1

1.3K 91 1
                                    

Hai... Hai. Mau ingetin kalau cerita ini sudah tamat di KBM APP.

SELAMAT MEMBACA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SELAMAT MEMBACA

"Nuri! Buka pintunya, dek!" Teriakan dari luar pintu kamarku terdengar. Aku memilih mengunci diri di dalam kamar setelah Niko meminta izin pulang. Rasanya duniaku hancur. Aku tahu, aku bodoh. Rela melakukan hal yang dilarang, tapi hatiku terlena dengan bujuk rayuan Rio saat itu.

"Yang, kalau aku hamil gimana?" Tanyaku saat kami berpelukan setelah melakukan itu. Aku tidak memungkiri jika ini pengalaman pertama yang membuat diri ini terlena.

"Ya, aku tanggungjawab. Kan itu anak aku."

"Kamu tidak akan ninggalin aku, kan?" Rio tertawa renyah, "buat apa? Aku cinta sama kamu. Dan saat kamu hamil itu anak aku. Aku tidak mau anak itu lahir tanpa figur seorang ayah."

Aku tersenyum dan mengeratkan pelukan, "terima kasih, ya Yang."

"Aku yang harusnya berterima kasih. Karena kamu, aku menemukan sebuah rumah, bukan persinggahan. Ketika aku lelah berjalan, aku akan kembali kepadamu. Dan kamu akan menyambutku dengan senang hati." Aku mendongak, dan merasakan kecupan lembut di kening. Bibir yang selalu membuat aku nyaman dengan kata-katanya yang lugas penuh keseriusan.

Tapi sekarang seolah bagai buah siamalakama, aku tertawa menertawakan hidupku. Bodoh, kenapa aku sampai begitu percaya dengannya.

"Arggh!" Teriakku melempar alat tes kehamilan yang aku gunakan tadi pagi. Sudah empat merk yang aku gunakan agar lebih akurat, dan hasilnya sama.

Brakk!

"Nuri, apa-apaan ini." Dion menatapku dengan tatapan tajam penuh dengan tanda tanya. Aku sendiri bingung, harus memulai dari mana.

Dion mengambil barang yang tadi aku lempar, "ini apa, Nuri?"

"Kamu hamil?" Tanyanya kembali, akhirnya air mataku kembali luruh. "Hiks... hiks... hiks."

Dion berjalan mendekat, mendekap tubuhku yang bergetar.

Aku rapuh!
Aku bodoh!

"Sttt, sudah maafkan Kakak yang sibuk mengurus firma hingga lupa sama kamu dek. Kakak yang salah, bukan kamu. Kakak tahu diusia kamu pasti butuh bimbingan, tapi malah Kakak sibuk dan mengabaikan kamu." Aku kembali menumpahkan air mata, disini aku yang salah bukan Dion. Tetapi Dion yang merasa bersalah, Ya Tuhan, maafkan aku sudah membuat kecewa dia.

Tangan Dion mengusap pipiku yang masih basah, "lihat Kakak, kamu jangan berpikir pendek untuk melakukan hal yang nekat. Ingat, disini hanya kamu yang Kakak miliki jadi jangan pernah coba kamu melakukan hal yang tidak baik. Bahkan berniat bunuh diri."

Aku melihat tatapan Dion yang tulus menasihatiku. "Jangan lakukan yang dilarang agama termasuk menggugurkan bayi ini. Bayi ini sudah hidup, biarkan dia hidup. Kakak yang akan bertanggung jawab."

"Kenapa Kakak mau melakukan hal ini?" Tanyaku parau, sisa menangis. Aku tahu aku salah atas kehadiran bayi ini. Tapi tidak pernah terlintas dipikiranku untuk membunuhnya.

"Kakak sayang sama kamu, dek. Dan Kakak bahagia saat mendengar bertambahnya anggota keluarga kita. Memang caramu salah, tapi dia tidak salah. Dia anugerah." Tidak ada kata yang mampu aku ucapkan saat ini. Aku bersyukur memiliki Dion, ketika dunia begitu kejam, dia membuka tangan dan menerimaku suka cita.

"Sekarang jangan nangis lagi, ayo kita makan malam. Tadi Kakak beli makanan kesukaan kamu. Moga aja cocok sama dia." Mengacak rambutku, Dion keluar dari kamar. Aku bergegas menuju kamar mandi dan mencuci muka.

Sekarang aku tidak boleh egois, ada dia yang harus aku lindungi. Mengusap perutku yang masih datar, "Ibu akan jaga adek, jangan takut akan dunia ini. Ibu selalu ada buat adek."
Aku meyakini bahwa ini takdir yang harus aku jalani. Meskipun susah, aku yakin pasti bisa.

"Sini duduk," ujar Dion menepuk kursi di sampingnya. Aku menatap semua menu yang terhidang di meja makan.

"Kakak menang dalam sidang?" Tanyaku, dia tersenyum dan mengangguk. "Bukan menang saja, tapi Kakak dapat tawaran jadi pengacara di perusahaan mereka. Sekaligus penasihat hukum, jadi Kakak dapat dua gaji sekaligus."

Aku tahu bahwa Dion bukan orang yang bisa dipandang sebelah mata. Ketekunannya di dunia hukum membuatnya menjadi pengacara ternama di kota ini. Bahkan dulu aku ingat, Dion sering belajar bersama Papa saat kuliah. Belajar melobi, menyerang, bertahan saat sidang, semua itu dia pelajari dari mendiang Papa.

"Aku bangga sama Kakak."

"Yasudah, sekarang makan. Kakak nggak mau kamu kelaparan apalagi ada malaikat yang bersemayam disini." Tangannya menyetuh perutnya sendiri, seolah ia ikut mengandung.

***

Pagi ini aku berniat untuk berkunjung ke rumah sakit. Tadi malam Dion sudah berjanji kepadaku untuk menemani saat pemeriksaan. Meneteng tas aku berjalan keluar kamar.

"Ayo sekarang, tadi Kakak sudah daftarkan kamu." Dia memasukkan poselnya setelah memperlihatkan nomor antrean kepadaku.

Aku menatap ramainya lalu lintas pagi ini, semua orang seolah dikejar dengan waktu. Semua itu mereka lakukan pasti tidak terlepas dari uang.

Tersenyum miris aku mengusap perutku, aku memang memiliki uang meskipun bukan dari kerja kerasku saat ini dan juga harta peninggalan Papa, aku rasa masih cukup membiayai sampai dia besar. Malangnya dia, dia tidak kekurangan secara finansial tetapi dia akan kehilangan figur seorang ayah.

"Atas nama Nyonya Nuri Wijayanti." Panggilan suster menginterupsiku untuk masuk ke ruang praktik khas dokter kandungan.

Suasana hatiku teiris saat aku melihat foto-foto bayi yang begitu lucu. Tetapi remasan aku rasakan di tangan, Dion menatapku dan mengangguk seakan dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengusap air mataku yang turun tidak tahu tempat, aku mengikuti langkah kaki Dion.

Kami duduk di depan meja kerja seorang dokter wanita. Tersenyum dia menanyakan beberapa keluhan yang biasa dialami seorang calon Ibu.

"Baiklah, kalau dihitung dari terakhir menstruasi ini masuk lima minggu. Coba kita lihat kondisinya pakai USG." Ajaknya menyuruhku untuk merebahkan tubuh di ranjang dengan disampingnya ada beberapa alat khusus.

Aku terbaring di ranjang dengan bagian perutku terbuka dan terasa dingin. Tak berselang lama dokter Liana datang dan mengarahkan alat untuk melihat keadaan janinku. Semua nampak normal, dia berkembang dengan baik meskipun masih berbentuk kantung.

Ada rasa bahagia menyeruak saat melihat pertama kali dia, dia yang tidak pernah aku bayangkan ternyata hadir di tubuhku. Bahkan sekarang dia bergantung kepadaku.

"Semuanya sehat, janinnya juga berkembang baik. Ini saya kasih vitamin, oh iya jangan banyak pikiran ya Bu. Hamil awal trimester pertama itu agak riskan, jadi sebaiknya jaga emosi Ibu. Biar kondisi janin juga sehat." Nasihat dokter Liana yang aku dengar sekilas, aku masih termangu melihat foto hitam putih yang aku genggam.

"Baik dok."

"Bapak harus jaga emosi Ibu ya, jangan buat masalah dengan Ibu hamil. Soalnya emosinya tidak stabil. Maklum perubahan hormon." Lanjutnya.

Selesai dengan itu, kami pergi meninggalkan klinik. Dion juga harus bekerja, mana mungkin aku mengganggunya kembali. Sudah baik dia mau menemaniku disini.

"Kunci pintunya, kalau mau pergi bilang sama Kakak. Jangan banyak pikiran, ingat apa nasihat dokter tadi." Ujarnya sebelum meninggalkanku di rumah sendirian.

Tbc

Lembaran Kedua ✔ (KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang