18. Kamu Cukup

1.4K 204 32
                                    

Gea tidak tahu harus berekspresi bagaimana saat Dimas menjemput lebih pagi dari pada biasanya. Baru saja selesai membukakan gerbang, senyum cerah cowok itu berikan padanya. Sebuah kue ulang tahun dengan angka delapan belas membuat jantung Gea berdetak nyeri, padahal, dia seharusnya bahagia bukan?

Banyak rasa bersalah yang menumpuk di dada Gea. Terutama tentang kejadian tengah malam saat dia bukannya menolak panggilan dari Fito, tetapi mengangkatnya. Walau dia langsung memutuskan panggilan setelah cowok itu selesai mengucapkan selamat ulang tahun---seperti biasanya.

“Tiup dulu,” ujar Dimas. Sekadar informasi juga, Riski hanya bercanda tadi malam.

Gea tersenyum. Sebelum meniup, dia memejamkan mata. Semoga hidup cowok di depanku ini dilimpahkan segala kebahagiaan. Semoga tawanya gak pernah padam. Semoga senyumnya gak akan luntur. Di mana pun, bagaimana pun, dan apapun yang terjadi.

Kembali membuka mata, Gea lalu meniup lilin tersebut hingga padam.

“Selamat ulang tahun, Cantik.”

“Makasih.” Gea mengatakannya dengan suara bergetar. Mengapa sesak begini? Dia pun memeluk cowok tersebut, membuat Dimas harus berhati-hati memegang kue agar tidak jauh.

“Makasih. Makasih banget.”

Dan maaf, batin Gea melanjutkan. Mengingat bagaimana sikapnya selama ini, bahkan tadi malam.

Dimas mengangguk. Mengelus rambut Gea dengan sebelah tangan, sedang yang lain begitu berhati-hati agar kuenya tidak jatuh.

“Sampek kapan mau begini?” tanya Dimas sembari tertawa kecil. “Orang tua kamu ada, kan? Aku mau ketemu.”

Gea melepaskan pelukan, mengangguk setelahnya. “Baru nyiapin sarapan, ayo masuk. Makan bareng.”

Dimas meletakkan kue pada meja teras. “Tunggu dulu,” pamitnya. Lalu berlari menuju ke arah mobil.

“Buat kamu,” ujar Dimas setelahnya. Menyodorkan bingkisan pada sang kekasih yang Gea terima dengan senyum tipis.

“Makasih banget.”

Dimas mengacak rambut Gea, membuat gadis tersebut menepisnya kesal. “Jangan diberantakin.”

“Iya-iya. Maaf ... habisnya gemes, kamu bilang makasih terus.”

“Udah ah. Ayo masuk, makan bareng.”

Dimas melangkah masuk, mengikuti Gea. Di meja makan ternyata sudah ada kedua orang tua gadis tersebut. Membuat Dimas segera menyalimi Vivi dan Anton.

“Wah, ada perayaan nih.”

Dimas tersenyum, meletakkan kue yang dia bawa di meja makan. “Iya, Om.”

“Yaudah, ayo. Sarapan dulu.” Anton yang tadi berdiri untuk menyambut kekasih anaknya merangkul Dimas untuk duduk pada kursi. “Kamu kalo dateng pagi-pagi gini terus, biar kita sarapan bareng.”

Gea tersenyum. Dibanding saat bersama Fito, sangat terlihat jelas bahwa kedua orang tuanya lebih menerima Dimas. Bahkan dulu saat pertama kali bertemu dengan ayahnya, Dimas sudah bisa mengakrabkan diri.

“Malu dong, Om. Masa ke sini cuma minta makan.”

“Sok malu kamu, ah,” sahut Anton. Membuat baik Vivi dan Gea tertawa.

Beda dengan Dimas yang tersenyum tipis. Selain Gea, bagaimana keluarga gadis ini memperlakukannya seperti anak sendiri adalah kebahagiaannya. Keluarga lengkap yang harmonis. Hal yang selalu Dimas impikan. Mungkin ada Angga yang ibunya memang sangat baik, perhatian juga, tetapi, wanita tersebut jarang berada di rumah. Mereka jarang bertemu. Apalagi keluarga Arkan---maaf harus mengatakan---tidak usah berharap  lebih.

Tentang DIMAS✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang