2

1.1K 83 0
                                    

Cerita ini sudah aku publis di KBM APP sampai tamat ya gaes.

Cerita ini sudah aku publis di KBM APP sampai tamat ya gaes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca

Selepas mengantar Dion pergi ke kantor, aku masuk ke rumah. Nampak sepi, hanya ada aku sendiri. Setelah kejadian tiga tahun lalu yang merenggut Papa dan Ibu, aku merasakan kesepian di hidup ini. Setiap pulang sekolah, biasanya aku disambut senyuman Ibu tapi sejak peristiwa itu, hanya kesunyian yang ada di rumah ini.

Aku menikmati kesunyian ini, menyesap susu yang tadi sempat kami beli diperjalanan pulang.

Suara ponsel menyapa indera pendengaran, aku merogoh tas yang tadi aku bawa saat pergi. Mengeluarkan dan melihat sebuah nama yang kemarin membawa kabar buruk, siapa lagi kalau bukan Niko.

"Hallo?"

"Jadi gimana? Mau datang apa enggak?" Tanyanya tanpa menjawab salamku, aku termenung sesaat, kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Aku sangat menyayangi calon anakku, bagiku dia segalanya. Dan pilihanku, aku tidak akan mempertaruhkan kondisiku saat ini demi menghadiri pernikahan Rio.

"Enggak, aku di rumah saja. Lagian buat apa datang, bagiku semua sudah selesai saat dia kasih undangan sama kamu, Nik." Jelasku. Niko nampak menghela nafas lega.

"Aku juga berpikir kaya gitu. Yasudah kamu istirahat lagi ya." Aku mengangguk, meskipun Niko tidak akan melihatnya. Mematikan ponsel aku menghabiskan susu di atas meja.

"Semua sudah berakhir." Kataku mencoba meyakinkan kepada diriku bahwa hubungan kami tidak bisa diselamatkan lagi. Bagiku haram memiliki hubungan dengan orang yang berstatus suami orang, terlepas dia mantan pacar.

"Semua kata-katamu tidaklah benar, Rio. Hanya janji semu yang kau agungkan, dan ingat jika kamu ingin melihat dia kelak, aku tidak akan mengizinkan. Dia anakku, bukan anakmu!"

Aku menatap langit-langit kamar, teringat sesuatu aku menoleh ke arah nakas. Pandanganku tertuju pada foto yang kami ambil sekitar enam bulan yang lalu. Bergegas aku mengambilnya dan membuang ke tempat sampah, bagiku semua barang yang berkaitan dengannya adalah kenangan buruk. Kecuali kamu, Nak.

Jangan jadi seperti Ayahmu kelak, ya Nak.

Tak terasa mataku terasa berat dan aku jatuh terlelap ke dunia mimpi. Biarlah kesedihanku hilang untuk sementara, hanya itu yang aku inginkan.

***

Kasak kusuk aku mendengar sebuah notif chat grup masuk. Aku yang merasa terganggu sontak mengambil ponsel dan menonaktifkannya. Memijat pelipisku yang terasa pusing mendadak, aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua siang. Aku hampir lupa untuk makan siang.

Aku berjalan menuju meja makan, betapa kegetnya aku melihat wanita paruh baya yang sudah lama aku rindukan. "Wah, Buk Ning. Kok disini?" Tanyaku saat aku melihat wanita paruh baya itu tersenyum dan mempersiapkan makan siang.

"Tadi Ibuk datang saat kamu sedang tidur. Ibuk dijemput Dion dari stasiun. Ibuk disuruh menjaga kamu disini." Jelasnya. Buk Ning itu adik dari Papa yang sudah aku anggap sebagai pengganti Ibu sekarang.

"Ibuk disini akan lama? La terus Om Tere gimana?" Tanyaku, saat Buk Ning menyuruhku untuk duduk di kursi meja makan.

"Bapak kan bisa sama anak Ibuk yang terakhir. Lagian Bapak juga menyetujui Ibuk disini, jaga kamu sama calon cucu Ibuk." Ucapnya mengusap rambutku halus. Usapan yang begitu aku rindukan setelah Ibu pergi. Usapan yang membuatku merasa tenang.

"Buk Ning sudah tahu?" Tanyaku menunduk. Aku takut jika Buk Ning kecewa atas apa yang telah aku lakukan.

"Ayo lihat mata Ibuk. Ibuk sayang sama kamu Nuri, bagi Ibuk kamu anak perempuan Ibuk. Waktu dengar kabar itu Ibuk sedih sekaligus bahagia. Sedih karena tidak bisa menjaga kamu terlepas kesalahan yang kamu lakukan. Senangnya Ibuk, Ibuk akan menjadi Nenek." Jawabnya, hatiku terasa tersentuh akibat ucapan Buk Ning. Aku menghamburkan tubuhku ke wanita paruh baya yang berada dihadapanku ini.

Kami sama-sama menangis, aku yang menangisi takdir dan kebodohanku. Tetapi aku juga bersyukur masih ada saudara dan orang yang begitu peduli kepadaku. "Sttt, sudah jangan nangis. Kata orang dulu, orang hamil itu harus senang terus. Jangan sampai sedih. Pamali, nggak bagus buat kesehatan bayi."

Tangan Buk Ning menghapus air mataku, "Dia anugerah. Jangan kau sesali, semua sudah menjadi takdir. Sebagai makhluk ciptaan-Nya kita hanya bisa menjalaninya." Aku mengangguk, menghapus jejak air mata.

"Sekarang kamu cuci muka kamu, kita makan bersama. Ibuk sudah masakan makanan dari kampung buat kamu. Semoga saja suka." Aku mengiyakan perkataan Buk Ning.

Selesai itu, aku kembali duduk dan melahap masakan yang dibawanya dari kampung. Semuanya pas di lidahku.

"Dia nggak rewel, kan?" Tanya Buk Ning, saat melihatku mengusap bibirku setelah selesai makan.

"Tidak Buk, dia pintar. Bahkan Nuri tidak merasakan namanya muntah-muntah saat pagi hari. Bahkan Nuri bisa makan makanan apa saja." Jawabku, Buk Ning mengusap dadanya. "Syukurlah, Ibuk merasa lega. Dulu kalau Ibuk ingat-ingat saat hamil. Ibuk itu rewel, sedikit-dikit muntah, cium bau menyengat muntah. Bahkan makanan yang biasanya Ibuk suka saja harus Ibuk hindari."

"Apa sesusah itu Buk?" Buk Ning mengangguk, "hamil anak pertama bahkan sampai tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Hamil anak kedua hanya muntah-muntah, tapi bisa ke kebun. Yang parah itu hamil yang terakhir, padahal usia kandungan sudah tua tapi tetap saja muntah dan pusing." Ceritanya panjang lebar. Aku bersyukur bahwa di kehamilan ini aku tidak seperti Buk Ning, seolah dia tahu bahwa dia hidup hanya dengan Ibunya saja.

Terima kasih, Nak.

"Vitaminnya sudah diminum?" Ujar Buk Ning saat aku akan kembali ke kamar tidur. Aku menggeleng, "ayo diminum dulu biar dia sehat. Jangan sepelekan sesuatu hal yang kecil. Soalnya hamil itu susah-susah gampang."

Aku menurut saja, meminum vitamin yang tadi diberikan.

"Buk Ning, istirahat saja. Biar Nuri yang membersihkan ini semua." Buk Ning tersenyum dan menggeleng.

"Kamu tidak berubah ya Nur, saat di kampung dulu sering bantuin Ibuk sekarang sudah hidup di kota masih sama." Ujarnya. Dulu sebelum kami hidup di kota, keluarga kami sempat hidup di kampung sebelum Papa lulus kuliah.

Katanya saat menikah Papa sedang menempuh pendidikan untuk sarjana hukumnya. Dan Ibu memilih untuk hidup di desa agar tidak membebani Papa. Setelah lulus dan karir sebagai pengacara sudah menghasilkan, Papa baru memboyong kami ke kota.

"Ibuk bisa saja, Nuri masih sama. Cuma bedanya Nuri sudah besar sekarang." Jawabku, tanganku bergerak membersihkan meja makan dari piring dan gelas kotor sisa kami makan siang.

Tbc

Lembaran Kedua ✔ (KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang