Finally, I'm Home (End)

61 8 20
                                    

Ini tentang laki-laki yang aku cintai. Laki-laki dengan telapak tangannya yang hangat, pandangannya yang selalu teduh saat memandangku, juga tawanya yang sanggup meruntuhkan lelahnya hati melewati hari-hari yang berat.

Aku mengenalnya. Sosok hebat yang teramat menghargai perempuan. Figur seorang ibu yang selalu melekat di pikirannya, membuatnya begitu hati-hati dalam menjaga langkah dan tutur kata. Meskipun untuk hari ini dan seterusnya dia hanya bisa berteman dengan bayang kasih sayang sang ibu di benaknya, tanpa raga yang nyata.

Apakah ada hal lain yang membuatku jatuh cinta dengannya? Apa itu karena wajahnya yang menawan? Atau badannya yang semampai bak dewa Yunani dalam cerita-cerita kuno?  Tidak. Dia hanya laki-laki biasa. Selayaknya laki-laki yang biasa ditemui ketika melewati coffe shop, berjalan di trotoar jalan besar ibu kota sambil besenda gurau dengan empat kawannya, atau di parkiran supermarket kota kecil dengan motor matic andalan.

Dia laki-laki sederhana. Yang setiap bertemu selalu mengulum senyum di balik masker medis. Tidak peduli apa yang dia pakai, meski kadang selalu merasa tak nyaman dengan apa yang dipakainya karena takut membuatku malu, aku selalu senang melihatnya. Aku senang melihat sosoknya, mendengar suaranya ketika bercerita tentang kesehariannya selama kami tidak bertemu. Lalu menghabiskan waktu bersama hingga tak ada lagi rindu yang menumpuk dalam relung.

Sedihnya adalah sedihku. Dalam setiap pertemuan, aku hampir tidak pernah melihatnya bersedu. Dia benar benar sosok periang. Sebagaimana janjinya yang selalu ingin membuatku senang. Tapi aku tau akan ada masanya seseorang merasa sedih. Pun dengannya. Sampai pada satu waktu, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tangisnya hadir untuk pertama kali. Aku pun ada untuk menenangkannya. Aku bersyukur bahwa hadirku memiliki arti. Tak hanya sekedar pengisi hati.

Aku selalu bertanya-tanya. Selama ini dia hanya hidup seorang diri. Hidup dalam kesunyian sementara keluarga baru tinggal dalam atap yang berbeda. Bagaimana dia melewati hari-hari beratnya seorang diri? Bagaimana bisa tidak ada yang menenangkannya ketika sedih? Apa yang dia pikirkan ketika sedang sedih? Berapa lama dia akan menangis? Mengapa harus dia yang merasakan ini?

Pada akhirnya dia hanyalah laki-laki sederhana yang teramat rapuh dibalik ketangguhannya. Namun aku mencintainya. Teramat mencintainya dengan segala ketidaksempurnaan yang dia miliki.

Jika dia bisa menjadikanku ratu di hati dan hidupnya, mengapa aku tak bisa menjadikannya raja untukku?

Aku mencintainya. Untuk hari ini dan seterusnya, aku ingin selalu ada untuknya. Ada ketika sedih dan senangnya, sebagai pengisi hati juga pelipur lara. Sebagaimana telapak tangannya yang hangat menggenggam tanganku ketika dinginnya hari menusuk diri.

Aku sungguh mencintainya. Semesta pun tau sejauh apapun aku pergi hanya akan pulang padanya, rumahku yang sesungguhnya.




22 June 2021
10:45 PM

Unspoken Words For You That I Never HadWhere stories live. Discover now