Hari ini, kepala Nadira terasa berat. Ingin sekali rasanya langsung pulang. Bayangan kasur king size melambai-lambai membuat Nadira semakin ingin cepat-cepat sampai rumah. Oh iya, gue kan harus ke lapangan basket nemuin Rafka. Ck, males banget deh, mana ada Revan, keluh Nadira dalam hati.
"Lo gak pulang, Nad?" tanya Ica melihat Nadira yang masih duduk di bangku depan kelasnya.
"Tadi kanjeng mami gue bilang katanya telat jemput, masih ada urusan." Tentu saja Nadira berbohong. Itu kan, yang di minta Rafka, tidak mengajak teman-temannya saat menemuinya.
"Terus lo mau nunggu di sini sendirian?" tanya Ica khawatir.
"Gak papa, masih banyak anak ekskul juga, santai aja kali. Kalian duluan aja gak usah nungguin gue."
"Bareng gue aja gimana? Searah ini," tawar Kayla.
"Thanks Kay, tapi kayaknya gak lama lagi kanjeng mami gue otw deh. Lain kali aja ya gue bareng nya."
"Tau, Nadira udah gede ini, gak bakalan ada yang culik kali!" Timpal Kia, santai.
"Beneran gak papa?" tanya Kayla khawatir.
"Seriusan gue gak papa, Kay. Udah sana, kasian Pak Tatang pasti udah nungguin."
"Yaudah kita duluan ya, Nad. See you tomorrow!" kata Kayla dibalas senyum dan anggukan khas Nadira. Nadira pun bergegas menuju lapangan basket in-door yang kebetulan tidak jauh dari ruang kelasnya. Di sana, Rafka sudah menanti kedatangan-nya.
Ck, nih anak ke mana sih? Jangan-jangan dia lupa, lagi.
"Raf, ayo buruan." ajak Edward.
"Kalian pemanasan duluan deh, gue masih nungguin orang, nih." - "Nah, datang juga lo, akhirnya. Lama banget sih, ke mana aja lo dari tadi?" Rafka sewot.
"Masih mending gue datang! Susah tau nyari alesan buat ke sini. Nanti temen-temen gue pada ikutan lagi. Mau lo?!"
"Hmm. Oh iya, nih, fisika sama kimia. Tolong yaa, Nadira cantik!" puji Rafka, tentu saja karena ada maunya, eh, apa beneran ya?
-//-
Itu bukannya cewek yang tadi? Ngapain dia ke sini. Apa karena ada Rafka?
"Raf, lo masih lama gak?" tanya Revan dengan sedikit teriak, tentu saja punya maksud tertentu. "Ah, iya, dua menit Van. Anyway muka lo kok pucet gitu? Lo gak enak badan?"
"Gue gak papa, cuma agak pusing doang, sih."
"Yaudah pulangnya bareng gue aja ya, lagian lo juga gak bakalan di jemput kan?" tebak Rafka.
"Terus gue harus nungguin lo selesai latihan gitu? Males ah gue, ngantuk, banyak nyamuk."
"Lo sakit aja bawel, udah duduk aja gak usah banyak cing-cong, gue latihan dulu. Jarang-jarang kan lo liat sekumpulan cogan main basket."
"Pede, lo."
"Udah sakit, masih aja gengsi," - "Gue latihan dulu, lo jangan ke mana-mana, ngerti?!"
"Hmm"
Ck, bilang aja masih mau berduaan. Latihan mah latihan aja kali, batin Revan.
"Iri bilang aja kali" Sahut Arya seolah tahu apa yang dipikirkan Revan. Manusia yang satu ini memang begitu. Bisa menebak dengan benar apa yang ada di pikiran orang lain dengan melihat gerak-geriknya saja. Cocok deh, jadi psikolog. Kalian juga harus hati-hati kalau ketemu Arya. Dia ini kayak cenayang!
"Ngapain gue harus iri?"
"Biasalah, jomblo!" Timpal Aldi yang langsung dibalas lirikan tajam oleh Revan.
Revan dan teman-temannya adalah anggota inti tim basket si SMP nya dulu. Selain itu mereka juga ikut club basket di luar sekolah. Punya relasi yang cukup luas dengan senior dan guru tentu menjadi salah satu alasan mengapa junior seperti mereka terpilih menjadi tim inti basket SMA Gradizta.
Lagi pula pekan olahraga akan dilaksanakan pada bulan ini. Mereka yang sudah tidak diragukan lagi kehebatannya tentu dituntut untuk membawa pulang piala bergilir itu. Revan kini pasti sudah jadi incaran tim lawan.
Oh, iya, satu lagi. Bagaimana bisa seorang Rafka yang notabenya adalah anak MIPA dan Revan anak IPS bisa berhubungan dekat?
Dipertemukannya mereka di Sekolah Menengah Atas ini, seolah menjadi pertanda bahwa tim basket mereka memang tak terkalahkan.
Keduanya punya kemampuan berbeda dalam bermain basket. Meski sama-sama punya skill yang menarik, tetap saja Revan jauh lebih mahir dibandingkan dengan Rafka. Dengan kemahiran dan kekompakan team, team basket putra selalu meraih juara pertama di setiap event nya. Tak heran jika bapak/ibu guru segan terhadap Revan. Bisa di bilang dia berandalan, tetapi masih tahu batasan. Terlebih lagi dengan piagam berbagai kejuaraan olahraga yang ia sumbangkan ke sekolah, tentu melejitkan namanya di kalangan guru dan murid.
Rafka sendiri pindah sekolah ke mari bukan karena semata-mata ingin bergabung dengan team Revan, tetapi ia juga mendapat amanah dari seseorang untuk menjaga si dia. Tentu dengan senang hati Rafka menyetujui amanah itu, jadilah seorang Rafka Arsha Rafeyfa menjadi team basket sekaligus wakil ketua osis di SMA tercinta ini. Kalau kalian tanya ketos nya siapa? Sudah pasti Revan jawabannya!
-//-
Duh, gue harus ngapain, nih? Udah satu jam gue duduk di sini, pegel banget! Rafka juga sih, pakek sok-sokan mau nganter gue segala, gini kan jadinya.
Dari kejauhan terlihat Rafka dan Revan saling berebut bola. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh mereka. Kebayang kan seberapa ganteng mereka? Diam-diam Nadira memperhatikan. Manik matanya sama sekali tak ingin lepas dari objek yang sedari tadi ia lihat. Rasanya, benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Benar kata Rafka, kapan lagi coba?
Tepat waktu menujukkan pukul lima sore, mereka menghentikan aktivitas latihannya. Dengan sigap Rafka menghampiri Nadira. Namun lagi-lagi Nadira tidak menghiraukannya.
"Ehm, minum gue mana, nih?"
"Mana gue tau. Minum juga punya lo ngapain nanya ke gue."
Mendengar jawaban ketus Nadira tentu Rafka tak ingin kalah.
"Lo dasar cewek gak peka. Mau nonton basket tuh bawain handuk kek, minum kek, apa kek. Sedangkan, lo? Gak ada inisiatif sama sekali!"
"Kan dari awal emang gue gak ada niatan nonton basket. Lo juga kan yang nyuruh gue nunggu di sini? Dan gue udah rela tabok-tabok an sama nyamuk cuman nungguin lo doang. Eh lo malah marahin gue."
"Ngambek gitu doang ngambek. Yaudah yuk pulang, lo juga lagi gak enak badan kan? Ntar lo kenapa-napa gue kena marah kakak gue lagi," Karena tidak ada jawaban keluar dari mulut Nadira, Rafka pun beranjak pergi meninggalkan Nadira.
"Loh, Raf, kok gue ditinggalin?!"
Begitulah kira-kira berisiknya Nadira jika sudah bertemu dengan Rafka. Tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata di seberang sana sama sekali tak berpaling dari keduanya.
"Gemes banget gak sih mereka?" Komentar Arya melihat kelakuan Rafka dan Nadira.
"Hooh, bisa dibilang couple goals gak sih?" Edward menimpali.
Revan mulai jenuh mendengar perbincangan kedua temannya itu. "Cowok kok kayak cewek." Entah siapa yang Revan maksud. Ia pun beranjak pergi meninggalkan keduanya. "Kenapa tuh orang?"
"Mana gue tau." Jawab Aldi yang baru saja kembali selepas mengembalikan bola basket di ruang alat olahraga.
"Gue gak tanya sama lo ya, bontot!" Jangan tanya kenapa Aldi dipanggil bontot. Malahan Aldi yang paling tua diantara mereka. Ya, begitulah teman-teman Revan, sangat absurd!
Arya hanya menyimak ocehan kedua temannya. Senyum miring terukur dari wajah Arya. Mungkin ini waktunya, Van, batin Arya.
-//-
KAMU SEDANG MEMBACA
BEHIND YOUR EYES
Teen FictionKisah ini menceritakan kehidupan seorang gadis yang ragu akan masa depan. Bukan, bukan ragu akan siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya, melainkan takut lantaran tak bisa membahagiakan kedua orang tua. Ia punya bakat, tapi tak tahu apa. Mencoba...