X - As I Remembered

152 25 7
                                    

Sekembali ayahnya dari rumah sakit dan bisa kembali bekerja, ada dua hal aneh di dalam diri ayah. Pertama, ayah jadi suka memburu Petra menikah. Kedua, sikap ayah terlihat akrab sekali dengan Levi. Bagaimana itu bisa terjadi pada dua orang yang baru saja kenal, lupakan masa lalu itu.

Jarang sekali ayahnya datang ke cafe di jam makan siangnya. Ayah sering beralasan malas harus mengeluarkan mobil dari parkiran terlebih di musim dingin dan lebih baik berada di dalam perpustakaan yang membuatnya tetap hangat. Ajaib, sekarang ayah duduk bersama dengan Levi untuk makan siang bersama. Sesekali ayah tertawa menepuk-nepuk pundak Levi yang padahal ditanggapi dengan wajah datar. Bagaimana ayah bisa betah berbicara dengan orang seperti itu.

Petra jadi memiliki banyak pertanyaan bagaimana bagaimana lainnya di isi kepalanya. Eld yang melihat itu jadi berpendapat, "Ayahmu tampak bahagia sekali, sudah lupa yang ia alami kemarin-kemarin. Aku jadi ikut bahagia"

"Ah kak Eld, aku tidak tau apakah aku harus ikut bahagia atau malu. Lihat, bercandaannya ayah tidak ditanggapi oleh muka tanpa ekspresi itu. Bukankah aku harus menghentikannya" Petra memandang ngeri, tawa ayahnya makin kencang mengisi seluruh cafe. Oluo yang melihatnya ikut tertawa dan terhenti karena lidahnya tergigit. Eld menahan tawanya melihat Petra yang jengah menghampiri ayahnya.

--

"Ya? Ikut ya? Tidak enak kalau berangkat ke pernikahan orang tanpa pasangan" Zeke yang sudah datang lebih dulu di kelas Petra.

'Oh Tuhan, ada apa dengan laki-laki ini. Biasanya tak sampai memelas seperti ini'. Petra beralasan lain untuk menolak. Ajakan Zeke pergi ke acara-acara memang sering Petra iya-kan. Tapi untuk kali ini, karena ini adalah pernikahan orang ternama di Los Angeles dan banyak artis juga yang berdatangan. Petra merasa malu, ia tak memiliki gaun yang cocok untuk acara mewah seperti itu dan juga ia bakal kurang nyaman bicara dengan strata orang yang lebih tinggi karena topik yang dibahas bakal tidak sampai di otaknya. Dua poin yang tak bisa Petra katakan pada Zeke.

Petra menghela napas, "Nggak bisa, aku harus menemani ayahku di rumah"

"Aku tau betul bagaimana Mr. Ral, pasti dia akan paham. Ayolah Petra. Ya?"

Petra pun menyerah, terpikir oleh Petra untuk meminjam gaun pada Elisa meski ia tak yakin dengan ukurannya. "Baiklah"

"Oke, aku jemput jam tujuh ya" Zeke pun lari keluar kelas dengan perasaan senang. Petra hanya menggeleng-geleng melihat tingkah sahabatnya.

--

Benar dugaan Petra, gaun tanpa lengan milik Elisa yang terlihat pantas ke acara mewah itu kebesaran. Petra yang mungil  sedangkan Elisa bertubuh proporsional seperti model. Sudah pukul enam, Petra sampai di rumah langsung menghempaskan dirinya di sofa ruang tengah. Lebih baik ia segera mengabari Zeke agar tak perlu menjemputnya.

Paul Ral yang melihat Petra pun mendekat, "Kenapa datang-datang sudah lesu begitu?"

"Zeke ajak aku ke pesta pernikahan mewah. Aku sudah menolaknya tapi dia tetap memaksa. Bingung mau pakai baju apa"

"Sepertinya Ibu punya gaun yang pas, coba ayah cari dulu di lemari" ayahnya berjalan menuju ruang tidurnya.

"Eh?" Petra ikut berjalan mengikuti ayahnya. Setahu Petra, ia tak pernah menemukan gaun di lemari ibunya.

Petra sering membuka lemari itu untuk mengambil dan mendekap baju ibunya, menghirup beberapa kenangan dari situ. Baju kerjanya, baju rumahnya, Petra sendiri tahu persis dengan semua warna baju dan dimana letaknya.

Kenangan Petra mungkin samar di ingatan karena ia ditinggal ibunya saat masih kecil.
Tapi ia hafal dengan senyuman ibunya, menyambut Petra dengan pai hangat saat ulang tahun Petra yang ketujuh tahun. Momen perayaan ulang tahun terakhir Petra bersama ibunya. Karena keesokan harinya, ibunya ditabrak oleh sebuah truk dari arah yang berlawanan karena jalanan licin akibat salju. Dengan alasan itu, Petra tidak menyukai musim dingin.

Ayahnya mengeluarkan sebuah kotak dari lemari baju ibunya. Kotak itu tak pernah Petra buka karena ayah dan ibunya mengatakan ada waktunya kotak itu dibuka. Kotak berisi gaun berbahan sutera dengan panjang selutut tanpa lengan berwarna jingga, dihiasi pita tule berwarna lebih muda di sekeliling pinggang, dan diujung roknya terdapat hiasan serbuk emas untuk menambah kesan manis nan mewah.

"Gaun ini milik ibumu. Ibumu memakainya waktu ayah melamarnya. Ibumu bukan tipe wanita yang mudah mengatakan cinta. Melainkan mengatakan kalau gaun ini akan menjadi milik anak perempuan kita bila telah menemukan pasangan yang pas untuknya. Jadilah ibumu menyimpannya", Paul Ral menunduk mengingat masa-masa bersama istrinya.

Petra merentangkan gaun itu dihadapannya dan bercermin, pas sekali dengan dirinya yang memiliki rambut strawberry blonde-nya.

Tambahan dari ayahnya memakaikan kalung di leher Petra dengan batu berwarna hijau. "Ayah, ini indah sekali. Ayah merawatnya dengan baik" Petra mengangumi pemberian mendiang ibu.

Paul Ral mengangguk, "Ayah berharap Petra nanti akan menemukan pasangan hidup yang benar-benar mencintai dan menjagamu sepertiku"

"Iya ayah, itu harapan Petra juga bisa bertemu dengan laki-laki seperti ayah" Petra dan ayahnya berpelukan. Di bayangan Petra, pasti ibunya saat ini juga ikut berpelukan bersama mereka.

Petra teringat jam, hampir setengah tujuh "Ayah, aku harus bersiap. Sebentar lagi Zeke jemput"

"Eh? Bukan Levi?"

"Bukan, ayah. Kan ayah nggak perhatikan ucapanku"

"Hahaha, ingatan ayah bercampur sama ucapan Levi yang pamit pulang untuk bersiap menghadiri pesta. Makanya ayah beri baju itu karena akan bersama Levi"

"Iish ayah. Kenapa ayah jadi pasangkan aku sama Levi" Petra memajukan bibirnya, kesal.

"Sudah, katanya mau bersiap. Dandan yang cantik ya putriku" Paul Ral mengecup kening Petra agar kekesalan putrinya mereda, malah dibalas tatapan tajam. Paul Ral jadi tertawa lagi.

MetronomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang