Niskala 3 : Sebuah Kitab Tua

129 13 13
                                    

Ibu menepuk puncak kepalaku lembut, ia duduk di tepi ranjang, dengan sabar menunggu hasil dari termometer yang menyelip di antara ketiakku. Tak butuh waktu lama, termometer itu mengeluarkan bunyi bip beraturan. Ibu segera memeriksa hasilnya.

"36,8. Masih hangat."

Aku mengangguk saja.

"Bagaimana perasaanmu Mike?"

"Sedikit lebih baik."

Ibu tersenyum lembut seraya mengelus pipiku yang memerah.

"Kau mau makan apa? Biar ibu siapkan."

"Mungkin sesuatu yang hangat akan enak."

Ibu mengangguk seraya memberesi segala perkakasnya kemudian beranjak keluar.

Aku kembali merebahkan punggung ke kasur, menarik selimut tinggi hampir menutupi separuh wajahku saat ini. Demamku sudah turun, tapi aku masih merasa tak enak badan.

Tak kusangka pertemuanku dengan si orang kerdil, yang kini kuyakin adalah seorang laki-laki, membuatku sakit hingga sebegini parah.

Suhu tubuhku meninggi disertai dengan pusing yang luar biasa. Semalaman aku hanya berbaring di kamar, bernapas dengan udara yang terasa panas. Sesak rasanya. Aku tak bisa tidur, setiap kupejamkan mata kepalaku terasa berputar putar, seolah aku sedang berbaring di atas kapal yang berlayar.

Semua orang kebingungan, ibuku yang terlihat paling panik diantara yang lainnya. Kuingat samar-samar, wanita itu selalu menjengukku setiap 2 jam sekali. Mengganti kompres di kepalaku dengan telaten. Memijiti kakiku, mengganti gelas minuman, yang sebenarnya juga tak kuminum, dengan minuman yang masih hangat. Benar-benar kurasakan kasih kelembutan ibu ketika memperhatikanku, terlebih ketika sakit.

Aku merasa payah. Si lelaki kerdil hanya berdiri dengan senyum di wajahnya. Kami saling bertatapan. Dia bahkan hampir tak melakukan apapun, tapi aku sudah kalah. Aku begitu stres memikirkannya hingga tumbang. Benar-benar lemah dan penakut.

Firasatku mengatakan jika lelaki itu perlu dijauhi, entah apa maksudnya mengusikku. Yang pasti kali kedua aku bertemu dengannya, aku tak akan lari. Itu adalah janji.

Aku menangkupkan selimut hingga batas kepala, menyembunyikan segala rasa malu dan bersalah dibaliknya. Hingga terdengar suara ketukan pelan, aku mengintip kembali, sosok gadis kecil dengan terusan pendek masuk melalui celah pintu. Ia memegang sebuah nampan, yang tampaknya terlalu besar hanya untuk membawa semangkuk bubur, kemudian berjalan mendekat ke arahku. Aku segera meringkas selimut kemudian memperbaiki posisi untuk duduk di ranjang.

"Aku membawakanmu sup jagung." Marrie berujar dengan tatapan fokus pada nampan yang ia pegang.

Setelah sampai, Ia langsung menaruh nampan itu ke pangkuanku. Aku mengerinyit, nampan ini terbuat dari alumunium dan rasa panas yang menjalar dari mangkuk sup membakar pahaku ketika gadis itu meletakkannya begitu saja.

Segera kuangkat benda itu dan menaruhnya ke atas meja.

"Te-terima kasih Marrie."

"Kau tidak mau langsung memakannya?"

"Kurasa aku akan menunggunya menjadi sedikit lebih hangat."

"Oohh."

Kesunyian menyelimuti kami. Gadis itu berdiri di tepi ranjang sembari memperhatikan sekeliling kamarku dengan seksama.

Bibirnya bergumam kecil, sepertinya dia tengah menghitung berapa banyak foto yang kupunya. Beberapa gambar keluarga, pemandangan alam dan poster dari acara tv favoritku terpampang di sana. Marrie sempat tersenyum ketika melihat aku memajang salah satu gambar dirinya di atas meja. Usianya masih 5 tahun saat itu, ia mengenakan kostum kelinci putih di sebuah pesta sembari membawa keranjang penuh permen warna-warni. Aku memotretnya. Tak ada alasan khusus, menurutku dia cukup manis ketika mengenakan kostum itu lantas terlintas untuk mengabadikannya.

NISKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang