8

1.1K 24 1
                                    

Rumahku adalah bangunan dua lantai.

Itu luas tapi cukup tua. Dan itu sudah usang.

Aku tinggal bersama ibuku dan kedua orang tuanya.

Artinya termasuk aku, ibuku, kakekku dan nenekku tinggal di sini.

Ketika kamu berjalan melalui lorong, lantai berderit dan ketika kamu  membuka pintu, itu berderit.

Musim dingin terasa dingin dan musim panas terasa panas.

Di rumah seperti itu, kamarku masih yang paling nyaman.

Juga sinar matahari sering menyinari kamar sudut tenggara lantai dua.

Ketika aku  belajar untuk ujian 2 tahun yang lalu, kakek pindah kamar denganku.

Itu karena kakek sudah sulit naik turun tangga di usianya.

Untuk alasan itu dia pindah ke kamar di lantai pertama.

"Jadi ... siapa yang akan menunjukkannya lebih dulu?"

Mikoto, yang belum tenang, bertanya.

Saat ini, Mikoto dan aku saling berhadapan di kamarku.

Terengah-engah, Mikoto membuka lebar matanya yang merah.

Rambut hitam pendeknya sedikit tidak teratur.

"I-lalu…kau duluan...."

"Kenapa?"

"Kaulah yang ingin melihat milikku…aku tidak benar-benar ingin melihat milikmu."

Mikoto berhenti berbicara terhadap argumen suaraku.

Setelah memikirkannya sebentar, dia akhirnya mengucapkan beberapa patah kata.

"Koumei, kamu tidak ingin melihat payudaraku…?"

"Hah?"

Topik beralih.

Kami mulai berbicara tentang Mikoto yang ingin melihat penisku.

Kalau begitu, aku bilang pada Mikoto dia perlu menunjukkan payudaranya padaku.

Ini adalah pertukaran yang adil. Lebih atau kurang.

Kemudian entah bagaimana akhirnya berubah menjadi apakah aku ingin melihat dada Mikoto atau tidak.

Nah jika aku  bisa melihatnya, aku ingin.

Tetapi jika aku mengatakan aku ingin melihatnya di sini, posisi kami akan menjadi setara.

Jika menjadi sama, situasinya jelas akan berubah menjadi aku harus menunjukkan penisku terlebih dahulu.

Dengan kata lain, ada kemungkinan Mikoto hanya akan melihat milikku dan kemudian kabur.

"A-aku tidak benar-benar ... ingin melihat dada yang rata."

"Seperti yang aku katakan, berhenti menyebutnya datar!"

Meneriakkan itu, Mikoto kehilangan ambisinya dari sebelumnya.

"...Seperti yang aku pikirkan, kamu khawatir tentang itu, kan?"

"Sama sekali tidak mungkin ...."

Memalingkan wajahnya karena malu, Mikoto cemberut.

"Aku pikir akan baik-baik saja jika itu lebih besar ..."

"Kamu tidak perlu khawatir tentang itu."

"Eh?"

Itu adalah perasaan jujurku.

I'm Sorry for Getting a Head Start but I Decided to Live Everyday EroticallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang