Yogyakarta 2002
Bagunan rumah sederhana berukuran enam kali delapan meter,dengan dua kamar tidur dan sebuah ruangan yang keluarga Wildan jadikan ruang multi fungsi.Di ruangan itu terpampang sebuah televisi jadul dan kursi yang terbuat dari bilahan bambu,yang sudah rimpuh karena tergerus jaman. Mengingat kursi itu merupakan peninggalan bekas kakek dan nenek Wildan dulu.
Terkadang ruangan ini dijadikan tempat menjamu saat ada tamu yang berkunjung.Di ruangan ini pula Wildan dan kedua orang tua nya menyantap bersama makanan sederhana,rasa bintang lima dari sebuah chef bernama ibu.
Tidak ada sekat diantara ruangan multi fungsi dengan dapur,semuanya dibiarkan menyatu.
Permasalahan keterbatasan biaya, saat dulu membangun rumah ini yang menjadi alasan nya.
Keluarga Wildan tidak punya cukup uang untuk membeli batu bata,semen dan pasir untuk menyekatnya supaya terlihat lebih rapih.
Bahkan sejak rumah ini berdiri, belum ada renovasi besar-besaran yang dilakukan.Pernah suatu ketika saat plafon atap rumah rusak,karena terkena rembasan air hujan yang masuk dari celah-celah genting.
Sang kepala keluarga alias bapak Wildan hanya menambal plafon atap,menggunakan triplek bekas yang sekiranya masih bisa digunakan.
Tidak ada yang istimewa ditempat ibu Wildan mengolah makanan,untuk menjadi sebuah hidangan favorit mereka.
Bukan kitchen set yang ada disana,melainkan meja sederhana yang di buat bapak dengan sisa-sisa kayu dan triplek yang ada.
Disana hanya ada sebuah rak piring tua yang sudah reyot dan tak lagi kokoh,namun masih dipaksa untuk menampung piring,gelas dan perlengkapan masak milik ibu Wildan.
Dikamar Wildan,dia hanya tidur mengenakan kasur lantai yang berisi kapuk.Lalu kasur milik ibu dan bapak tidur pun sebenar nya sudah harus diganti dengan yang baru.
Kasur mereka sudah tak lagi nyaman. Dengan kawat per yang menonjol, karena busa yang sudah mulai menipis. Sungguh terasa menusuk saat membaringkan tubuh,akibatnya badan mereka terasa sakit setelah bangun dari tidur nya.
Disini lah tempat sebuah keluarga kecil Wildan tinggal.Memang jauh dari kata nyaman sebenar nya,namun mereka sudah amat bersyukur dengan rumah ini.
Setidaknya Wildan dan orang tua nya memiliki tempat untuk tinggal.Tempat untuk berlindung saat terik dan hujan,setidak nya rumah ini bisa menjadi tempat untuk bapak dan ibu Wildan melepas penat dan beristirahat dimalam hari setelah seharian berkebun.
Ibu akhirnya masuk kedalam rumah, sambil menenteng hasil panen dari kebun kecil di belakang rumah.
Wanita itu dikejutkan dengan kehadiran buah hati nya yang kini genap berusia delapan tahun.
Dengan tubuh gempal dan pipi yang tembam,Wildan tengah terduduk di kursi kayu sambil melipat kedua tangan.
Padahal sebelumnya Wildan baru saja menemui sang ibu di kebun belakang.Meminta izin untuk bermain dirumah Brian,anak tunggal dari pemilik rumah mewah yang berada disamping gubuk kecil keluarga Wildan.
Tak ada rona senang yang terlihat dari Wildan kecil itu.Ia hanya cemburut dan tak seperti biasanya yang begitu banyak bicara.
Seorang ibu pasti tahu, saat anak nya sedang tidak baik-baik saja.Saat itu ibu tahu jika Wildan tengah merasa kesal dengan teman nya,Brian Pranadipta.
"Wildan sudah pulang main nya nak?."
Tanya ibu sambil mengambil baskom di rak piring lalu menghampiri Wildan,kemudian ia duduk dilantai sambil menyiangi daun singkong dari tangkai nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Road ; shuhua - wonpil
Short StorySejak kepergian orang tua nya kini tidak ada suara lembut yang mendongengi Wildan lagi tiap malam,hanya hening dan senyap yang menyelimuti kamar Wildan. Tidak ada tubuh ibu nya yang mendekap Wildan dari dingin nya malam.Hanya kain tipis bekas sarung...