Satu

23 7 1
                                    

Bagaimana cara mengontrol emosi? Take a long breath, cara ini sangat ampuh ketika aku emosi dan tidak lupa ditambahkan dengan istighfar.

Belajarlah untuk diam selama 12 detik saat kamu sedang marah. Pada situasi ini, IQ seseorang akan menurun hingga 0, dan kebanyakan orang akan terjebak selama 12 detik. Menahan kata-kata yang ingin kamu lontarkan saat marah dan tunggu beberapa saat sampai 70℅ biasanya menyelamatkanmu dari penyesalan di masa depan. Karena itulah kita sering kali mendengar ucapan jangan mengambil keputusan saat sedang marah.

Aku sudah sering menerapkan teori seperti itu, selalu diam dan menarik napas dalam-dalam seraya menghitung maju dari angka 1 sampai 10. Hasilnya? Tidak terlalu mengecewakan.

“Mau kemana?”

Kudengar suara serak khas wanita bangun tidur disekitarku. Aku menoleh, dan menemukan Priska—mantan kekasihku, yang sedang berusaha duduk dengan tubuh yang hanya terbalut dengan selimut.

“Kamu mau kemana?” tanya Priska lagi. “Mau ninggalin aku lagi?” tambahnya, melihat aku yang sedang memakai kemejaku semalam saat tiba di kamar kost Priska.

“Mau ke toko.” Jawabku, seraya melihat-lihat tempat Priska melempar celanaku semalam. Bukan, aku bukan sedang mengingat moment semalam saat kami melakukan testing senikmat apa surga dunia. Aku, sedang kehilangan celana dalam alias colorku, karena itulah aku sedang mencari-cari itu disekitar tempat Priska melempar celanaku semalam.

“Ambil aja dilemari aku, masih ada kan baju-baju kamu. Jangan pake yang bekas semalam, Ram.”

Aku mengangguk, kemudian membuka lemari Priska.

“Baju-baju aku masih banyak ternyata disini.” Kataku malas. “Kirain udah kamu buangin.”

“Ngapain aku buang? 'Kan, itu baju-baju kamu.”

Aku tersenyum sinis sambil memakai celanaku. “Emang, kalau si Ilyas kesini nggak suka buka lemari kam, nyari baju ganti?”

Priska tertawa geli. “Kami belum ngapa-ngapain, Ram. Pacaran kami belum sejauh itu.”

Setelah selesai memakai pakaianku kembali, aku duduk di karpet berbulu yang ada di bawah kasur Priska, memakai kaus kakiku aku terdiam saat dia—Priska, memeluk leherku dari belakang. Dulu, saat masih bersamanya saat dia sedang memeluk tubuhku atau leherku dari belakang ketika aku akan pergi ke toko adalah hal yang paling aku sukai. Namun saat ini, momen-momen seperti ini sudah tidak berarti apa-apa lagi bagiku. Rasanya hambar, tidak ada detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak ada senyum yang menghiasi wajahku karena bahagia, tidak ada. Semua itu tidak ada lagi.

Dulu aku tidak pernah membayangkan sehancur apa aku nanti jika melihat dia dimiliki orang lain. Karena itulah aku menurutinya, melakukan semua hal yang dia mau agar dia tetap bersmaku. Namun saat ini karma sedang berkata, orang yang sedang memelukmu saat ini adalah orang yang dengan tega mengkhianatimu. Dia, dengan brutal menghancurkanmu. Dia, berbuat curang kepadamu. Sekarang aku tidak pernah lagi membayangkan akan sehancur apa aku nanti, saat ini yang selalu aku bayangkan adalah bagaimana dia saat karma sudah membalaskan perbuatannya padaku. Akan sehancur aku kah dia nantinya?

Katanya, self healing itu tentang menerima dan memaafkan yang sudah terjadi. Jadi ketika kita keliling dunia sekalipun untuk self healing namun ketika pulang kerumah hati kita tetap kosong, artinya tujuanmu adalah dirimu sendiri.

Karena itu aku sedang berusaha membantu karma membalaskan dendamku dengan cepat. Aku pendedam, prinsipku adalah mata dibalas mata.

Jika seseorang mengkhianatiku padahal sudah kulakukan semua yang terbaik yang kubisa berikan padanya. Maka, rasa sakitlah yang akan kuhadiahkan padanya. Beribu-ribu kali lipat dari rasa sakit yang dia berikan padaku.

“Aku jalan ya.” Kataku.

Namun Priska menahan tubuhku untuk tetap duduk. Dia masih memeluk leherku, kepalanya berada di bahuku sebelah kiri. Hayolah, mau apa lagi dia. Aku... Sudah puas menikmati tubuhnya semalaman.

Ini bukan pertama kalinya kami berhubungan, setelah dia mengatakan kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dan dia lebih memilih pacar barunya saat ini sudah lebih dari sepuluh kali kami berhubungan. Dia—Priska, tidak pernah mengusirku saat aku datang dan dia tidak pernah menolak saat aku ajak. Jadi, jangan salahkan aku jika aku memanfaatkan tubuhnya untuk kepuasanku sendiri.

Kuhela napsku sekali. Lalu aku melapaskan lilitan tanganya dari leherku dengan paksa.

Aku memutar tubuhku, menatap Priska yang telengkup tidur diatas kasurnya.

“Pris,” kataku, memanggil namanya dengan lembut. “Aku harus ke toko.”

Seperti yang kuduga, Priska langsung duduk kembali. “Nggak masih pacaran, nggak juga pas udah putus. Toko kamu itu selalu lebih penting kayaknya dari pada aku.”

“Dulu kamu lebih penting dari pada tokoku.”

“Tapi kamu nggak pernah punya waktu buat aku.”

“Coba kamu pikir,” kataku. “Setiap kita ketemu, kamu selalu mulai buat berantem wajar kalau waktu kita ketemu cuma sebentar. Kamu yang buat waktu kita berdua jadi sebentar.”

Priska memandangku datar. “Kamu nyalahin aku?”

“Iya.”

Priska tersenyum sinis kali ini. “Seolah-olah kamu nggak pernah buat salah gitu, ya?”

“Sebutin aja,” kataku cepat. “Sebutin salahku sampai 10. Kalau ada 10 kesalahan yang emang aku lakuin tanpa kamu buat-buat salah itu jadi salah aku, aku akan sujud-sujud minta maaf sama kamu sekarang.”

“Kamu nggak punya waktu buat aku.”

“Terus?”

“Kamu sibuk.”

Aku menggeleng tak percaya seraya tersenyum. “Lihat 'kan? Kesalahan aku itu cuma sibuk dan nggak punya waktu buat kamu. Aku yakin, delapan lainnya nggak ada. Kesalahan aku itu cuma dua. Sibuk dan nggak punya waktu.”

Priska mengumpat kasar. “Ya tetap aja itu salah! Aku selingkuh juga karena kamu!”

Yah, beginilah kelakuan seseorang yang berselingkuh. Rata-rata memang selalu seperti ini, tidak mau salah dan intropeksi malah selalu menyalahkan pasangannya balik.

“Selingkuh yah selingkuh aja, kenapa harus marah dan pake pembelaan sampah ini karena aku?”

“Karena itu memang salah kamu.” Katanya.

“Yaudah itu salah aku. Terus?”

“Terus apa?”

“Terus ngapain kita bahas ini salah siapa sedangkan hubungan kita aja udah berakhir.”

“Kita bisa aja balikan.”

Balikan, kuulangi lagi kata-kata itu dan tersenyum sinis. Dan apakah ceritanya akan berubah jika kami kembali bersama? Kurasa tidak, karena jika kami kembali bersama aku yakin dia akan kembali meninggalkan aku dengan alasan yang tak masuk logika. Apakah saat ini dia sedang pura-pura lupa, perihal rasa sakit yang dia berikan padaku baru-baru ini?

“Kamu yakin aku masih mau balik ke kamu?” kataku.

“Iya,” jawab Priska cepat. “Kamu selalu datang nemuin aku, aku—”

“I am horny.”

Setelah mengatakan itu aku berdiri dan melenggang pergi keluar kamar, meninggalkan Priska yang aku yakin sebentar lagi akan menangis. Kulihat wajahnya sudah berkaca-kaca tadi saat aku mengatakan kalimat itu. Karena itulah aku meninggalkannya pergi karena untuk apa aku melihatnya menangis? Saat ini aku lebih menyukai saat dia telanjang dari pada menangis. Iya, maki saja aku, katakan aku brengsek, tapi...

... Kalian pasti tidak akan menyangka jika proses memaafkan seorang yang mengkhiantimu itu sebangsat ini rasa sakitnya.

*****

Serigala Jantan (Anya Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang