|| 01

614 46 198
                                    

Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak.

****

"Terkadang, ada temu yang dirindukan tetapi dihindari, demi hati yang tidak baik-baik saja."

------------
1
Dia Yang Ingat
------------

Aku memundurkan langkah saat tempias dari tangisan alam itu mulai menyapa sepatu kotor ini. Langit masih menumpahkan segala pilunya, hujan tak jua kunjung reda.

Senyuman tipis selalu saja terbit, kala ingatan pahit itu terputar. Aneh memang.

Pandanganku menyapu bangunan tua yang tidak berpenghuni di belakangku, terlalu banyak kenangan yang masih berdiri kokoh di kepala, layaknya bangunan tua ini.

Desember sebelas tahun lalu, saat tahun pertama mengenakan seragam putih abu-abu. Masa cinta remaja paling manis. Di mana, untuk pertama kalinya mengenakan seragam SMA dan jatuh dalam drama remaja paling unik.

Aku mengagumi sosok pemuda yang sebenarnya jika ditelisik baiknya, semuanya akan tertutupi oleh tabiat buruknya yang suka gonta-ganti pacar. Namun, bukankah cinta itu buta? Ya, buta sekali. Bahkan sains sendiri bisa menjabarkan definisi cinta buta, dan aku tidak mau menyangkalnya karena aku mengalaminya sendiri.

Saat jatuh cinta, prefrontal cortex dalam otak yang diyakini sebagai bagian otak untuk menilai sesuatu secara kritis, mendadak berhenti. Membuat kita memandang segala sesuatu yang ada pada orang yang ditaksir selalu benar, dan indah.

Sebelas tahun lalu, di mana semua kenangan manis dan pahit terjadi di bangunan tua ini.

***

Ini hari pertama setelah masa orientasi siswa, kata pembina MOS semua peralatan sudah lengkap di semua ruangan kelas sepuluh, tetapi apa? Di kelas kami, atau lebih tepatnya sepuluh ipa-B, tidak tersisa satu pun sapu yang bisa digunakan, untuk membersihkan sisa perayaan hari MOS terakhir kemarin.

Di kelas, dua siswi yang belum aku hafal betul namanya tengah saling sikut, seolah tidak ada yang mau mengalah untuk perkara mereka. Tak jauh dari keduanya, tampak seorang pemuda yang masih berkacak pinggang. Sepertinya ada sesuatu di antara ketiganya.

Tidak mau ambil pusing, kulangkahkan kaki ke dalam kelas yang hanya berisi tiga pelajar yang baru datang, dua siswi tadi dan satu siswa yang tengah berkacak pinggang di samping bangkunya.

"Kamu!" serunya. Langkahku otomatis berhenti, menatap dua siswi tadi yang juga menatapku balik. Jika bukan mereka yang ditunjuk pemuda itu, sudah pasti akulah yang dimaksud.

"Aku?" tanyaku ragu. Dia tidak menjawab, melainkan memindai penampilanku dari ujung ke ujung. Apa yang salah?

"Kamu. Kamu pergi ke kelas sebelah, tolong pinjamkan sapu!" titahnya, sangat tidak sopan. Aku tidak suka diperintah, terlebih oleh orang yang sepantaran dan belum aku kenal seperti dia.

"Tidak! Aku tidak mau!" tolakku langsung, dia tidak bisa menyuruhku begitu saja. Meski aku cewek, bukan berarti aku lemah. Aku tidak takut dengannya, bahkan tulang keringnya bisa kupatahkan jika mau.

"Kupikir kamu lebih bisa diandalkan dibandingkan dua cewek itu, ternyata kamu lebih keras kepala!" serunya kesal sembari menunjuk kedua siswi tadi.

Aku berjalan mendekatinya, melewati dua siswi yang duduk di bangku barisan tengah. Dia belum tahu bagaimana seorang Rengganis Malyadewi.

"Kamu saja yang ambil, kamu punya kaki, punya mulut buat ngomong. Jangan merintah orang sesuka hati!" Keluar sudah amarahku yang meminta ditumpahkan sejak tadi.

Dia tertawa kecil, kemudian mendorong keningku menggunakan jari telunjuk. Ya meski aku terbilang gadis yang tinggi, aku masih kalah tinggi olehnya. Saat ini saja aku harus mendongak untuk membentaknya, sangat tidak lucu.

Bentala DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang