Bab 4

5 3 0
                                    

Aku yang merasa gerah langsung menuju kamar tamu yang sudah disiapkan oleh bunda untukku jika aku menginap disini, sedangkan mbok Dirma katanya mau memberikan sarapan dulu untuk pak kardi satpam rumah Firsan. 

Aku merasa lebih segar setelah mandi dan menuju meja makan karena perutku sudah demo minta diberi amunisi. "lah anjir masakan gw pada kemana ? kenapa Cuma tinggal sisaan begini?" bingungku saat melihat makanan yang sisa setengah namun aku tak ambil pusing dan memilih mengisi perutku. Setelah selesai makan aku menuju ruang tv kulihat Firsan sedang memeberi makan tutu dan mengelap aquarium tutu yang terlihat masih bersih.

"enak juga masakan lu fi, gak ada niatan jadi istri gw lu?" tanya Firsan padaku sambil menghampiriku setelah selesai dengan rutinitas paginya itu.

"menurut lu aja ogah gw sama lu tukang gonta ganti cewe seminggu sekali, gak lucu ntar gw baru seminggu nikah jadi janda ya" jawabku sekenanya aku tau dia hanya ingin meledekku dengan pertanyaannya itu, eh tunggu jadi dia yang menghabiskan masakanku sampai tersisa setengah ?

"oh jadi lu yang ngabisin masakan gw ya? Gw tau sih ini rumah lu seenggaknya tungguin gw makan gitu masa gw disisain gitu lu mah kebiasaan" kesalku pada Firsan. "ya abis gw laper belum makan dari semalem, dih bilang aja lu mau makan berdua gw kan? jujur lu? Gw juga ogah ama lu kalo Cuma dijadiin pelarian aja" celetuk Firsan yang berhasil membuatku terdiam dan kembali mengingat kejadian semalam. aku tak tau apa yang harus aku lakukan dengan hubunganku dan Aditya yang kusangka baik-baik saja dan memiliki tujuan utama yaitu pernikahan, nyatanya itu hanya anganku belaka.

"heh bengong aja lu canda gw, jangan serius gitulah" ucapan Firsan membuatku tersadar dan melihat kearahnya tanpa terasa air mataku mengalir begitu saja, dan Firsan memelukku ya seperti biasa dia selalu memelukku saat aku menangis. Aku bersyukur masih memiliki orang yang mau menerimaku dan menemaniku saat keadaanku jatuh ataupun senang.

"sssttt..... udah gw bilang kan, lu nya aja batu. Nangis kan lu sekarang" ucapan Firsan selalu membuatku sadar bahwa yang aku lakukan adalah sebuah tindakan yang sia-sia. Dan berkali-kali juga aku mengulang kesalahan yang sama. "udah nangis sepuas lu sekarang, tapi janji sama gw abis ini lu jangan sedih lagi' ujarnya yang ku jawab dengan anggukan dan tetap menangis dalam pelukannya.

"kalau udah capek ya lepasin aja, lu juga berhak bahagia dan lu harus menentukan pilihan untuk lanjut tapi lu gak bahagia atau cari kebahagiaan lain yang lu bisa dapetin dari cowo yang lebih baik" tambah Firsan yang membuatku menatapnya dan memikirkan sarannya yang akan mengubah jalan hidupku selanjutnya. Memang jika dipikirkan aku lah yang harus menentukan mau bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Aditya, mungkin berpisah memang lebih baik.

"iya secepatnya gw bakal ngajak ketemuan Aditya dan bicarain masalah ini" jawabku sembari membersihkan wajahku dari air mata dan tentunya ingus yang keluar dari hidungku. "anjir jorok banget untung gw kasih tissue kalau kagak pasti kaos mahal gw ini yang bakal lu pake kan?" ucap Firsan yang menatapku geli dan aku hanya memberikan cengiran khasku yang selalu ku berikan padanya saat melihatnya menatapku geli.

Keputusanku sudah bulat dan aku yakin memang ini yang terbaik aku harus secepatnya bertemu dengan Aditya dan melepaskannya untuk kebahagiaan dia dan tentunya kebahagiaanku juga. Memangnya selain melepaskan aku bisa apa? Memaksanya untuk tetap bersamaku itu mustahil, bahkan berjalan bersamanya saja bisa dihitung jari dalam setahun belakangan ini.

Kini aku duduk di cafe tempat biasa aku dan Aditya bertemu. Kulihat Aditya datang dengan langkah terburu buru sambil melihat kearahku dan tersenyum seperti biasanya. "maaf ya buat kamu nunggu lama, tadi aku baru selesai meeting dengan klien. Ada apa kamu ngajak ketemu? " ucapnya padaku saat sudah duduk dihadapanku.

"oh gapapa ko aku belum lama samapai juga, ada yang mau aku omongin sama kamu" ucapku serius menatapnya dengan senyum kakuku.

"mau bicara apa? Biasanya kalau mau ngomong kamu Cuma telfon aku kalau mau tidur" ucapnya santai sambil memegang tanganku.

Aku melepaskan tanganku dari geganggamannya sambil tetap tersenyum padanya dengan menarik nafas dalam aku memutuskan untuk mengatakan keputusan yang sudah aku buat untuk hubungan kami. "Ditya aku mau kamu jujur sama aku, selama ini kamu punya rasa yang sama atau gak sama aku?" setelah aku selesai menanyakan itu kulihat ada keterkejutan dimatanya karena Ditya langsung fokus padaku dan matanya sedikit terbelalak.

"maksud kamu gimana? Ya aku sayang kamu perasaan aku masih sama kayak pertama aku ngajak kamu untuk komitmen" jawabnya dengan lirih seolah tak yakin ditambah ia tak lagi menatap mataku saat menjawabnya dan fokus pada tangannya yang mengaduk minumannya. Dari sini aku sadar aku bukan lagi prioritasnya aku bukan lagi satu satunya.

"berat sih buat aku ngomong gini ke kamu Dit, tapi aku udah gak bisa lagi nahan semuanya. Aku udah capek sama hubungan kita, aku udah gak sanggup lagi bertahan sama hubungan yang aku sendiri gak tau ujungnya akan gimana? Dan aku cukup lelah berjuang sendiri disini Dit" ucapku serius sambil menunduk menyembunyikan ekspresiku karena sesaknya aku saat mengatakan itu semua.

"kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba ngomong gini? Aku salah apa? Oke aku tau aku jarang ada waktu buat kamu, tapi kita tau kita sama-sama udah dewasa dan tau kesibukan kita masing-masingkan? Apa alasan kamu ngomong kayak gini?" tanyanya menggebu-gebu mendengar ucapanku tadi. Setelah menetralkan ekspresiku dan menyiapkan hatiku untuk menatapnya, aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku melihat Ditya yang sudah diliputi rasa gelisah.

"selama ini aku gak pernah mempersalahakan waktu, tapi apa kamu sadar bahkan pertemuan kita bisa dihitung dengan jari satu tahun ini. Kamu yakin masih sayang aku? Kamu yakin masih memiliki perasaan yang sama? Kamu inget gak awal kita kenal, awal kita menjalin hubungan, awal kita akhirnya berjarak dengan alasan sibuk kerja gak ada waktu. Apa dalam satu tahun gak ada hari libur? Seingatku kantor libur setiap sabtu minggu bukan? Lalu kamu kemana saat libur itu? Ah aku tau kamu pasti beristirahat karena lelah bekerja atau kamu pergi dengan orang lain ?" tanyaku menuntutnya dengan senyum yang masih coba kuukir diwajahku.

"perasaanku masih sama aku yakin, Cuma ya karena jadwal kantor yang kadang tidak menentu membuatku sulit menemuimu Fi" bahkan Ditya masih berkelit disini, oh betapa bodohnya kamu Fian selama ini.

"cobalah jujur pada hatimu Dit, jangan paksakan sesuatu yang tidak ingin kamu lakukan. Aku tau selama ini aku bukan prioritasmu atau bahkan aku bukan satu-satunya dari awal?" ucapku pada Ditya dan kini sikapnya berubah tegang.

"Fi oke aku jujur aku memang dekat dengan wanita lain tapi aku gak ada perasaan apapun sama dia, itupun hanya sebatas teman kerja tidak lebih." Jawabnya gusar.

"yakin Cuma teman kerja? Teman kerja mana yang bergelayutan manja ditangan teman kerja lelakinya? Teman kerja mana yang makan romantis direstoran berbintang? Teman kerja mana yang selalu berangkat kerja dan pulang bersama padahal arahnya berlawanan? Teman kerja mana yang berpelukan dipinggir jalan bahkan saling mencium? Teman kerja yang mana yang kamu bilang Dit?" air mataku tak sanggup lagi kubendung saat mengucapkan pertanyaan yang mampu menyeyat hatiku, bahkan rasanya semakin sesak saat aku hanya melihat Ditya terdiam dan menunduk tanpa pembelaan apapun. Masih kutunggu beberapa saat namun Ditya masih terdiam.

"Dit jika biasanya orang-orang yang pergi meninggalkanku, izinkan aku yang meninggalkanmu dalam hubungan ini ya. Mulai sekarang aku melepaskanmu, aku membebaskanmu dari komitmen yang kamu buat ini. Aku harap kamu bisa bahagia dengan pilihanmu" ucapku sambil tersenyum miris dengan air mata yang tak mau berhenti mengalir.

"gak Fi, aku bakal jauhin dia aku butuhnya kamu, aku gak butuh dia Fi. Tolong jangan tinggalin aku, aku bener-bener nyesel Fi, maafin aku maaf Fi"ucapnya sembari memegang tangan ku dan mengelap air mataku dengan tangan kanannya.

"Dit jangan menahan aku, jika dari dulu kamu hanya butuh aku gak akan ada dia dalam hubungan kita. Pertahankan dia jangan menjauh darinya, jangan sakiti dia seperti kamu menyakiti aku. Jaga dia karena dia temanku satu-satunya disini, aku pamit ya Dit berbahagialah karena aku juga pasti akan menemukan kebahagiaanku sendiri" ucapku dan berlalu pergi meninggalkan cafe itu dengan hati hancur, cafe yang menjadi saksi aku dan Ditya bersatu kini juga menjadi saksi perpisahanku dengan Ditya. 



gimana ni sama part ini ????? 

jangan lupa vote dan comment nya 

terimakasih 

LoveansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang