|| 02

257 34 58
                                    

"Dan meski tak ingin, alam tidak akan pernah menjadi budak kita yang akan mengabulkan ketidak inginan kita."

----------
2
Prolog Baru
----------

Senyuman terukir jelas di bibirnya yang merah, selalu begitu karena dari dulu dia bukan tipe cowok perokok. "Aku sejak tadi berdiri di depan resepsionis, jelas aku melihatmu ikut mendorong brankar sampai depan UGD. Kamu menatap kosong ke arah resepsionis, kuyakin kamu melamun. Kamu tidak berubah ternyata," jelasnya dengan kekehan tawa di akhir kalimat. "Selalu gugup, melamun setelah melewati hal menegangkan, dan selalu berkorban buat orang lain."

Aku bergeming, tatapan kembali kosong. Kenapa takdir mempermainkanku begini? Bumi sudah berotasi sudah sebelas kali. Namun, rasa yang mengeras itu tak kunjung mengalami erosi oleh masa, ataupun orang baru yang datang.

Akan tetapi kini? Orang yang selalu dihindari berada di samping. Datang setelah bertahun lamanya, datang tanpa diminta dan direncanakan. Ah, memang beberapa hal di dunia tidak bisa kita kendalikan dan berjalan sesuai perencanaan.

"Rewi," panggilnya. Aku memejamkan mata, aku tidak munafik, aku merindukan panggilan khasnya. Hanya dia yang memanggilku Rewi, katanya itu singkatan namaku.

Aku berdehem menanggapi panggilannya. Respon spontannya di luar dugaanku dia tertawa, apa yang lucu? Mata yang masih terpejam terpaksa aku buka, menatapnya sebentar kemudian kembali menatap lantai saat manik matanya balas menatap. Sial! Kenapa aku selalu tidak bisa bersitatap dengannya.

"Ternyata tidak ada yang berubah dengan dirimu, Rewi. Masih dingin semenjak hari itu, apa hatimu demikian?" tanyanya.

Bagai busur yang melesat tepat sasaran, pertanyaannya tepat sekali. Jangan bilang, setelah sebelas tahun ia menjadi pria bodoh yang tidak tahu apa-apa, atau berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Sepertinya hormon endorfin sedang meledak dalam dirimu, terlalu percaya diri dan terlalu bahagia hari ini," balasku. Ia tertawa kecil, dasar kepedean. Demi menyembunyikan kecanggungan, aku kembali memanggilnya. "Sharga."

"Ya?" Dia menjawab, sembari menatapku dengan senyuman lebar. Aku benci itu, aku benci karena dia melakukannya atas rasa bersalahnya padaku dulu. Kedua, saat ia melakukannya aku kembali jatuh pada pesonanya.

"Ng ... siapa yang sakit? Kamu berurusan dengan resepsionis, pasti ada keluargamu atau temanmu yang sakit?" Aku bertanya hanya untuk meruntuhkan canggung, hanya itu.

"Oh, itu--"

"Mbak!" panggil pemuda yang kondisinya sama denganku, basah kuyup. Dia dan seorang temannya yang pertama kali bertindak saat kecelakaan tadi. Aku baru tahu namanya Yuda saat berkenalan singkat di dalam ambulans, dia tersenyum kemudian mendekat diikuti beberapa orang yang masih asing bagiku. Sedangkan temannya satu lagi, masih sibuk berurusan dengan resepsionis. Sepertinya pihak keluarga yang datang baru satu untuk mengurus registrasi.

"Mbak, ini keluarga pengendara yang Mbak tolong, mereka mau berterima kasih," jelasnya dengan senyuman lebar.

Wanita paruh baya di depanku tersenyum lebar, ia menjabat tanganku dengan mata yang berkedip-kedip menahan lelehan tangisnya. "Kenalin, Nak. Tante Sofi, Tante uminya Eji, pemuda yang kamu selamatkan tadi. Tante berterima kasih banyak, sungguh Eji dan Tante berhutang budi padamu."

Wanita yang baru kuketahui namanya itu memelukku erat, sedetik setelah kalimat terima kasihnya selesai ia lontarkan. Tante Sofi menangis dalam pelukanku, semakin kuat aku mengelus punggungnya, tangisnya semakin pecah saja. Maklum saja karena sampai sekarang sang putra belum melewati masa kritis, ibu mana yang tidak khawatir.

"Nak, namamu siapa?" tanyanya sembari membetulkan letak sorban yang menjadi pengganti hijab di kepalaku, beberapa helai rambut yang keluar ia sisipkan, hingga sorban itu sempurna membentuk hijab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bentala DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang