Senyuman hangat seperti matahari di musim panas --Aiko
***
Aiko's POV
Kristal beku bergumul menjadi bukit putih di sana-sini. Badai salju menerjang sebagaian besar Jepang semalam. Permadani putih menelan pemandangan hijau yang biasa tampak mata. Gumpalan salju pada ujung dahan, pasti berakhir jatuh berdebam. Menyusul rekanan menghampar di atas bumi. Suhu kelewat rendah menjadi penyebab para burung berkicau malas. Suara mereka bahkan terdengar seperti dicekik dingin.
Aku menguap lebar. Menyibak tirai tanpa menanggalkan selimut tebal yang bertengger menghangatkan tubuh selama terlelap. Kilau matahari menyeruak lembut menyambut retina. Aku menghela napas di dekat jendela. Uap air terbentuk semu di sana bersamaan dengan gedigan ringan.
"Pasti dingin sekali di luar sana," terkaku melihat partikel es muncul di sela kusen jendela.
Iseng menelisik keadaan luar, tak sengaja manik ini menangkap sesosok pemuda berjalan di tengah jalanan yang penuh dengan salju. Menggosok kedua tangan sembari merapatkan mantel tebalnya sesekali. Itu Yuujiro.
Kusingkap daun jendela. Entah dorongan darimana aku melakukan hal seperti ini. Langsung bergidik saat udara dingin berhembus tanpa tedeng aling-aling. Melongok keluar, menarik napas dalam, "Yuujiro!!"
Dan malah berakhir berteriak seperti orang norak. Bodoh.
Jelas ia tersentak kaget. Pemuda berambut hitam tersebut menghentikan langkah, kemudian menoleh padaku. Senyum teretas di bibirnya yang memucat oleh dingin. Begitu khas, nampak hangat dan ... manis sekali. Astaga, apa yang aku pikirkan.
"Oh, Keiko-chan!" aksen ceria itu menggelegak begitu menyenangkan. Melambai-lambai dengan senyum merekah.
"Namaku Aiko. Ini kesalahanmu yang kesekian kali ..." aku memutar bola mata yang sebenarnya hanya sebuah kamuflase untuk perasaanku yang sebenarnya, lalu merapatkan selimut, "Oh, haruskah aku mengganti namaku?"
Kudengar ia mengekeh. Meski samar--karena efek kamarku yang berada di lantai dua--, namun gelagatnya sudah cukup terekam baik dalam benak. Menggaruk tengkuk, sudut bibir ditarik dengan gerigi rapat, meringis tanpa dosa.
"Ehe, gomen, gomen. Sebagai permintaan maaf, kita jalan sore ini jam tiga. Kutunggu di taman dekat pohon sakura, oke? Matta ne!" ajakan tiba-tiba. Setelah mengucapkan kalimat tadi, ia melanjutkan derap awalnya. Lenyap di balik gang mungil dekat tumpuan kaki semula.
"Tsk, seenaknya saja," gerutuku, lantas menutup jendela dan menyaruk langkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Menyambar handuk, kemudian membasuh wajah di wastafel. Menilik bias wajah di cermin. Sudut bibirku menikung lengkung yang sarat akan kesan senang. Gurat wajah datarku berseri.
Aku tersenyum. Astaga.
.
.
Sekian...
KAMU SEDANG MEMBACA
Saisho no ai (Cinta Pertama)
RomanceAku tidak menolak keberadaan cinta dalam hidupku. Hanya saja ... aku masih bingung dengan cinta itu sendiri.