Niskala 4 : Seorang Teman

113 11 14
                                    

Marrie berjalan dengan sedikit melompat-lompat. Pagi ini terasa begitu hangat dan cerah. Ditambah ia mimpi indah semalam. Marrie bermimpi kembali bertemu dengan para peri, namun kali ini mereka menampakkan wujudnya yang cantik dan mengajaknya berjalan-jalan di hutan ajaib. Mereka bermain seharian sampai lelah, hingga ia terbangun esok paginya.

Mood-nya sangat baik, ia berfirasat bahwa hari ini akan menjadi hari baik.

Ia melangkah ringan sembari menggendong boneka kelinci menuju ruang makan. Sebuah ruangan lantai satu dengan meja bundar di tengah-tengah. Meja itu terbuat dari kayu seperti kebanyakan perabot lain, dengan empat kursi yang berhadap-hadapan. Di ujung ruangan berjejer rapi rak-rak tempat menaruh piring, juga rak bumbu dapur. Kemudian disambung dengan wastafel, kompor, meja yang penuh dengan bahan makanan siap saji, dan sebuah lemari es.

Biarpun ruangannya tidak luas, dengan beberapa perabot yang disusun menepi menyebabkan tempat ini terasa lenggang dan nyaman. Cocok untuk tempat berkumpul, walau keluarga mereka jarang melakukannya.

Dapur selalu sibuk di pagi hari, ibunya terlihat kerepotan. Marrie sangat ingin membantu menyiapkan sarapan keluarga, namun ibunya selalu bilang jika ia sudah cukup membantu dengan membangunkan sang kakak dan mengajaknya untuk duduk tenang menunggu makanan siap. Marrie selalu menjadi gadis baik dan melakukannya. Namun pagi ini Mike sudah lebih dulu siap di meja, mendahului. Ia duduk di salah satu kursi sembari memegang sebuah bolpoin dan kertas.

Mike sedang membaca selembar kertas dengan serius. Bibirnya menggumamkan sesuatu yang hanya bisa ia dengar sendiri. Jemarinya bergerak sesekali untuk mencoret beberapa titik, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu kembali menulis.

"Kau sedang apa Mike?" tanya Marrie.

Ia sedikit teralih pada kedatangan Ibu yang menaruh sepiring telur setengah matang dengan irisan daging di hadapannya, juga di hadapan Mike. Ia tergiur untuk melahap makanan itu, namun segera sadar dan kembali melihat kakaknya. Ia berjinjit di atas kursi, mengintip Mike yang tak tampak terusik.

"Membuat denah desa ini."

"Apa itu denah?"

"Seperti sebuah peta, namun lebih spesifik. Menjelaskan tentang beberapa objek yang biasanya tidak tercantum dalam peta."

"Seperti?"

"Daftar rumah yang ditinggali oleh orang tua di Desa Lumia."

Untuk sesaat tidak ada percakapan diantara mereka. Marrie dengan kapasitas kepala bocah usia 6 tahun mencoba untuk memahami maksud dari Mike tanpa bertanya kembali. Dia diam, meremas-remas lengan boneka kelinci yang ia baringkan di atas meja. Meremas bonekanya membuat Marrie berfikir lebih tenang. Mike tidak menggubrisnya, bahkan laki-laki itu tidak sadar jika Marrie berusaha keras untuk memahami kata-katanya.

Hingga akhirnya gadis itu menyerah, ia tidak dapat memikirkan sebuah alasan dan memutuskan jalur tercepat untuk mendapat jawaban.

"Untuk apa kau mencari daftar rumah orang tua di sini?"

Dan Mike, tentu saja akan berbohong.

"Untuk mengetahui rumah mana saja yang berpotensi 'dijahili' pada malam haloween."

"Tetapi haloween masih 3 bulan lagi?"

"Membuat sebuah persiapan tidak ada salahnya, kan?"

Tidak ada sanggahan yang dapat ia keluarkan untuk melawan kakaknya.

Marrie menyandarkan dagu di tepi meja, tangannya memainkan sendok sembari menatap lurus kearah Mike yang sama sekali tidak melirik.

"Mike maukah kau bermain bersamaku setelah ini? Aku sangat bosan."

NISKALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang