama tertera di sana.

“Keluar cepat dari sana! Kalau tidak mau hal buruk terjadi padamu!”

Tergeragap aku lekas merapikan semuanya. Memasukkan semua benda kembali ke dalam tas dan melesat secepet mungkin dari kamar Viona.

“Viona, please, aku tidak paham. Kau harus menemuiku dalam mimpi. Berjanjilah.”

Hanya itu kata-kata terakhir yang dapat kusampaikan. Sebab setelahnya aku terlalu ketakutan. Tanganku bergetar. Langkah kakiku bahkan terseok saat hendak membuka pintu.

#Part3
#HelpMeOut
#KiranaWina

Help Me OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang