Max Mario
Kamis, 3 Juni, 11.30"Well, the class is finished. This week task, make biography with the theme 'the person you loved' on a portfolio paper. Writing with little font and don't copy the friend's task and don't try to not submit it, or you will get bad mark," kata Mr.Anton dengan aksen bahasa Inggrisnya yang kental sembari mengedipkan mata ke arahku, menyindir.
"See you." Ucapnya menutup pelajaran. "See you too!"
Aku benci dengan essai-essai yang mulai menumpuk. Padahal, ditilik dari jadwal, ujian tengah semester masih tiga bulan lagi. Dan Mr.Anton dengan segala sifat waspadanya selalu bilang bahwa, "tidak ada salahnya untuk berlatih lebih banyak, lebih cepat dari jatuh temponya." Kupikir masuk 'kelas anak-anak genius'-begitu semua anak Claven menyebutnya- menyita waktuku lebih banyak.
Kapan-kapan akan kujelaskan tentang sistem pembelajaran di sekolah ini; yang sedikit aneh menurutku. Karena sekarang, di depan papan tulis, dengan banyaknya siswa-siswi yang berkumpul, dengan segala keributan, aku tahu sedang ada suatu pertengkaran. Dan hal paling ganjil adalah, gadis paralel yang entah-siapa-namanya, tengah menjadi pusat perhatian.
"Gampang banget ya Glo, dapat nilai A. Tinggal main curang."
"Nggak heran juga sih. Perasaan dulu waktu kelas fisika Glo sering dapat nilai merah, eh pas ujian nilainya sempurna."
"Wah, barangkali nilai Junio juga, bukan murni dari kerja keras."
"Nggak sepadan dong bersaing dengan orang yang garis startnya beda!"
Entah kenapa, tiba-tiba Junio si genius itu ikut terseret diolok-olok. Aku yang sebelumnya berniat beranjak dari kelas, mengambil uang di kamar dan bolos pelajaran berikutnya untuk makan siang di luar, batal. Orang-orang mulai berkerumun menghalangi jalan keluar. Jadilah aku menonton mereka.
"Semiskin itukah lo sampai nggak dikasih uang jajan dan malah mencuri?"
Junio menggeram marah setelah mendengar salah seorang merendahkan status keluarganya. Dan aku yang terlanjur kesal dengan keadaan ini-yang sebelumnya kupikir akan cepat berkahir-segera membelah kerumunan.
Kalah cepat dengan amarah Junio yang memuncak, aku menyaksikan mereka sudah jual-beli pukulan, lawan Junio yang tadi mengolok-olok sekarang kewalahan dengan pukulan yang diberikan Junio. Dan menurutku, hanya soal waktu lawan Junio akan pingsan, secara yang kutahu Junio pernah memenangkan lomba olahraga di bidang beladiri.
Gadis paralel itu berdiri di sampingnya dengan wajah cemas tetapi bingung berbuat apa. Dan teman-teman sekelas mulai mengompori keadaan dengan menutup pintu kelas rapat-rapat supaya tidak ada guru yang melihat. Tidak berguna.
Berkali-kali gadis-gadis di kelas menyoraki nama lawan Junio, yang kutahu setelahnya bernama Dafi, teman salah satu ketua Osis.
Adalah dua menit pertengkaran itu dibiarkan begitu saja tanpa ada yang melerai. Dan setelah dua menit itu berakhir, Dafi-yang wajahnya sudah babak belur-memohon minta ampun. Gadis-gadis di kelas berseru kecewa. Bodoh, mereka ini psikopat kupikir.
"Sudah berakhir, eh?" ujarku lantang. Membuat seluruh atensi memperhatikanku yang berdiri di belakang mereka dengan tangan memegang ponsel mengarah pada mereka. Sedari tadi aku merekam perkelahian itu tanpa sepengetahuan mereka.
"Lo semua itu cuma seorang psikopat yang berkedok sebagai anak genius di Claven," cemoohku tanpa mengurangi intonasi.
Reaksi mereka berubah, wajah-wajah mereka pias. Satu per satu dari mereka mulai keluar kelas. Teman-teman Dafi segera membopong Dafi yang wajahnya sudah babak belur, sudut bibirnya berdarah juga sudut matanya, lebam-lebam.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE RUMORS
Teen FictionOrang yang menyebarkan rumor pastilah terkena sakit jiwa. Karena mereka menganggap kejadian yang mengerikan itu sebagai humor. Rumor memang cuma beda satu huruf dengan humor, tetapi artinya berbeda jauh. Yang satu bisa membuat tertawa terbahak-bahak...