Day 1

11 3 3
                                    

Bugg... Bugg...

Pukulan dengan bebas mendarat di kepala gadis berambut panjang itu.

Gadis itu sebisa mungkin menghalau pukulan agar tak mengenai kepalanya.

"Mencuri? kamu nggak bapak kasi uang? DASAR ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG."

Bugg... Bugg...

"BIKIN MALU ORANG TUA KERJAANNYA."

Pria tua itu beralih menarik rambut gadis di kursi kemudi, saking kesalnya ia.

"Anak setan. Seharusnya kamu berlutut saja, minta maaf! Persetan sama harga diri."

Tangan besar itu menghempaskan kepala putrinya hingga terbentur di jendela mobil.

"Argghh..."

Gadis yang sedari tadi pasrah menerima kekasaran ayahnya kini menatap nyalang sang ayah dengan dada naik turun.

"BUKAN LINTANG PAH..." teriaknya frustasi.

"Lintang nggak akan minta maaf kalau Lintang nggak salah."

"Terus sekarang apa? Lihat! Kamu dikeluarin dari sekolah karena pertahanin harga diri yang nggak pernah ada itu. kamu mau jadi apa hah? Mau jadi apa? papa benar-benar malu ya punya anak jalang kayak kamu."

Pria dengan seluruh rambut kepala telah memutih itu mendengus. Dadanya naik turun dengan jelas setelah menumpahkan segala emosinya.

"Tolong sekali aja percaya sama Lintang," pelas gadis itu.

Gama memandang putrinya dengan tatapan tajam, "Percaya? Andai ini yang pertama kali, papa mungkin nggak percaya kalau kamu maling, tapi Ini udah ke sekian kalinya bapak dipanggil ke sekolah karena kamu LINTANG."

"Kamu memang anak kurang ajar Lintang."

Lintang membalas tatapan ayahnya, tak kalah tajam, "bapak tahu apa soal Lintang? bapak nggak pernah peduli sama Lintang. Bapak cuman peduli sama istri baru bapak."

"Berani kamu ya?!!" tangan Gama kembali terangkat untuk memukul Lintang namun terhenti.

"Kenapa nggak bunuh Lintang aja, pak?" lirih gadis itu dengan bibir bergetar.

"Bapak nggak tahu 'kan gimana Lintang setiap hari harus terima semua perlakuan kasar dari kalian? Sekolah, rumah, semuanya sama saja. NERAKA."

Tangan Gama bergerak turun tatkala gadis bermata belo di hadapannya menggulung bajunya memperlihatkan luka-luka lebam yang nampak masih segar di lengannya.

"Ini dari teman-teman Lintang," kata gadis itu terguguh sambil mengingat bagaimana ia diperlakukan seperti bukan manusia oleh teman kelasnya.

Lintang beralih membelah poninya memperlihatkan jidatnya yang penuh bekas luka, "dari guru, ah, mungkin juga dari bapak."

"Bapak juga mau lihat dari istri muda bapak?" Lintang tersenyum miring, "bapak pasti nggak akan percaya kalau ini menyangkut wanita itu."

Rahang Gama mengeras mendengar sindiran itu.

"Bapak belum lihat saja bagaimana hati Lintang, mungkin sudah hancur, berserakan."

Lelaki paruh baya itu terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun lalu mulai melajukan kembali mobil yang sengaja ia hentikan hanya untuk menghajar Lintang.

---

"Ngapain kita ke sini?" tanya Lintang saat mobil ayahnya berhenti di depan rumah orange.

"Ini 'kan rumah nenek," kata Lintang lagi.

Sementara itu, ayah Lintang justru mengambil dua tas besar dari jok belakang dan memberinya ke Lintang.

Gadis itu benar-benar tak habis pikir dengan ayahnya, "bapak mau buang Lintang? Sejak kapan bapak persiapin barang Lintang? Sejak kapan bapak berpikiran UNTUK BUANG LINTANG SEPERTI INI hahh?"

Gama memasang wajah datar, "turun! Tinggal sama nenek kamu untuk sebentar, mungkin, mungkin kamu akan berubah. Mungkin kelakuan kasar kamu ini akan berubah."

Lintang tertawa pahit, "Di sini kelihatan jelas, bapak gagal jadi orang tua. Ngebuang anak saat anak nakal? Dan minta orang lain buat didik? Bapak yang brengsek di sini." katanya dingin.

"Jaga mulut kamu Lintang!" sentak pria paruh baya itu kembali naik pitam. "Jangan pernah pikir buat pulang dengan kelakuan kayak begini."

"Bapak nggak perlu susah payah ngelarang Lintang pulang karena tanpa bapak suruhpun Lintang nggak akan pulang." Gadis berambut panjang hingga hampir menutupi wajahnya itu membuka pintu mobil lalu turun.

Ia kemudian tiba-tiba membungkuk 90 derajat, "selamat menjalani hidup bahagia dengan istri baru bapak!" katanya lalu berbalik badan dan pergi.

"Anak setan," umpat pria itu sangat kesal lalu melajukan mobilnya pergi meninggalkan gadis kurus yang ringkih itu.

Lintang sudah kebal dengan seluruh kekerasan fisik maupun verbal itu, Lintang tumbuh bersama umpatan itu. Menangis? Ia ingat pernah melakukannya namun untuk sekarang hatinya sedang mati rasa, ia lupa cara tertawa ataupun menangis.

Lintang berhenti menatap mobil yang mulai menjauh itu, ia beralih menatap rumah batu berwarna orange di depannya.

Ia menatapnya Lamat, tak ada keinginan tuk melangkah ataupun bergerak. Di kepalanya sedang menimang-nimang sebuah ide konyol.

"Bunuh diri saja kah?"

Lintang menjatuhkan ransel di tangannya ke aspal, hendak melakukan ide konyol yang terlintas dalam otaknya.

"Lintang? Lintang kan ya?" seru seorang perempuan dari dalam gerbang.

Lintang menoleh, menatap anak angkat neneknya yang hampir seusia dengannya.

Gadis dengan mukena putih itu membuka gembok pagar, "kamu sendirian? Paman di mana?"

Lintang mendelik, muak dengan suara lemah lembut gadis itu. Melihat gadis itu, Lintang selalu diingatkan tentang bagaimana orang-orang terus membandingkannya dengan gadis itu.

"Lihat Kinara, gadis itu sangat sopan."

"Kamu bisa nggak jadi seperti Kinara sedikit aja! Dia cerdas dan baik."

"Belajar ngaji sana sama Kinara!"

"Contohi Kinara!"

"Kamu pikir ini salah didikan bapak? Lihat Kinara, dari kecil ditinggal orang tuanya, dia tetap jadi anak baik. Di sini memang kamu yang kurang ajar, mau didik bagaimana pun tetap kurang ajar."

"Ayo cepat masuk Lintang, kamu harus makan buat sahur, keburu imsak nantinya. Nenek ada di dalam kok."

Lintang masih memasang tampang tak bersahabatnya lalu melangkah masuk melewati sisi tubuh Kinara.

---

Ini kisah Lintang
Disiksa seolah bukan manusia, dibuang seperti sampah dan dibenci layaknya penjahat.

Terbentur, terbentur, terbentur.

Namun, sekeras apapun itu, ada Tuhan di ujung jalan.

---

Nah, ini chapter pertama.

Bagaimana pendapat kalian? Menurut aku, nggak seru sih.

Hope you enjoy it

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ramadhan : 30 days my imamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang