"SUDAH BERAPA KALI BAPAK BILANG UNTUK BERHENTI BERHUBUNGAN DENGAN TENTARA LAUTAN GILAMU ITU LIA?!"
Suara ayahnya menggelegar mengisi rumah itu, tangannya meremat sepucuk surat yang telah direbut paksa dari penerima aslinya. Ayahnya marah besar padanya, hanya karena ia masih berhubungan dengan Bahar, satu satunya orang yang ia cintai dan berani berkali kali mempersunting dirinya tanpa kapok akan usiran ayahnya. Ia terduduk diam disamping anak tukang ikan itu di ruang tamunya, matanya meneteskan air mata. Lia tidak suka dibentak, tapi ayahnya tak pernah mengerti dan cara ia memarahi hanyalah membentak. Di tengah tengah keributan inipun lia masih sempat mengenang Bahar yang selalu berperilaku halus pada dirinya terlepas tegasnya ia saat bertugas.
"KENAPA KAMU BERANI MELAWAN BAPAKMU SENDIRI DEMI TENTARA ITU?! APA DENGAN SURAT SURAT INI IA CUCI OTAKMU AGAR BERANI MELAWAN BAPAK, BEGITU?" ibunya kelabakan menenangkan suaminya, kasihan melihat anak bungsunya berlinang air mata karena ayahnya sendiri. Namun kakaknya surya bersama dengan kak iparnya pulang di waktu yang salah. Pukul 10 pagi dimana harusnya keluarga itu makan pagi, malah terjadi keributan besar di rumah itu hanya karena sepucuk surat yang terkirim terlalu cepat.
Surya tak tega melihat adiknya menangis seperti itu, ia berusaha menenangkan ayahnya agar berhenti membentak bentak adiknya yang semakin ketakutan. "Pak, janganlah begitu dengan adek, bagaimana bapak mau Lia melupakan Bahar sedangkan laki laki yang memperlakukannya halus hanya Bahar?" pilihan kalimat yang buruk, Surya. Kau hanya menambah masalah baru pada adikmu.
"Oh jadi karena itulah lia lebih suka melawan bapak? Karena rayuan mendayu-dayu yang diberikan si tentara itu telah mencuci otak lia agar lebih hormat pada lelaki asing ketimbang bapaknya? Bapak ini mendidik dia agar tidak jadi anak kurang ajar!" ayahnya seperti tak ingin menyelesaikan masalah ini tanpa jawaban yang di inginkannya. Bukannya diam, ayahnya malah melebih lebihkan semua hal. Barang kali suasana hatinya sedang buruk karena tidak mendapatkan penumpang hari ini. Kakak iparnya tidak peduli dengan keributan itu, ia lebih memilih memperbaiki solekan di wajahnya daripada mendengar keributan tanpa henti di ruang tamu itu.
Taufan sendiri mulai tak tahan melihat sahabatnya di bentak habis habisan oleh ayahnya sendiri. Maka ia mulai membuka suara demi membela lia.
"Pak, mohon maaf saya lancang membantu kegiatan surat menyurat tanpa restu yang dilakukan anak bapak, tetapi alangkah baiknya bapak untuk menimbang nimbang kembali soal orang yang telah menjadi dermaga bagi hati lia untuk berlabuh. Karena bagaimanapun hati lia tertambat disana dan kita tak dapat menyangkal cinta pak." Tetapi bukannya anggukan mengerti atau sekadar diam renungan yang didapat, ia malah mendapatkan cap tangan gratis dari ayah lia tepat di pipi sebelah kanannya. Tamparan itu keras sekali sampai giginya terasa sakit dan tubuhnya terhuyung ke kiri.
"anak kurang ajar, pantas liaku menjadi kurang ajar rupanya berteman dengan anak nelayan kurang ajar seperti kau. Siapa namamu tadi? Taufan? Akan ku ingat namamu dan wajahmu nak taufan, angkat kakimu dari rumahku dan jangan sampai kulihat lagi wajahmu disini!"
Taufan memang sudah biasa menerima negosiasi harga ikan ikannya namun ini pertama kalinya ia menerima usiran. Maka ia berpamit pada keluarga itu dan pergi mengayuh sepedanya pulang ke rumah dengan cap merah tanda resmi kepengusiran di pipi kanannya.
Setelah kepergian dari Taufan, kemarahan ayah lia mencapai puncaknya, ia merobek surat bahar itu menjadi kepingan kepingan kecil dan di lemparnya di depan anak gadisnya itu. Kemudian seakan tak bersalah ia masuk ke dalam kamar mandi dan memutuskan untuk mandi. Ibunya tanpa niatan menenangkan anak bungsunya, kembali ke warung yang ditinggalkannya nyaris 1 jam hanya demi acara surat illegal itu. Hanya kak Surya yang bersedia menenangkan adiknya, memunguti kepingan kertas itu dan mengumpulkannya di tangan Lia, tangisnya semakin menjadi jadi melihat keadaan surat putih itu yang kini terbelah belah menjadi beberapa bagian, ia takut tak dapat membaca surat Baharnya itu.
"Lia, maafkan kakak ya? Maafkan ayah juga, mungkin saja suasana hatinya sedang buruk karena penumpang dikit atau tidak ada sama sekali hari ini. Mari kita ke kamar, perbaiki suratnya ya?"
Kak surya itu orangnya lembut sekali, meski ia pro ayahnya agar adiknya tidak berhubungan dengan Bahar, ia masih tetap menyayangi adik semata wayangnya itu. Mereka berdua masuk ke dalam kamar lia dan mulai menyusun kepingan kertas itu. Semakin tersusun menjadi satu, semakin berlinang juga air mata Lia melihat keadaan surat itu. Direkatkannya satu sama lain menggunakan selotip yg diambil Surya dari warung ibunya.
Surat itu kembali utuh dengan baik, sedikit terbaca oleh surya bahwa surat itu mengabari adiknya bahwa si tentara laut itu akan cuti dan berkunjung kemari. Ia menghela napas, tau sang ayah akan kembali mengamuk akan kelakuan sejoli yang tak pernah kapok itu.
"Lia, kenapa kau tak mau mendengarkan bapak? Nurut saja sama bapak, toh Rendra juga orang baik baik seperti Bahar, uangnya banyak dan waktu yang bisa kalian habiskan berdua juga tak kalah banyak ketimbang tentara yang tak tau kapan pergi dan tak tau kapan pulang." Surya sekali lagi berusaha menasehati adiknya. Ia tau sedari dulu adiknya itu anak yang bebal, nasehat nasehat yang diberikan mereka sekeluarga hanya bagaikan angin lalu. Telinganya seakan tembus satu sama lain, nasehat mereka masuk dari kuping sebelah kanan kemudian keluar dari kuping sebelah kiri tanpa diserap ke dalam otak. Sesuai dengan ekspektasi surya, adiknya mulai mengeluarkan kalimat pembelaan.
"Kak Surya tahu betul lia cinta dengan Bahar kak, lalu kenapa abangpun tak restu? Masalah waktu bersama, selama ini kami juga jarang bertemu kak. Daripada lia bersama Rendra si buaya sok soleh, lebih baik Lia menunggu dengan sepi sendirian di rumah tanggaku bersama Bahar nantinya!"
Tanpa niatan membela diri kembali, surya pergi dari kamar adiknya dan tak lupa menutup pintu. Ia biarkan adiknya tenang dulu agar bisa dinasehati lebih mudah pikirnya. "jangan lupa makan, lia." Bahkan setelah diteriaki adiknya sendiri, ia masih ingat untuk menyuruh adiknya makan. Jadilah istri author kak surya, tinggalkan saja kak ipar itu..
Ketika pintu kamar ditutup, Taufan menyembul dari balik jendela kamar lia. Anak ini sama bebalnya, sudah ditampar masih tidak kapok. Mengayuh sepeda pulang ke rumah apanya, ia pergi dari depan rumah tetapi belok lagi dan masuk dari pagar samping.
"Aku tak akan pergi sampai kau selesai menangis Lia, kalau Bahar tau kekasihnya menangis seperti ini dengan adanya keberadaanku, kepalaku akan dilempar dengan sepatu kerasnya itu, sudahlah aku dapat cap usir dari ayahmu, jangan pula aku dapat cap marah dari sahabatku." Taufan berucap sambil memamerkan pipi kanannya yang masih kemerahan itu, sontak Lia tertawa dan lupa bahwa ia sedang menangis. "Aku telah berjanji padanya agar kekasihnya ini tidak menangis sedikitpun selama ia pergi, sedih hatinya kalau tau kekasihnya menangis seperti ini" Taufan melanjutkan perkataannya.
"sekarang ada baiknya kau makan, Bahar akan sedih bila tau kekasihnya belum makan, sana makan!" Taufan mengusir lia dari kamarnya sendiri, suasana hatinya membaik, ia keluar dengan wajah berseri seri sampai surya merasa adiknya ini begitu aneh karena baru saja ia menangis kemudian ia sudah keluar dengan wajah bahagianya.
Saat dimana pintu kamar Lia kembali tertutup, Taufan merosotkan tubuhnya dan terduduk sambil bersandar di dinding luar rumah itu. Ia termenung, berpikir, mengapa ia harus melakukan ini pada dirinya sendiri? Membohongi dirinya sendiri, mengorbankan dirinya, melawan perasaan yang bergejolak di hatinya hanya demi persahabatan yang dibangun selama 7 tahun itu.
"Aku juga mencintaimu, Lia. Kapan perasaanku akan sampai padamu.."
KAMU SEDANG MEMBACA
1001 Coretan [4/?] Beomgyu X OC ft. Tomorrow X Together
FanfictionLia yang tak bisa menyangkal cintanya pada sang pujaan hati, Bahar. Ditentang keras oleh keluarga yang tak suka akan si abdi negara, juga terhambat jarak yang membentang antara rumah keluarga Lia dan pangkalan utama, membuat mereka berdua berkomunik...