Bujang

15 2 5
                                    

Pada sore hari yang terasa sedikit menyengat ini, aku berjalan pelan bersama temanku, Iswara Kanagara. Kota kecil ini menyuguhkan sedikit panorama yang berbeda, dibandingkan dengan kota yang terakhir kali kami kunjungi. Namun sayang, kami harus meninggalkan kota ini pada petang mendatang.

Korek api menyala, kami berdiri di borders kereta, hari itu tiket duduk habis ludes. Iswara justru bersyukur, dia bisa menyalakan rokok saat habis waktu sore.

" menurutmu bagaimana? "

" aku ingin menetap, is, kalau bisa... "

Sudah 26 tahun dan dia 27 tahun mendahuluiku satu tahun. Dunia terasa sangat-sangat tua bagi kami berdua. Aroma-aroma cinta yang suka dibikin bercandaan sudah tidak tercium. Aku sendiri agak bosan dengan isu-isu semacam itu. Pembicaraan kami telah berubah, kini menjadi bagaimana menjadi cukup dan tidak selalu merasa kurang. Pun telah lelah berdebat tentang konspirasi-konspirasi konyol negara ini. Sampai pada titik menyerah untuk mencari mimpi, pada usia semuda ini.

Iswara menyulut sebatang rokok tanpa filter favoritnya. Aku meneguk habis isi soda di kaleng.

" bukankah terlalu sepi? Juga nggak banyak pekerjaan yang bisa kamu temui... "

" justru jadi pengangguran 1 atau 2 bulan nggak masalah is... "

" Bodoh!! "

" hahahahaha..."

Roda besi di bawah kami menggoyang-goyang tubuh yang terasa lelah di sore hari yang mulai dimakan gelap ini, juga angin malam yang mulai memasuki udara sekitar. Bordes kereta ini menjadi satu-satunya tempat teraman bagi kami untuk menyalakan sebatang rokok. Iswara mengetuk-ngetuk ujung rokok pada kaleng sodaku yang sudah kosong. Jejak hitam-hitam muncul di sekitar bibir kaleng.

" aku nggak setuju... "

" kenapa? Kamu sendiri lihat, betapa tenang dan lengangnya kota itu? "

" hampir bisa kamu sebut kota mati! "

" nggak, Is, ngawur kamu... "

" apa bundamu bakal mengijinkan? Aku rasa nggak, Kala... "

" aku 26 tahun, berhak atas hidupku, Is... "

" pun hidupmu itu bukan tentang dirimu sendiri... "

Aku terkikik kecil, sampai nggak kedengaran, orang bilang jadi senyum miring saja. Kalau dipikir lagi, aku ini selalu memikirkan orang lain, di atas masalahku sendiri. Aku makhlum, Iswara bicara begitu padaku.

" aku keukeuh... "

Di samping goncangan rel kereta yang makin keras dan roda berputar semakin cepat. Aku dengar hela nafas sesak Iswara. Aku paham, kami telah berteman sangat lama, pasti kekhawatiran muncul di dalam pikirannya tentang keputusan ku ini.

" kamu bisa berhenti merokok? " Tiba-tiba aku bertanya seperti itu, ikut kaget aku mendengarnya.

" Kenapa? "

" Gakpapa, agak sesak..." Kataku agak ngawur, jujur aku tidak pernah berkomentar apapun soal kebiasaan merokok nya itu, sesekali bahkan aku pernah ikut.

" Kalau begitu begini, aku berhenti dan kamu nggak akan pindah... "

" apa? "

" aku berhenti merekok, kamu nggak akan menetap di kota itu... "

" Kesepakatan macam apa itu? " aku hanya berniat mengalihkan pembicaraan tapi dia membuat kesepakatan seenaknya.

" yang sangat sebanding... "

" Aku tidak membuat kesepakatan, cuma bertanya..."

" apa-apaan... "

" apa? "

Kami diam sejenak, memandangi jendela kecil dengan pemandangan yang selalu berubah-ubah. Perlahan kereta ini menuju kota yang penuh sesak lagi, kali ini lampu-lampu kecil mulai kelihatan. Kadang hanya memandangi hal seperti itu kami menjadi sangat tenang. Aku masih ada bunda, ayah dan juga Iswara, hidupku tidak kurang satupun, kecuali aku yang selalu melabeli diri sendiri sebagai seorang yang kurang.

Kadang-kadang sependek usiaku saat ini, bunda bertanya, punyakah aku seseorang yang ingin aku jaga sampai mati, menjadi temanku sampai akhir dan aku yang selalu memberi jawaban kepada diriku sendiri, tidak ada orang yang selalu tinggal sampai akhir.

Meskipun jelas melihat Iswara memandang arah yang sama denganku, tapi mungkin aku tidak akan seberani ketika aku sudah memutuskan untuk tinggal di kota yang bukan kota itu. Aku dan dia paham tentang luka-luka yang pernah kami alami, tentang cita-cita dan seorang rumah, kami pernah kehilangan itu, sore ini menjadi konotasi yang tepat bagi seorang Iswara yang selalu merindukan dia, sedangkan aku selalu ingin lari dari kenyataan. Konyal bukan? tertawalah kalian, iya ini tentang putus cinta yang sudah lelah kami hadapi.

Lalu perempuan seperti apa yang pernah singgah dalam hidup seorang Iswara? jelas seorang yang paling gemilang, paling bersinar bak alpha century begitu aku membuatnya sangat hiperbolis, karena memang iya. Sedangkan aku mengingat Iswara Kanagara sebagai satu-satunya laki-laki yang aku terima di sisiku, cukup kontradiktif.

" Kenapa memilih kota itu?" sudah agak lama kami diam dan dia mengeluarkan pertanyaan yang sama. Kereta sudah cukup sepi ketika berhenti 10 menit di stasiun kecil dibagian kota tempat kami tinggal dan kami akan turun di pemberhentian berikutnya.

" kenapa harus pindah?" dia mengubah pertanyaan.

Mata kami bertatapan, jelas aku tidak akan bisa membuat suatu alasan yang logis atau kebohongan yang bagus.

" memberi jarak di antara kita, Is... "

Iswara mengihirup nafas pendeknya, " kenapa? "

" bosen ngelihat mukamu terus, hahaha... " aku berharap kereta ini melaju dengan cepat, tawaku tidak akan bisa membuat tatapan dinginnya menghangat.

" aku tanya kenapa? "

" Is, sudah waktunya... "

" Untuk? "

" Aku merelakan perasaanku, tolong jangan bertanya kenapa, aku hanya ingin... "

Kereta melewati jembatan kota yang tinggi, lampu rumah-rumah menjadi cahaya kecil yang berkelap-kelip. Tubuh sudah sangat terasa lelah, tapi hatiku merasa sangat lega. Namun wajah Iswara menjadi gusar.

" Apa lagi yang kamu ragukan, Kala? "

Aku menggeleng, mengusap leher belakangku yang tertiup angin kecil dari jendela pintu kereta yang sudah agak tua.

" Ayo menikah"

Aku sudah tidak asing lagi dengan matanya, tapi saat kami beradu tatap ketika Iswara mengajakku menikah dengan mata merah hampir menangis dan muka gusar aku merasa asing dengan cahaya matanya itu.

" Ayo menikah denganku, Kal, tidak perlu memberi jarak di antara kita... "

-dan mendengar senggukan kecil ketika melihat wajahnya yang memerah di kegelapan lampu kecil berwarna kuning di atas kami, aku semakin tidak mengerti.

" Ayo menikah... "

Aku yang diam dan memandanginya dengan kosong, hingga pipiku rasanya basah, kakiku agak lemas. Kehilangan pandanganku terhadap wajahnya, lantai besi dan rantai penghubung kereta yang mengintip sedikit di bawah kami menjadi pemandangan baru, kedua tanganku menyangga tubuhku di kedua lutut dan berganti aku yang sesenggukan.

IswaraKanagara,mengatakaniyakepadaajakanmubukanlahsuatupilihan,jikasuatuwaktuakutelahpercayabahwasesungguhnyaakanadayangtinggaldanmenatap,yakinkanakuagartidakpernahragulagibahwaorangituadalahkamu.

-

Maaf telah membikin awal dari kehidupan mereka berdua sulit untuk dibaca. Awal tidak pernah mudah, akhir tidak pernah ada, kecuali benar-benar telah dinyatakan mati(menghilangkan titik)

jh

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang