Bagian 1

86 3 0
                                    

Seharusnya aku lebih jujur dengan diriku sendiri... --Rikako

POV 3

***

Lagi-lagi mengintai dari kejauhan. Seorang gadis berambut kelam berteduh di bawah pohon sakura yang menyerupai kanopi alam. Matanya menatap lurus ke arah kerumunan siswi pada sebuah objek bergerak yang baru saja keluar dari gedung latihan karate.

Seorang atlit bergender pria bernama Kazumi Kuga-lah yang menjadi sorotan ratusan pasang mata -mayoritas perempuan- sekitar. Tampan dan penuh kharisma, 'aku menyukai pria itu,' batin sang gadis. Iris cokelat gelap dengan tatapan yang tajam. Surainya memiliki warna senada dengan iris kelam itu. Tubuh atletis dan langkah yang tegas. Ia merupakan seorang dengan pribadi yang dingin namun nampak cemerlang dengan seluruh prestasinya.

Rikako Kobayashi -nama sang gadis- sama sekali tak mengerjap untuk sekedar menikmati wajah malaikat Kazumi. Wajahnya merona tanpa sebab. Panas menjalar pada tulang pipinya.

"Menjadi penguntit lagi, Kobayashi-san?"

Aksen dingin itu menelusup langsung ke gendang telinga Rikako. Membuatnya menoleh pada sumber getaran yang berada di belakang.

Sungguh tepat batin Rikako yang sempat menerka. Siswi bernama Sei Yoshihara menatap lurus sama dengannya, mengamati Kazumi. Perbedaannya adalah, tak ada binar kagum di sana. Hanya kesan datar, tanpa ada gurat ekspresi sedikit pun. Ia adalah salah satu sosok yang mudah diterka. Nada dingin seperti itu hanya dimiliki olehnya dan Kazumi.

Kedutan samar tepat di bawah mata Rikako adalah pertanda jika ia merasa canggung atau kikuk atas suatu hal. Ia menilik Sei yang mendengus geli. Seringai tipis yang terukir di wajahnya seakan memberitahu Rikako sesuatu.

"Ah, uhm tidak. Aku hanya sedang-" Rikako celingak-celinguk untuk mencari alibi yang tepat.

Bodohnya ia karena berjongkok dengan gerakan cepat. Wajahnya memanas, bulir peluh mulai bermunculan. "Oh, iya! Aku sedang mengumpulkan kelopak sakura yang berguguran." Rikako meringis kikuk.

Manik biru Sei menatap Rikako lekat. Sedetik kemudian kembali menatap para siswi dalam kerumunan. Perut Rikako mengejang karena gugup. 'Apa aku salah bicara? Ah, masa bodoh,' batin Rikako.

"Bodoh."

Gumaman samar dari bibir merah muda Sei membuat denyutan tegas di balik tulang rusuk Rikako.

Ia bangkit. Sedikit merapikan rok kotak-kotak yang menjuntai di atas tempurung lututnya. Sebelum pergi, Rikako sempat bertemu pandang dengan Eizan. Siswa berkaca mata yang menjadi bodyguard pribadi Sei. Eizan cepat-cepat memalingkan wajahnya yang berubah merah padam secara spontan. Sedikit aneh.

Derap langkah Rikako terdengar tergesa-gesa. Rumput yang ia pijak tergesek kasar. Gerak lambat rumput yang terinjak seakan berusaha mengajukan protes atas perlakuan gadis tersebut.

Langkahnya telah memasuki koridor, menorobos udara dalam kesenyapan lorong. Dan berakhir dengan bersandar pada daun pintu toilet yang tertutup. Pipinya menggembung, wajahnya merah padam. Ia marah. Cairan bening menggumpal di pelupuk, bersiap meluncur.

Dia kesal pada dirinya sendiri. Kebodohannya karena mengkhianati perasaan sendiri. Tak bisa meraih apa yang ia inginkan. Sikap tersipu yang menuntutnya selalu berdusta.

Disekanya secara serampangan air mata yang menggenang tersebut. Bibir merah mudanya bergetar untuk mencegah isakannya keluar. Perlahan Rikako berjalan menuju cermin yang ada di sana. Memindai garis wajahnya yang mengeras dan sewarna cangkang kepiting rebus.

Jikan no atataka no yuki (Kehangatan Salju Waktu Itu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang